BUKU itu hingga akhir tahun lalu masih terpampang di etalase
tokotoko buku. Berukuran 21x14,5 cm, setebal 255 halaman,
dengan sampul berwarna dasar hijau dan potret seorang lelaki
lebih setengah umur, berjas, berdasi dan berkaca mata gelap.
Tapi itulah buku yang sempat memancing tanggapan dari Dewan
Harian Daerah (DHD) Angkatan 1945 Provinsi Bengkulu. Dalam
suratnya tertanggal 9 September 1982, DHD tersebut meminta Jaksa
Agung RI "menarik serta melarang beredarnya buku otobiografi"
yang dimaksud.
Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa, sebuah otobiografi H. Abdul
Karim alias Oey Tjeng Hien, terbitan PT Gunung Agung, Jakarta,
Juni 1982, itulah barangnya. Begitu seriuskah masalahnya?
Abdul Karim bukan orang yang tidak dikenal -- bahkan terbilang
tokoh. Apa lagi, sebagai subjudul buku, ditulis dengan warna
merah, bisa dibaca: 'Sahabat Karib Bung Karno.' Memang,
keturunan Cina kelahiran Padang 1905 ini, yang masuk Islam pada
usia 26 tahun, bukan sembarang orang. Ia pernah menjadi konsul
Muhammadiyah Bengkulu (1937-1952).
Abdul Karim tercatat sebagai anggota Dewan Pertahanan Daerah dan
ketua cabang Fons Kemerdekaan Bengkulu. Bahkan sempat terpilih
menjadi ketua umum Partai Masyumi di Bengkulu (1946-1960). Dan
1957-1960 menjadi anggota DPR-RI. Tapi yang paling diingat
orang, mungkin, dialah salah satu pendiri PIT (Persatuan Islam
Tionghoa), 1953, yang kemudian menjadi PITI (Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia dan yang kemudiannya lagi menjadi Pembina
Iman Tauhid Islam sampai sekarang).
Tak kurang dari Menteri Agama H. Alamsjah dan Mohamad Roem,
antara lain, menulis sambutan dalam buku tersebut.
"Keteladanannya dalam perjuangan kemerdekaan dan upaya pembinaan
Pembauran Nasional," demikian ditulis Menteri Agama, amat
penting bagi generasi selanjutnya. Jadi, apa yang menjadikan
"masyarakat Bengkulu" resah?
"Buku Oey banyak mengandung kebohongan," kata Sjamsoeddin Yauw,
57 tahun, Ketua 111 DHD Angkatan 1945 Bengkulu, kepada TEMPO.
Lalu bekas komandan kompi di Front Selatan di Bengkulu di masa
Perang Kemerdekaan itu menunjuk salah satu contoh. Pada halaman
113-114 buku tersebut, katanya, diceritakan Oey menolak kerja
sama dengan Belanda. "Itu bohong. Oey adalah salah seorang
anggota Dewan Territoriaal Bestuurs Adminitratie yang bekerja
sama dengan Belanda," kata Sjamsoeddin, yang juga Kepala
Perwakilan DHD Bengkulu di Jakarta.
Dalam surat DHD yang ditandatangani Ketua Umum Nawawi Manaf dan
Sekretaris Umum (atas nama) Z. Arifin M. itu, ternyata tak
kurang dari 26 halaman dipermasalahkan. Soal tahun yang dianggap
keliru (peri hal pasar malam menyambut hari perkawinan Putri
Juliana), misalnya. Soal Demang Kader yang memanggil Oey dengan
'tuan' (konon demang itu selalu memanggilnya dengan 'babadek').
Soal Oey yang "membesar-besarkan" peranannya dalam Muhammadiyah:
ia merasa dianggap oleh Belanda sebagai biang yang menyebabkan
Muhammadiyah menjadi simpatik kepada gerakan antipenjajahan.
Lalu tentang Oey yang berhasil membebaskan Bung Karno yang
ditahan (halaman 70). Tentang Oey yang menyebut para pejuang
dengan 'tentara hitam' (sebutan yang digunakan Belanda). Sampai
pada soal kisah penduduk yang konon memboikot para pejuang
karena mereka suka merampas ayam dan ikan milik penduduk, dan
uang 2.500 gulden dari Nyonya Fatmawati Soekarno -- yang tak
masuk akal, kata surat DHD Angkatan 1945 Bengkulu, karena itu
terjadi pada 1952, ketika gulden telah diganti uang Republik.
Abdul Karim sendiri rupanya memilih bersikap lunak. Dalam
pertemuan yang kemudian diadakan Kejaksaan Agung, 28 Oktober
lalu -- yang dihadiri Abdul Karim dan sembilan pengurus DHD
Angkatan 1945 Bengkulu -- akhirnya ia setuju membuat pernyataan
tertulis "menyerahkan persediaan buku yang masih ada di Gunung
Agung kepada Kejaksaan Agung dan buku yang telah beredar
dianggap tidak ada."
"Itu memang satu kompromi," kata Abdul Karim di rumahnya dua
pekan lalu kepada TEMPO. "Tak apalah. Saya akan mencari penulis
buku yang baik, yang bisa menyenangkan berbagai pihak." Kemudian
bapak tiga anak dan kakek sembilan cucu itu menyatakan:
"Sebenarnya saya sendiri tak suka buku itu."
Pertama, ia menyebut penulisnya, "satu tim", kurang pintar
mengarang. Kedua, diakuinya dalam buku tersebut "saya terlalu
ditonjol-tonjolkan." Ia tak bersedia menyebut siapa saja anggota
tim yang "begitu saja mempercayai kata-kata saya, dan tidak
melakukan pengecekan untuk peristiwa-peristiwa penting yang saya
ceritakan."
TOH, orang tua 77 tahun itu tetap berkukuh bahwa yang
diceritakannya dalam buku itu "semua benar" ia mengakui
beberapa angka tahun memang keliru, maklum sudah tua. Misalnya
soal hari perkawinan Putri Juliana itu. "Tapi jangan lantas
kesalahan kecil menjadikan buku saya dianggap bohong." Buku itu,
katanya pula, hanya dikerjakan selama dua bulan. "Itu pun atas
desakan teman-teman. Tiap kali ketemu Mohamad Roem ia selalu
berkata, wah, riwayat hidup Pak Karim hebat. Sebaiknya ditulis
jadi buku," tutur Abdul Karim.
Tapi, pihak DHD Angkatan 1945 Bengkulu rupanya merasa cukup
kuat. Ada dukungan surat-surat pernyataan dari yang
bersangkutan, atau ahli waris yang disebut-sebut dalam buku Oey,
yang menganggap hal yang diceritakan meleset dari kenyataan.
Misalnya dari Zainab Kader, putri Demang Kader almarhum yang
banyak disebut-sebut. Ia, Zainab, keberatan terhadap penilaian
watak ayahnya dalam buku itu, antara lain. Lalu Ny. Kartika Uteh
Riza, atas nama keluarga Ibu Inggit Garnasih, pun menyatakan
beberapa hal yang "tidak benar dan yang kami ragukan." Misalnya
soal Bung Karno "berkelahi" dengan Ibu Inggit dan Oey menjadi
penengah (halaman 63).
Bahkan Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML, Ketua Komisl Fatwa MUI yang
menulis sambutan pula dalam buku itu, ternyata mempunyai koreksi
pula atas kisah tentang dirinya. Antara lain: dulu, 1935,
Ibrahim Hosen datang mengajar di Bintuhan bukan atas permintaan
Demang Mursalin -- seperti yang dituturkan -- tapi atas
permintaan Ketua Badan Pengurus Sekolah MAS, Sayyid Ahmad bin
Syekh Abu Bakar.
Dan apa kata Kejaksaan Agung? "Ibarat sepak bola, belum jelas
sudah off-side atau belum," tutur Adam Nasution, SH, Kepala
Direktorat I Kejagung yang memimpin pertemuan 28 Oktober itu.
Soalnya, "untuk mengecek keakuratan peristiwa 1945-1948 di
Bengkulu, sangat sukar," tambahnya. Diakui, memang ada
surat-surat yang menyatakan kesalahan-kesalahan buku Oey. Tapi
jangan lupa: ada pula surat-surat yang menyetujui isi buku itu.
Dalam pada itu dari 31 otobiografi dan biografi yang diterbitkan
PT Gunung Agung, ya baru buku satu ini yang dipermasalahkan --
tutur Ali Amran, Kepala Divisi Buku & Majalah Gunung Agung. Buku
Oey yang dicetak 5.000 eksemplar itu kini tinggal separuhnya.
Ali menyatakan setuju saja bila Abdul Karim ingin mencabut buku
itu. "Tapi harus membayar ganti biaya cetak," sambungnya. "Dan
sebetulnya kami tak pernah menerima keberatan apa-apa dari
pembaca tentang buku Abdul Karim."
Mungkin, sebagian besar pembaca buku itu mahfum. Bahwa sebuah
otobiografi bagaimanapun sebuah pandangan dari satu pihak:
peristiwa yang dibeberkan tak boleh merupakan tafsiran si tokoh.
Data dan fakta pun bisa mencang-mencong, setidaknya bila
dituturkan dari jarak yang sudah cukup jauh. Kritik, untuk
meluruskannya, mungkin cukup. Masih ada kesempatan
memperbaikinya, misalnya pada pencetakan ulang. Atau tidak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini