Penelitian di banyak negara, termasuk Indonesia, belum memadai. Seorang wanita di Italia tertular HIV setelah inseminasi buatan. Kini muncul kasus tuntutan di Kanada dan Prancis. ANGKA penderita AIDS di dunia telah mencapai 1,2 juta. Dan yang terjangkit virus HIV sudah 12 juta orang -1 juta di antaranya bayi dan anak-anak. Angka tersebut lebih mengerikan bila perkiraan para ahli dikaji. Menjelang tahun 2000, lingkup penularan HIV diproyeksikan akan mencapai 40 juta orang. Delapan belas juta kasus dikategorikan sebagai kasus berat. Pada kasus-kasus ini keruntuhan daya tahan tubuh sudah berproses. Gejala ikutan seperti radang paru-paru, kanker kulit, dan serangan pada susunan saraf sudah terlihat. Pada tahun 2000, AIDS juga akan menegaskan wajahnya yang baru: dari wabah negara maju menjadi ledakan penularan di negara berkembang. "Menjelang tahun 2000 penambahan angka di negara berkembang bakal memperlihatkan kenyataan yang dramatik," kata James Chin, ahli AIDS di WHO (Organisasi Kesehatan Dunia). Prof. Vulmiri Ramalingaswami, juga dari WHO, memperkirakan 90% dari mereka yang tertular AIDS malah berasal dari negara berkembang. Gejala-gejalanya sudah tampak sekarang ini. Di Sub-Sahara Afrika, kini, angka penderita AIDS mencapai 800.000. Angka tertular di kawasan ini bahkan sudah 6 juta. Sekitar 900.000 bayi yang lahir di sini tertular HIV, dan 30% di antaranya berada dalam keadaan sekarat. Matinya bayi serta anak-anak terjadi bukan hanya karena AIDS, tapi juga akibat telantar karena ditinggal orangtua mereka yang tewas karena AIDS. Menjelang tahun 2000 diperkirakan jumlah yatim piatu akibat diterkam AIDS akan menjadi 10 juta. Penyebaran di Asia, dalam lima tahun mendatang, diperkirakan akan melebihi penjangkitan di Eropa dan Amerika sekarang ini. Ada perkiraan, pada akhir dasawarsa ini, jumlah penularan AIDS di negara berkembang, terutama di Asia bisa-bisa malah melebihi jumlah penularan di Afrika. Tanda-tanda penyebaran di Asia sudah mulai kelihatan di India dan Muangthai. Di dua negara ini pemeriksaan serta penelitian sudah dilakukan intensif. Karena itu, sudah bisa dibuat berbagai perkiraan. Di banyak negara lain di Asia, termasuk Indonesia, penelitiannya memang belum memadai. Maka, angka penderita yang tercatat relatif sulit dipercaya dan belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Pada 1989, di India tercatat hanya satu sampel darah ditemukan positif HIV. Delapan bulan kemudian angka ini naik menjadi 54. Pada akhir 1991 ini diperkirakan sudah sejuta orang tertular virus HIV di sana. Dalam pada itu, di Muangthai kini tercatat 400.000 warganya sudah tertular AIDS. Aparat kesehatan di negara itu membuat perkiraan, pada tahun 2000, penularan akan menyebar pada 4 juta orang. Para ahli AIDS WHO sudah lama mengkhawatirkan terjadi penyebaran yang tak bisa dikontrol di negara-negara berkembang. Di negara-negara ini tunjangan kesehatan relatif kecil. Bahkan fasilitas kesehatannya minim. Keadaan yang tidak menguntungkan ini diperburuk dengan kurang sigapnya aparat kesehatan, selain masih miskinnya pengetahuan masyarakat tentang AIDS. Memang, banyak faktor penyulitnya dalam mengatasi penyebaran AIDS di negara berkembang. Di Afrika, misalnya, hampir tak terbayangkan bagaimana menyusun program pencegahannya. Sekarang ini, upaya mengatasi kasus-kasus AIDS di sana berada pada tingkat yang paling buruk. Ancaman penjangkitan justru berada di mana-mana. Fasilitas kesehatan yang ada tidak mampu menanggung ledakan penderita serta penularan. Di rumah-rumah sakit di Afrika sering terlihat penderita AIDS, sambil menunggu ajal datang, dibiarkan terkapar di ganggang rumah sakit. Di beberapa rumah sakit, penderita AIDS memang menguasai 80% tempat tidur. Semua keadaan ini membuat Afrika menjadi kawasan paling terancam. Menjelang tahun 2000, kasus AIDS di benua itu diperkirakan meliputi 60% dari kasus di dunia. Di Benua Asia, kondisi pemeliharaan kesehatan ternyata tidak separah Afrika. Di sini, program pencegahan masih bisa disusun. Karena itu, menurut Vulmiri Ramalingaswami, "Asia benteng yang menentukan, apakah bisa atau tidak menghambat penyebaran AIDS di dunia." Namun, hingga kini, belum bisa dipastikan apakah "benteng" Asia bisa terus dipertahankan dari serangan AIDS. Perbandingan antara negara yang sudah siap menghadapi AIDS dan negara yang masih porak-poranda dalam menangkalnya kurang lebih sama. AIDS memang bukan masalah kesehatan. Ancaman ini juga sebuah persoalan sosial. Upaya pencegahan melalui sistem pelayanan kesehatan masyarakat, termasuk menyebarkan informasi, adalah usaha paling efektif dalam menghambat pertumbuhan angka AIDS. Inilah yang mulai terlihat dampaknya di Eropa dan Amerika Serikat. Menjelang tahun 2000, pertumbuhan angka AIDS di dua benua tersebut diperkirakan bisa ditekan sampai mencapai angka nol. Pada tahun 1993-1995, garis statistik AIDS di sana akan mulai mendatar. Begitu lanjutnya pemahaman AIDS di negara maju, kecerobohan aparat kesehatan yang mengakibatkan penularan AIDS sudah menjadi kasus hukum. Inilah isu AIDS paling akhir di sana. Di Prancis, contohnya, sejumlah penderita penyakit darah sedang melancarkan tuntutan. Mereka tertular virus HIV melalui transfusi darah. Dalam tuntutannya di pengadilan, mereka menuduh pejabat di lembaga transfusi darah telah melakukan kesalahan. Pejabat yang dituduh dalam kasus kecerobohan di Prancis itu adalah Dr. Michel Garretta. Ia bekas direktur jenderal pusat transfusi darah Prancis. Begitu cermatnya penyusunan dokumen kesehatan di Prancis, sehingga penularan virus HIV melalui transfusi bisa diketahui terjadi pada 1985. Ketika itu, kekhawatiran terhadap virus HIV di Prancis belum meluas. Namun, hasil penelitian para penyidik menunjukkan, Michel Garretta seharusnya sudah memperhatikan kemungkinan ancaman AIDS. Setahun sebelumnya, November 1984, Amerika Serikat melontarkan ancaman HIV melalui transfusi. Yang luar biasa, tuntutan yang jumlahnya sekitar Rp 6 milyar itu sampai melibatkan Laurent Fabius, bekas perdana menteri Prancis. Di Kanada, ahli inseminasi buatan Dr. Gerard Korn terpaksa menutup kliniknya. Ia diputuskan pengadilan agar membayar ganti rugi satu juta dolar Kanada atau 880.000 dolar AS. Tuntutan datang dari seorang pasiennya, Kobe ter Nuezen, yang terjangkit virus HIV setelah menjalani inseminasi buatan dengan bantuan Korn. Penyebar HIV, Eric Kyle, donor sperma Korn yang telah menyumbangkan benihnya kepada 38 wanita Kanada. Baru belakangan Korn mengetahui bahwa Kyle itu biseks, dan ia langsung memeriksa darah penderma sperma tersebut. Hasilnya menunjukkan darah Kyle positif HIV. Korn lalu meneliti darah semua wanita yang ditolongnya, dan menemukan beberapa di antaranya sudah tertular HIV. Satu di antaranya, ya, Kobe. Pada kasus Kobe, penularan HIV sangat dramatis. Perawat ini sudah 33 kali menjalani inseminasi buatan untuk mendapatkan anak. Pada upaya ke-34, Korn berhasil menolongnya. Namun, bersamaan dengan itu, wanita malang ini terjangkit HIV. Kasus Kobe merupakan sebuah kasus AIDS yang penting. Bukan hanya karena tuntutannya berhasil. Penularan tadi menimbulkan pertanyaan, bagaimana virus HIV menyusup ke dalam tubuh manusia lewat sperma. Beberapa ahli virus HIV di Italia mencoba mencari jawaban: bisakah virus HIV menyusup ke sel sperma (spermatozoa). Penelitian di Italia itu memang ada hubungannya dengan sebuah kejadian yang persis sama dengan kasus Kobe di Kanada. Seorang wanita di kota kecil Avezzano, Italia, tertular HIV setelah menjalani inseminasi buatan. Penjangkitan ini terjadi karena donor sperma yang tidak diperiksa dokter itu ternyata seorang pecandu narkotik. Dan ia membawa HIV. Di AS beberapa peneliti HIV pernah menemukan fragmen virus ini pada spermatozoa. Penemuan in diteliti lebih lanjut oleh Prof. Bacceo Bacceti di Italia. Direktur pusat penelitian reproduksi hewan nasional ini akhirnya berhasil memotret virus HIV yang menyusup di sel sperma. Penemuan Bacceti itu menegaskan proses penularan virus HIV lewat sperma. Hal ini sudah diketahui sejak awal, tetapi masih saja menimbulkan tanda tanya. Penemuan tersebut menunjukkan: ternyata bukan hanya sel-sel darah pada sperma yang menimbulkan penularan. Spermatozoa juga potensial dalam menjangkitkan HIV. Penemuan Bacceti merupakan salah satu kemajuan kecil dalam memahami sepak terjang HIV dan AIDS serta bencana yang dibawanya. Belakangan ini tidak banyak lagi seluk-beluk virus HIV yang terungkap. Upaya penaklukannya juga relatif tidak mengalami kemajuan. Dalam Konperensi AIDS Internasional VII di Florence, Italia, Agustus silam, terungkap bahwa kejayaan AIDS menunjukkan masih akan lama. Dan vaksin-vaksin percobaan masih juga belum menampakkan kemungkinan mampu menangkal HIV. Sementara itu, obat AZT serta DLL, dalam percobaan, terungkap hanya sekadar memperpanjang usia si penderita AIDS. Jim Supangkat, Seiichi Okawa (Tokyo), Lisa Sallusto (Italia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini