Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI muncratan lumpur di lapangan Banjar Panji, demikian pula kini gugatan yang dilemparkan kepada PT Lapindo Brantas Inc., salah satu pemilik dan operatornya. Susul-menyusul. Terakhir, pekan lalu, datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Menurut hasil tim kajian semburan lumpur panas di Sidoarjo yang dibentuk Komnas HAM, lumpur panas telah membuat warga Porong dan sekitarnya tercerabut haknya. Di antaranya hak atas lingkungan yang sehat, hak atas pekerjaan, dan hak memperoleh informasi. ”Lapindo Brantas harus bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi kepada masyarakat,” kata Anshari Thayib, ketua tim, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Sebelumnya, pemerintah lewat Keputusan Presiden tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo yang keluar pada 8 September lalu juga menyatakan Lapindo harus ikut melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial karena lumpur itu. Dalam keputusan itu bahkan disebutkan PT Lapindo Brantas menanggung seluruh biaya tugas tim nasional. Setidaknya sampai enam bulan ke depan.
Banyaknya gugatan dan tuntutan kepada Lapindo Brantas menimbulkan pertanyaan seberapa jauh sebuah perusahaan harus bertanggung jawab.
Mari kita bedah landasannya, UU tentang Perseroan Terbatas No. 1/1995. Di sana disebutkan, tanggung jawab perseroan dilaksanakan oleh direksi. Besarnya pembayaran ganti rugi oleh perusahaan sebatas kekayaan perusahaan tersebut. ”Kecuali bila ada human error atau kelalaian,” kata Nindyo Pramono, guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bila kelalaian terjadi, ujar pakar hukum bisnis itu, harta pribadi direksi, bahkan komisaris, bisa ikut ditanggungkan.
Adapun pemegang saham, ujar Nindyo, meski menurut pasal 3 hanya bertanggung jawab sebatas nilai saham yang dimilikinya, tetap bisa diminta bertanggung jawab. ”Secara mutatis mutandis, UU Perseroan Terbatas menganut asas piercing the corporate veil,” ujar Nindyo. Berpegang pada asas ini, bila ada utang atau kewajiban yang ditanggung perusahaan, pemegang saham harus menanggungnya pula. ”Itu sebenarnya jiwa UU Perseroan Terbatas kita,” tutur Nindyo. Di luar negeri, kata Nindyo, praktek seperti ini lazim terjadi.
Berkaca pada aturan itu, wajar jika kini Lapindo Brantas ”habis-habisan”. Tak hanya kekayaan, aset pun ikut ditanggungkan untuk membayar kewajiban. Pekan lalu, misalnya, Nirwan Dermawan Bakrie menyatakan bahwa Lapindo telah mencadangkan dana US$ 150 juta untuk penanganan lumpur Porong. Dari jumlah tersebut, yang dipakai baru sekitar US$ 40 juta. ”Sementara dari kelompok Bakrie, kami perkirakan Rp 1 triliun sampai 2 triliun untuk ongkos relokasi dan permukiman warga,” ujar Nirwan. Jika dilihat dari jumlah yang dikeluarkan—belum ditambah ongkos-ongkos lain—menurut Nirwan, Lapindo bisa disebut nyaris bangkrut.
Bagi Nindyo, memang demikianlah yang harus dikeluarkan keluarga Bakrie. ”Itu namanya itikad baik,” kata Ketua Program Pasca-Sarjana Hukum Bisnis UGM ini. Hanya, Nindyo tak setuju jika besarnya angka itu dianggap ”final” sebagai ganti rugi korban lumpur. Sebab, katanya, sampai sekarang belum ada yang bisa menghitung kerugian.
Menurut Nindyo, karena banyaknya orang yang dirugikan, solusi terbaik ganti rugi itu sebaiknya ditetapkan oleh pengadilan. ”Sehingga hakim bisa menilai wajar-tidaknya tuntutan ganti rugi,” ujarnya. Menurut Nindyo, muncratnya lumpur yang tak henti-henti itu memberikan cukup alasan pengajuan gugatan. Tapi, ia mengingatkan: bila Lapindo tak sanggup bayar dan pailit, ia tak bisa dipaksa. ”Dalam hukum, ada juga utang yang tak terbayar,” kata Nindyo.
Ada cara lain untuk mengajukan gugatan ganti rugi. Misalnya lewat gugatan class action, dengan dasar Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam tuntutan ini, pemerintah bisa ikut dijadikan tergugat. ”Karena pada dasarnya pemerintah juga harus bertanggung jawab atas musibah tersebut,” kata Mas Achmad Santosa, pengacara khusus masalah lingkungan. Jika ini terjadi, ujarnya, ganti rugi akan dibayar secara tanggung renteng antara pemerintah dan Lapindo.
Dalam hukum lingkungan, menurut Ota—demikian biasa pria ini disapa—prinsip ganti rugi adalah ”sepadan dan memadai” (fair and adequate compensation). Untuk itu, hanya ada dua lembaga yang bisa menghitungnya: pengadilan atau tim independen, seperti yang diusulkan Komnas HAM. Warga bisa saja menggugat. Apalagi bila tak ada penyelesaian yang pasti.
Jika perusahaan ternyata tak mampu membayar kerugian, hukum lingkungan juga memiliki mekanisme pidana, pengurus perseroan yang terbukti bersalah bisa dihukum. ”Jadi, mereka tak bisa lepas tangan seenaknya,” kata Ota.
Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo