Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Gugatan angkatan '45

Otobiografinya yang berjudul "mengabdi agama, nusa dan bangsa", digugat dhd angkatan '45, dianggap banyak mengandung kebohongan. (bk)

8 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU itu hingga akhir tahun lalu masih terpampang di etalase tokotoko buku. Berukuran 21x14,5 cm, setebal 255 halaman, dengan sampul berwarna dasar hijau dan potret seorang lelaki lebih setengah umur, berjas, berdasi dan berkaca mata gelap. Tapi itulah buku yang sempat memancing tanggapan dari Dewan Harian Daerah (DHD) Angkatan 1945 Provinsi Bengkulu. Dalam suratnya tertanggal 9 September 1982, DHD tersebut meminta Jaksa Agung RI "menarik serta melarang beredarnya buku otobiografi" yang dimaksud. Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa, sebuah otobiografi H. Abdul Karim alias Oey Tjeng Hien, terbitan PT Gunung Agung, Jakarta, Juni 1982, itulah barangnya. Begitu seriuskah masalahnya? Abdul Karim bukan orang yang tidak dikenal -- bahkan terbilang tokoh. Apa lagi, sebagai subjudul buku, ditulis dengan warna merah, bisa dibaca: 'Sahabat Karib Bung Karno.' Memang, keturunan Cina kelahiran Padang 1905 ini, yang masuk Islam pada usia 26 tahun, bukan sembarang orang. Ia pernah menjadi konsul Muhammadiyah Bengkulu (1937-1952). Abdul Karim tercatat sebagai anggota Dewan Pertahanan Daerah dan ketua cabang Fons Kemerdekaan Bengkulu. Bahkan sempat terpilih menjadi ketua umum Partai Masyumi di Bengkulu (1946-1960). Dan 1957-1960 menjadi anggota DPR-RI. Tapi yang paling diingat orang, mungkin, dialah salah satu pendiri PIT (Persatuan Islam Tionghoa), 1953, yang kemudian menjadi PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia dan yang kemudiannya lagi menjadi Pembina Iman Tauhid Islam sampai sekarang). Tak kurang dari Menteri Agama H. Alamsjah dan Mohamad Roem, antara lain, menulis sambutan dalam buku tersebut. "Keteladanannya dalam perjuangan kemerdekaan dan upaya pembinaan Pembauran Nasional," demikian ditulis Menteri Agama, amat penting bagi generasi selanjutnya. Jadi, apa yang menjadikan "masyarakat Bengkulu" resah? "Buku Oey banyak mengandung kebohongan," kata Sjamsoeddin Yauw, 57 tahun, Ketua 111 DHD Angkatan 1945 Bengkulu, kepada TEMPO. Lalu bekas komandan kompi di Front Selatan di Bengkulu di masa Perang Kemerdekaan itu menunjuk salah satu contoh. Pada halaman 113-114 buku tersebut, katanya, diceritakan Oey menolak kerja sama dengan Belanda. "Itu bohong. Oey adalah salah seorang anggota Dewan Territoriaal Bestuurs Adminitratie yang bekerja sama dengan Belanda," kata Sjamsoeddin, yang juga Kepala Perwakilan DHD Bengkulu di Jakarta. Dalam surat DHD yang ditandatangani Ketua Umum Nawawi Manaf dan Sekretaris Umum (atas nama) Z. Arifin M. itu, ternyata tak kurang dari 26 halaman dipermasalahkan. Soal tahun yang dianggap keliru (peri hal pasar malam menyambut hari perkawinan Putri Juliana), misalnya. Soal Demang Kader yang memanggil Oey dengan 'tuan' (konon demang itu selalu memanggilnya dengan 'babadek'). Soal Oey yang "membesar-besarkan" peranannya dalam Muhammadiyah: ia merasa dianggap oleh Belanda sebagai biang yang menyebabkan Muhammadiyah menjadi simpatik kepada gerakan antipenjajahan. Lalu tentang Oey yang berhasil membebaskan Bung Karno yang ditahan (halaman 70). Tentang Oey yang menyebut para pejuang dengan 'tentara hitam' (sebutan yang digunakan Belanda). Sampai pada soal kisah penduduk yang konon memboikot para pejuang karena mereka suka merampas ayam dan ikan milik penduduk, dan uang 2.500 gulden dari Nyonya Fatmawati Soekarno -- yang tak masuk akal, kata surat DHD Angkatan 1945 Bengkulu, karena itu terjadi pada 1952, ketika gulden telah diganti uang Republik. Abdul Karim sendiri rupanya memilih bersikap lunak. Dalam pertemuan yang kemudian diadakan Kejaksaan Agung, 28 Oktober lalu -- yang dihadiri Abdul Karim dan sembilan pengurus DHD Angkatan 1945 Bengkulu -- akhirnya ia setuju membuat pernyataan tertulis "menyerahkan persediaan buku yang masih ada di Gunung Agung kepada Kejaksaan Agung dan buku yang telah beredar dianggap tidak ada." "Itu memang satu kompromi," kata Abdul Karim di rumahnya dua pekan lalu kepada TEMPO. "Tak apalah. Saya akan mencari penulis buku yang baik, yang bisa menyenangkan berbagai pihak." Kemudian bapak tiga anak dan kakek sembilan cucu itu menyatakan: "Sebenarnya saya sendiri tak suka buku itu." Pertama, ia menyebut penulisnya, "satu tim", kurang pintar mengarang. Kedua, diakuinya dalam buku tersebut "saya terlalu ditonjol-tonjolkan." Ia tak bersedia menyebut siapa saja anggota tim yang "begitu saja mempercayai kata-kata saya, dan tidak melakukan pengecekan untuk peristiwa-peristiwa penting yang saya ceritakan." TOH, orang tua 77 tahun itu tetap berkukuh bahwa yang diceritakannya dalam buku itu "semua benar" ia mengakui beberapa angka tahun memang keliru, maklum sudah tua. Misalnya soal hari perkawinan Putri Juliana itu. "Tapi jangan lantas kesalahan kecil menjadikan buku saya dianggap bohong." Buku itu, katanya pula, hanya dikerjakan selama dua bulan. "Itu pun atas desakan teman-teman. Tiap kali ketemu Mohamad Roem ia selalu berkata, wah, riwayat hidup Pak Karim hebat. Sebaiknya ditulis jadi buku," tutur Abdul Karim. Tapi, pihak DHD Angkatan 1945 Bengkulu rupanya merasa cukup kuat. Ada dukungan surat-surat pernyataan dari yang bersangkutan, atau ahli waris yang disebut-sebut dalam buku Oey, yang menganggap hal yang diceritakan meleset dari kenyataan. Misalnya dari Zainab Kader, putri Demang Kader almarhum yang banyak disebut-sebut. Ia, Zainab, keberatan terhadap penilaian watak ayahnya dalam buku itu, antara lain. Lalu Ny. Kartika Uteh Riza, atas nama keluarga Ibu Inggit Garnasih, pun menyatakan beberapa hal yang "tidak benar dan yang kami ragukan." Misalnya soal Bung Karno "berkelahi" dengan Ibu Inggit dan Oey menjadi penengah (halaman 63). Bahkan Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML, Ketua Komisl Fatwa MUI yang menulis sambutan pula dalam buku itu, ternyata mempunyai koreksi pula atas kisah tentang dirinya. Antara lain: dulu, 1935, Ibrahim Hosen datang mengajar di Bintuhan bukan atas permintaan Demang Mursalin -- seperti yang dituturkan -- tapi atas permintaan Ketua Badan Pengurus Sekolah MAS, Sayyid Ahmad bin Syekh Abu Bakar. Dan apa kata Kejaksaan Agung? "Ibarat sepak bola, belum jelas sudah off-side atau belum," tutur Adam Nasution, SH, Kepala Direktorat I Kejagung yang memimpin pertemuan 28 Oktober itu. Soalnya, "untuk mengecek keakuratan peristiwa 1945-1948 di Bengkulu, sangat sukar," tambahnya. Diakui, memang ada surat-surat yang menyatakan kesalahan-kesalahan buku Oey. Tapi jangan lupa: ada pula surat-surat yang menyetujui isi buku itu. Dalam pada itu dari 31 otobiografi dan biografi yang diterbitkan PT Gunung Agung, ya baru buku satu ini yang dipermasalahkan -- tutur Ali Amran, Kepala Divisi Buku & Majalah Gunung Agung. Buku Oey yang dicetak 5.000 eksemplar itu kini tinggal separuhnya. Ali menyatakan setuju saja bila Abdul Karim ingin mencabut buku itu. "Tapi harus membayar ganti biaya cetak," sambungnya. "Dan sebetulnya kami tak pernah menerima keberatan apa-apa dari pembaca tentang buku Abdul Karim." Mungkin, sebagian besar pembaca buku itu mahfum. Bahwa sebuah otobiografi bagaimanapun sebuah pandangan dari satu pihak: peristiwa yang dibeberkan tak boleh merupakan tafsiran si tokoh. Data dan fakta pun bisa mencang-mencong, setidaknya bila dituturkan dari jarak yang sudah cukup jauh. Kritik, untuk meluruskannya, mungkin cukup. Masih ada kesempatan memperbaikinya, misalnya pada pencetakan ulang. Atau tidak?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus