Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Todung Mulya Lubis
Setelah enam bulan, kasus lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur, kini memasuki babak baru, karena salah satu pemilik sekaligus operatornya, Lapindo Brantas Inc., telah berganti induk semang. PT Energi Mega Persada Tbk., yang memiliki Lapindo melalui Kalila Energi Ltd. dan Pan Asia Enterprise Ltd., telah menjual sahamnya ke Freehold Group Ltd., perusahaan yang didirikan menurut hukum British Virgin Islands.
Konon, Freehold adalah sebuah perusahaan investasi yang tak terafiliasi dengan kelompok usaha Bakrie, PT Energi Mega Persada Tbk., yang dikenal sebagai perusahaan yang mapan. Dari berita yang tersiar, kita hanya tahu bahwa Freehold adalah perusahaan yang dikendalikan oleh Emer Group, yang katanya terbiasa membeli perusahaan yang buruk dan terpuruk, dengan harapan kelak bisa mendapatkan pemulihan yang dapat menaikkan nilai perusahaan tersebut. Pembelian yang sifatnya judi, rekayasa, atau calculated risk.
Apakah penjualan kepemilikan Lapindo merupakan penyelesaian? Inilah pertanyaan yang penting dan menarik untuk kita analisis karena jawabannya terkait erat dengan tanggung jawab Lapindo atas kasus lumpur panas yang telah menelan banyak korban material maupun non-material. Kerugian material bisa dihitung, tapi sulit mengkalkulasi kerugian non-material karena yang hilang adalah sebuah masa lalu yang penuh dengan sejarah dan collective memory, sebuah peradaban: kehilangan permanen akan kampung halaman atau akar keturunan. Banyak orang yang tak tahu lagi rumah atau tanah tempat mereka lahir, dibesarkan, bersekolah, dan menjadi seperti sekarang. Banyak orang yang tak bisa lagi mudik pada saat Lebaran.
Perlu diketahui bahwa pemilik Blok Brantas adalah tiga perusahaan yang memiliki interest masing-masing Lapindo (50 persen), Medco (32 persen), dan Santos (18 persen). Ketiga perusahaan ini tampaknya tidak atau belum membentuk satu perusahaan patungan baru tetapi meletakkan interest mereka sebesar persentase di atas. Jadi interest di sini tak persis sama dengan equity. Namun posisi Lapindo adalah sekaligus sebagai operator, sedangkan Medco dan Santos tak mempunyai andil dalam operasi.
Sehingga dalam hukum perseroan kita memang bisa bertanya apakah ketiga pemilik interest tersebut bertanggung jawab sesuai dengan persentase mereka seperti layaknya pemegang saham, padahal mereka bukan pemegang saham. Berita yang dimuat di koran mengesankan bahwa ketiganya bertanggung jawab sesuai dengan persentase interest mereka kecuali kalau bisa dibuktikan telah terjadi kesalahan dan kelalaian serius dalam operasi pengeboran (gross negligence).
Medco kelihatannya menolak bertanggung jawab, terbukti dengan gugatan arbitrasenya terhadap Lapindo Brantas Inc., yang pada intinya mendalilkan telah terjadi gross negligence. Saya menduga Santos juga memiliki pendapat yang sama walau tidak atau belum mengajukan gugatan arbitrase. Dengan kata lain, karena struktur kerja sama yang bukan dalam perusahaan patungan (PT), tanggung jawab atas kasus lumpur Sidoarjo berada di tangan Lapindo Brantas Inc.
Secara hukum, pembebanan tanggung jawab kepada operator ada dasarnya, apalagi jika hal ini secara tegas diatur dalam perjanjian atau kontrak yang mereka buat. Lantas, apabila tanggung jawab tersebut sepenuhnya milik Lapindo, pertanyaan berikutnya adalah apakah penjualan Lapindo kepada Freehold Group Ltd. akan mengurangi kadar tanggung jawab Lapindo terhadap semua persoalan yang timbul akibat lumpur panas.
Pertanyaan ini tak mudah dijawab karena untuk itu kita harus tahu lebih banyak tentang Freehold. Tanggung jawab perusahaan khususnya yang berbentuk PT dalam perspektif hukum perseroan terletak pada pemegang saham sebesar penyertaan modalnya sesuai dengan prinsip limited liability atau tanggung jawab terbatas. Freehold sebagai pemilik baru Lapindo pada akhirnya harus bertanggung jawab terhadap semua kerugian, terutama kalau kelak ada gugatan pihak ketiga seperti dari penduduk dan atau pemerintah.
Persoalannya adalah bagaimana jika Freehold tak memiliki kekayaan yang memadai atau lebih buruk lagi hanya mau bertanggung jawab sebatas penyertaannya, padahal tuntutan jauh melebihi setoran modal. Secara teoretis hal ini bisa terjadi. Dalam kasus Freehold ini kita kurang mengetahui apakah Freehold memang merupakan perusahaan yang seperti biasanya didirikan dengan modal US$ 2 dan tak memiliki aset sama sekali. Di sini jelas liability yang mestinya dipikul pemegang saham yang dulunya PT Energi Mega Persada kini tak jelas juntrungannya.
Karena itu, pengalihan kepemilikan ke Freehold bisa dirasakan sebagai suatu pelarian dari tanggung jawab. Kesan ini muncul di benak publik walau harus diakui bahwa pengalihan itu tak dapat dikategorikan telah melanggar prinsip benturan kepentingan dan transaksi material seperti yang diatur dalam Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-32/PM/2000 dan No. Kep-02/PM/2001. Dengan kata lain, transaksi off-shore ini tak perlu memperoleh persetujuan pemegang saham independen.
Masuknya Freehold menurut hukum pasar modal tak bisa dikatakan telah melanggar hukum. Apalagi konon ada kelompok usaha Bakrie, Minarak Labuan Co. Ltd., yang memberikan dukungan dana kepada Lapindo untuk menyelesaikan kerugian akibat semburan lumpuran panas itu. Tetapi otoritas pasar modal mengatakan akan mencari jalan inkonvensional untuk mempersoalkan penjualan itu. Karena yang terpenting di sini adalah aspek tanggung jawab kepada rakyat, terutama korban, bukan pemegang saham.
Terlepas dari keberatan otoritas pasar modal akan masuknya Freehold, skema penyelesaian di atas sepertinya terlalu bagus untuk terjadi. Pertanyaan kita, apakah jalan penyelesaiannya memang akan seperti itu. Apakah gampang mengejar Freehold yang merupakan perusahaan British Virgin Islands itu? Apakah Minarak Labuan memiliki dana yang besar untuk memenuhi kewajiban akan kerusakan dan kerugian yang sudah dan akan timbul?
Kita tak dapat memandang remeh hal itu karena bukan mustahil kita dihadapkan kepada pihak-pihak yang tiba-tiba menghilang dari peredaran. Mohon dicatat di sini bahwa bukan mustahil tuntutan kepada pemegang saham akan besar sekali jumlahnya karena adanya dugaan kesalahan atau penyalahgunaan perseroan untuk kepentingan pribadi pemegang saham yang saking bernafsunya melakukan pengeboran sehingga lupa memasang pengaman (casing)? Di sini bisa jadi tanggung jawab pemegang saham menjadi tidak terbatas lagi sesuai dengan prinsip piercing the corporate veil yang umumnya dianut hukum perseroan di banyak negara.
Di Indonesia, prinsip bahwa tanggung jawab terbatas pemegang saham tak berlaku mutlak juga dianut dalam hukum perseroan kita manakala bisa dibuktikan bahwa pemegang saham telah menyalahgunakan posisinya untuk kepentingan dirinya. Di sini kita bisa bertanya: apakah gross negligence yang terjadi karena pengeboran yang melewati kedalaman tertentu tanpa casing dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan posisi pemegang saham yang terlalu bernafsu mengejar minyak dan gas bumi secara serampangan?
Tetapi apa lacur jika pengejaran terhadap tanggung jawab ternyata tak membuahkan hasil. Ternyata baik Freehold maupun Minarak Labuan hanya dibekali sejumlah kecil dana untuk membayar kerugian yang telah dan bakal terus timbul. Terlepas dari apakah ketersediaan dana yang kecil ini by design atau karena sudah kehabisan dana, pembiayaan untuk mengatasi semburan lumpur harus terus dilakukan.
Tak dapat tidak, pemerintah melalui tim nasional yang menangani kasus ini harus mulai mencari biaya untuk menalangi semua itu. Terus terang kita khawatir bahwa ujung dari semua pelarian tanggung jawab sejak terjadinya spin off adalah apa yang dalam dunia energi kita kenal sebagai cost recovery—semua pengeluaran operator untuk eksplorasi dan eksploitasi termasuk kesalahan drilling berhak dan harus mendapat penggantian. Dalam praktek, cost recovery diakui jika sudah mulai berproduksi. Jadi, Lapindo sebetulnya belum berhak mendapatkan cost recovery walau kita mulai melihat gejala bahwa biaya yang sudah dikeluarkan akan dijadikan cost recovery.
Di sinilah badan pelaksana migas, BP Migas, harus bersikap tegas. Harus diperinci biaya-biaya yang berhak mendapatkan penggantian dan biaya yang tak diganti. Harus diteliti apakah semburan lumpur ini terjadi karena kesalahan operator, dan jika demikian biaya-biaya itu tak layak masuk cost recovery. Seperti ditegaskan berkali-kali oleh Presiden dan Wakil Presiden, jangan sampai sepeser pun negara dan rakyat dirugikan. Arah inilah yang harus dipegang seluruh jajaran pemerintah dalam menghadapi kasus ini.
Gugatan Medco ke arbitrase adalah bukti awal yang cukup untuk membuktikan bahwa memang ada kecerobohan, ada kesalahan. BP Migas tak bisa bersikap diam karena itu akan ditafsirkan sebagai upaya menutup-nutupi kesalahan yang terjadi. Sudah waktunya BP Migas menyikapi soal semburan lumpur ini dengan transparan, sehingga masyarakat mengetahui secara jelas duduk soalnya.
Yang paling penting buat kita semua adalah mendudukkan kasus Lapindo ini pada perspektif yang pas dengan meletakkan tanggung jawab pada pundak yang seharusnya. Jangan sekali-kali terlibat rekayasa yang mengelabui publik. Sebab, kalau ini terjadi, kemarahan publik akan kian bertumpuk. Ini tidak baik bagi industri energi dan perekonomian kita. Karena itu, Lapindo, Medco, Santos, Bapepam, dan BP Migas diharapkan tidak main mata. Korban telah bergelimpangan. Korban lain akan menyusul. Tuan-tuan yang terhormat, tolong jangan ada lagi rekayasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo