Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Hari-hari terakhir dan sepi

Kisah beberapa orang jompo yang ditampung di panti asuhan. umumnya mereka kerasan disitu dan tidak mau hidup bersama anaknya. (sd)

17 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-HARINYA ia habiskan dengan mengocok kartu menanyakan ajal. "Tapi setiap kali saya membuka kartu, belum juga ada jawaban," ujar perempuan tua itu. "Agaknya saya masih diperintahkan tetap begini, dengan tenang dan tawakal," katanya lagi. Sucinah Surohartono mengaku sudah berumur 100 tahun lebih. Sudah lebih dari lima tahun ia menetap di Pahti Wreda Dharma Bhakti di Sala -- bersama 46 orang jompo lainnya. Ia merasa krasan. "Tapi kadang-kadang sedih juga, karena saya tak punya anak," katanya. Sejak masih berumur sembilan tahun, Sucinah yang lahir di Wonogiri itu diajak orangtuanya "mengabdi" di Kraton Kasunanan Surakarta. Dari perkawinannya dengan seorang pegawai perkebunan kayu, ia sempat melahirkan dua anak, tapi semuanya meninggal. "Dan ketika saya mulai tua, saya mohon berhenti sebagai abdi dalem kraton, karena tidak kuat lagi bekerja," katanya. Lepas dari kraton, Sucinah mendapat tugas menunggu rumah besar seorang bangsawan yang lebih sering tinggal di Jakarta. Tapi suatu hari ia ingin menjenguk familinya di Wonogiri. Karena terlalu lama menunggu di terminal bis, ia tertidur. Malang, tasnya yang berisi pakaian, bekal makanan dan sedikit uang, disambar copet. "Saya menangis. Dan akhirnya diantar polisi ke panti ini," tuturnya. Sehari-hari kalau tidak mengocok kartu, acara Sucinah hanya membersihkan kamar, menyapu halaman dan berjalan-jalan di sekitar kompleks panti. Melalui kartu-kartu pula ia suka meramalkan nasib salah seorang cucunya yang lahir dari kemanakannya. Si cucu tinggal di Sala, namanya Warni. Dengan kartunya Sucinah berusaha mengetahui keadaan Warni: sedang punya uang atau sedang bertengkar dengan suaminya. "Kalau keadaannya baik, saya minta izin pengurus panti ke rumah Warni. Naik becak," katanya. Sukamto, 75 tahun, juga mengaku betah tinggal di Panti Wreda Usia (d/h Phin Lau Yuan) di Jalan Undaan Kulon Surabaya. Bekas sopir ini sudah lima tahun tinggal di panti yang mengurus 45 orang jompo itu -- terdiri 16 kakek dan 29 nenek. Seperti rekan-rekannya vang lain, Sukamto juga tidak punya sanak-famili. Anaknya seorang dibawa istrinya ketika mereka bercerai. NAMUN Sukamto alias Tang Hong Tjiau tak merasa sepi. Setiap pagi ia merawat tanaman bunga di halaman panti. "Saya suka marah kalau ada anak-anak pengunjung yang memetik bunga," katanya. Selebihnya ia tekun membaca Injil. "Saya ingin lebih dekat kepada Tuhan," ujarnya lirih. Setiap Minggu ia menghadiri kebaktian di Gereja GKI Sulung, tak jauh dari Panti Wreda tersebut. Orang-orang tua seperti itu, ada beberapa yang berkelakuan menyerupai anak-anak kembali. Mereka sering terlibat perang mulut karena merasa jatah laukpauknya diambil rekannya. Dan bila pengurus panti berusaha melerai, mereka malah memaki "Mau apa kamu, anak kemarin sore!" Hal itu misalnya terjadi di Sasana Tresna Wreda Budhi Dharma di Cilandak, Jakarta Selatan. Sasana ini khusus menampung para perintis kemerdekaan, 11 janda perintis dan dua pasang suami-istri. Ada di antaranya yang punya keturunan, tapi merasa lebih bebas tinggal di panti. Ada pula yang sudah tidak punya tempat tinggal lagi. "Rasa keakuan mereka sangat besar. Dan umumnya mengidap penyakit darah tinggi. Apalagi bila tanggal tua, ketika pensiun mereka sudah habis," ujar Muchtaron, pimpinan panti. Penghuni Sasana Tresna antara lain Saiburrahman Gelar Sutan Sinaro, 75 tahun. Ia tinggal bersama istrinya. Ia juga merasa tidak betah tinggal di rumah anaknya, padahal anaknya 14 orang. "Pensiun saya habis buat beli buah-buahan," katanya. Mengidap penyakit jantung dan darah tinggi, ia pantang makan lemak, juga tidak minum susu, kopi, gula. Sehari-hari ia selalu rapi. Sering mengenakan sarung tenun, jas dan peci. Kamarnya juga tampak rapi. Di sana ada radio, tape recorder, teve. Beberapa potret yang melukiskan masa lamp aunya ketika ia berjuang, penuh menghias dinding. Katanya, "Saya ini orang politik". Ia mengaku beberapa kali ditangkap Belanda. Pertama pada 1925 ketika ia bergabung dengan Sarekat Rakjat di Sumatera Utara. Ia disel di Bukittinggi. Dua tahun kemudian ditangkap lagi, dituduh pengikut Tan Malaka. Tiga tahun kemudian, 1930, dijebloskan lagi ke sel yang sama. Pada 1934 ditangkap lagi, kali ini di Padang. Bekas pemimpin redaksi koran Kris dan pengurus Pers Buro Permi (Persatuan Muslimin Indonesia) di tahun 30-an ini, tampaknya masih senang menulis. Ia mengaku sedang menyiapkan sebuah memoar yang menurut dia akan diterbitkan Departemen Penerangan. "Saya juga ingin menulis sebuah roman politik," katanya lagi. Wajahnya yang sudah berkeriput itu selalu tampak cerah. Perumahan Orang Tua Pniel dianggap tertua di Indonesia, setidaknya di Jakarta. Didirikan pada 1893 oleh Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB), panti ini kini terletak di Jalan Samanhudi. Sekarang POT Pniel menarnpung 59 orang jompo, terdiri dari 11 opa dan 48 oma. Suharti, salah seorang penghuni yang berusia 82 tahun, sudah sepuluh tahun tak bisa berjalan. Kini ia harus tinggal di ranjang saja. Di masa mudanya ia menderita. Payudaranya dioperasi, ginjalnya sakit, sementara satu-satunya anak lelakinya meninggal ditembak Jepang, hanya enam bulan menjelang dinikahkan. Meski giginya sudah ompong, Suharti masih senang makan krupuk dan rempeyek. Namun di hari tuanya kini ia tidak merasa kesepian. Sebab, menurut ceritanya, setiap kali Yesus datang menjenguknya. "Mata saya sudah rabun, tapi bisa melihat Yesus datang," katanya. Para perawat di Pniel bekerja secara suka-rela. Mereka tidak mendapat imbalan ataupun gaji. "Mereka hanya menerima uang transpor Rp 20.000/bulan," kata Zuster Vin Silano, 62 tahun, kepala bagian kesehatan, yang sudah 30 tahun mengabdi di Pniel. Kucing rupanya jadi favorit para penghuni Pniel. "Ada nenek yang memelihara 10 ekor dan masing-masing punya nama," tutur Silano lagi. "Di sini kan banyak kucing liar. Nenek-nenek itu lebih suka menahan lapar daripada kucingnya tidak dapat makan," katanya. Kadang-kadang para pengasuh panti juga harus melayani kemanjaan mereka. Mereka sering pura-pura sakit perut, sakit pinggang atau sakit gigi -- meskipun gigi sudah ompong. Pada acara-acara Paskah atau Natal, banyak pula yang ingin menyanyi. Maka mengalunlah Keroncong Moritsko, dengan lafal yang tidak jelas. . . Lain lagi dengan Nuryati, 75 tahun. Nenek tua ini amat suka berjalan-jalan sampai jauh malam di kompleks Sasana Tresna Wreda Abiyoso, di Pakem (Yogyakarta), tempat ia ditampung. Pengurus Sasana tentu repot. "Saya sering khawatir kalau-kalau ia masuk angin," kata Ny. Sudarmilah, pengurus panti jompo ini. Mbah Nuryati juga suka ngelayap ke bagian lelaki, kakek-kakek, hanya untuk ngobrol. Panti ini menampung 17 kakek dan 25 nenek yang sebagian besar tidak punya famili atau keturunan. Terletak di pinggir jalan besar, 2 km sebelum Kaliurang bangunannya tidak kalah dengan villa-villa di Kaliurang. Panti ini tampaknya memang dipersiapkan sebagai tempat menghabiskan hari-hari terakhir. Mbah Nuryati agaknya masih suka pacaran. Maklum, di masa mudanya ia cantik, menjadi buah-bibir di kota kelahirannya, Baturaja, Sumatera Selatan. Ia menikah dengan seorang opsir Belanda dan membuahkan dua anak. Setelah bercerai, ia menikah lagi dengan tentara pula, tapi meninggal di zaman Jepang. Kemudian Nuryati kawin lagi, sekali lagi dengan anggota tentara yang 15 tahun lebih muda. Karena perkawinan ini tak membuahkan anak, suami Nuryati kawin lagi. Nuryati hidup serumah dengan madunya, sampai akhir tahun lalu ketika ia dipersilakan hidup di tempat lain. Nuryati memilih panti jompo. "Saya sering kesepian, tapi apa boleh buat," katanya. Ia tidak mau ikut anak-anaknya, "sebab saya tidak ingin merepotkan mereka". Nuryati mengisi hari-hari sepinya dengan menyulam. Hasil sulaman Nuryati yang selalu dibeli oleh pengurus panti tampak menghiasi meja-meja di panti tersebut. "Lumayan buat beli kue," kata Nuryati. Dalam usia 75 tahun, ingatannya masih tajam, bicaranya pun masih lancar. "Saya masih kuat sembahyang lima waktu. Bahkan kuat puasa kok," ujanya bangga. Hasil kerajinan tangan Soemodihardjo, berupa sapu dari sabut kelapa, juga dibeli pengurus panti. "Kualitasnya memang jelek, tapi itu sekedar hiburan buat mereka," tutur Ny. Sudarmilah. Kakek yang mengaku berusia 100 tahun ini, sebelum masuk panti dua setengah tahun lalu, tinggal di pekuburan Desa Deresan, tempat tinggalnya, di Kabupaten Bantul. "Saya kepingin mati," katanya waktu itu kepada setiap orang yang lewat. Selama tinggal menyepi di makam tersebut, ia mendapat makanan dan minuman dari penduduk di sekitarnya. Suatu hari seorang petugas Dinas Sosial Bantul berhasil membujuk dan membawanya ke Sasana Tresna Wreda Abiyoso. Hari-hari pertama di panti, Mbah Soemo merengek minta pulang. Tapi kini tampaknya ia krasan. Suradi, 82 tahun, juga terpaksa harus krasan menempati gubuknya ukuran 3 X 3 meter. Berlantai semen, berdinding papan, kamar itu acak-acakan. Di sana Suradi memasak, makan, menerima tamu dan tidur -- beralas selembar tikar usang. Suradi belum setahun menghuni perumahan orang jompo di perkebunan -- Rambutan, tujuh kilometer dari Tebingtinggi, Sumatera Utara. Para karyawan perkebunan yang sudah uzur, seperti halnya Suradi, dicomot dari rumah-rumah tinggal milik perkebunan, lantas "dibuang" ke gubuk-gubuk seperti itu. "Dulu pihak perkebunan berjanji akan menjamin makan dan keperluan lainnya. Tapi hanya dua hari saja diberi makan gratis. Setelah itu saya harus berusaha sendiri, " keluh orang tua asal Kudus, Ja-Teng itu. Ia memang menerima pensiun dari perkebunan Rp 4.000 dan beras empat kilogram/bulan. Dulu ketika masih tinggal di perumahan perkebunan, Suradi masih bisa memelihara ayam dan bercocok tanam. Sekarang, bila berasnya habis, ia terpaksa meminta-minta kepada penduduk di sekitarnya. Suradi tak punya anak sementara familinya nun jauh di Jawa. "Saya memang menunggu mati di sini," ujarnya tenang. Ia masih kuat bersembahyang lima waktu sehari. Ada orang jompo yang masih punya semangat tinggi untuk hidup. Ia adalah Sutan Radjin, 85 tahun, penghuni Sasana Tresna Wreda Sicincin, Kabupaten Padang Pariaman. Tiga tahun tinggal di sana, ia bahkan sempat kawin yang kesebelas kalinya -- kali ini dengan bekas pacarnya, Insah, semasa masih remaja di kampung. Sutan Radjin, dari beberapa perkawinannya, mempunyai tiga orang anak yang kini tinggal di Jakarta, Surabaya dan Pakanbaru. Karena di hari tuanya ia tinggal sendirian, ia minta tinggal di panti jompo Sicincin. Dan setahun kemudian, pertengahan Januari 1980, bertemulah ia dengan Insah yang sudah berusia 76 tahun. Insah diantar oleh keluarganya ke panti tersebut. Insah selalu sakit-sakitan. Sutan Radjin merawatnya. Ia tak segan-segan membersihkan kotoran yang bertebaran di lantai atau mencuci pakaian kekasihnya itu. Sutan Radjin pula yang memapah bila Insah harus memeriksakan diri ke puskesmas. Api asmara rupanya berkobar kembali. Tak berapa lama, Februari 1980, keduanya menikah. Seminggu setelah perkawinan itu, penyakit Insah tampak agak sembuh. Tapi kemudian kambuh lagi dengan hebat. Dan pada 2 Mei 1980, Insah pun menghembuskan napasnya di pangkuan Sutan Radjin. Sandal dan pakaian bekas milik Insah kini tersimpan rapi. "Bila kelak tiba saatnya, saya ingin dikubur di samping makam Insah," kata Sutan Radjin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus