HARI-HARINYA ia habiskan dengan mengocok kartu menanyakan ajal.
"Tapi setiap kali saya membuka kartu, belum juga ada jawaban,"
ujar perempuan tua itu. "Agaknya saya masih diperintahkan tetap
begini, dengan tenang dan tawakal," katanya lagi.
Sucinah Surohartono mengaku sudah berumur 100 tahun lebih. Sudah
lebih dari lima tahun ia menetap di Pahti Wreda Dharma Bhakti di
Sala -- bersama 46 orang jompo lainnya. Ia merasa krasan. "Tapi
kadang-kadang sedih juga, karena saya tak punya anak," katanya.
Sejak masih berumur sembilan tahun, Sucinah yang lahir di
Wonogiri itu diajak orangtuanya "mengabdi" di Kraton Kasunanan
Surakarta. Dari perkawinannya dengan seorang pegawai perkebunan
kayu, ia sempat melahirkan dua anak, tapi semuanya meninggal.
"Dan ketika saya mulai tua, saya mohon berhenti sebagai abdi
dalem kraton, karena tidak kuat lagi bekerja," katanya.
Lepas dari kraton, Sucinah mendapat tugas menunggu rumah besar
seorang bangsawan yang lebih sering tinggal di Jakarta. Tapi
suatu hari ia ingin menjenguk familinya di Wonogiri. Karena
terlalu lama menunggu di terminal bis, ia tertidur. Malang,
tasnya yang berisi pakaian, bekal makanan dan sedikit uang,
disambar copet. "Saya menangis. Dan akhirnya diantar polisi ke
panti ini," tuturnya.
Sehari-hari kalau tidak mengocok kartu, acara Sucinah hanya
membersihkan kamar, menyapu halaman dan berjalan-jalan di
sekitar kompleks panti. Melalui kartu-kartu pula ia suka
meramalkan nasib salah seorang cucunya yang lahir dari
kemanakannya. Si cucu tinggal di Sala, namanya Warni. Dengan
kartunya Sucinah berusaha mengetahui keadaan Warni: sedang punya
uang atau sedang bertengkar dengan suaminya. "Kalau keadaannya
baik, saya minta izin pengurus panti ke rumah Warni. Naik
becak," katanya.
Sukamto, 75 tahun, juga mengaku betah tinggal di Panti Wreda
Usia (d/h Phin Lau Yuan) di Jalan Undaan Kulon Surabaya. Bekas
sopir ini sudah lima tahun tinggal di panti yang mengurus 45
orang jompo itu -- terdiri 16 kakek dan 29 nenek. Seperti
rekan-rekannya vang lain, Sukamto juga tidak punya sanak-famili.
Anaknya seorang dibawa istrinya ketika mereka bercerai.
NAMUN Sukamto alias Tang Hong Tjiau tak merasa sepi. Setiap pagi
ia merawat tanaman bunga di halaman panti. "Saya suka marah
kalau ada anak-anak pengunjung yang memetik bunga," katanya.
Selebihnya ia tekun membaca Injil. "Saya ingin lebih dekat
kepada Tuhan," ujarnya lirih. Setiap Minggu ia menghadiri
kebaktian di Gereja GKI Sulung, tak jauh dari Panti Wreda
tersebut.
Orang-orang tua seperti itu, ada beberapa yang berkelakuan
menyerupai anak-anak kembali. Mereka sering terlibat perang
mulut karena merasa jatah laukpauknya diambil rekannya. Dan bila
pengurus panti berusaha melerai, mereka malah memaki "Mau apa
kamu, anak kemarin sore!" Hal itu misalnya terjadi di Sasana
Tresna Wreda Budhi Dharma di Cilandak, Jakarta Selatan.
Sasana ini khusus menampung para perintis kemerdekaan, 11 janda
perintis dan dua pasang suami-istri. Ada di antaranya yang punya
keturunan, tapi merasa lebih bebas tinggal di panti. Ada pula
yang sudah tidak punya tempat tinggal lagi. "Rasa keakuan mereka
sangat besar. Dan umumnya mengidap penyakit darah tinggi.
Apalagi bila tanggal tua, ketika pensiun mereka sudah habis,"
ujar Muchtaron, pimpinan panti.
Penghuni Sasana Tresna antara lain Saiburrahman Gelar Sutan
Sinaro, 75 tahun. Ia tinggal bersama istrinya. Ia juga merasa
tidak betah tinggal di rumah anaknya, padahal anaknya 14 orang.
"Pensiun saya habis buat beli buah-buahan," katanya. Mengidap
penyakit jantung dan darah tinggi, ia pantang makan lemak, juga
tidak minum susu, kopi, gula.
Sehari-hari ia selalu rapi. Sering mengenakan sarung tenun, jas
dan peci. Kamarnya juga tampak rapi. Di sana ada radio, tape
recorder, teve. Beberapa potret yang melukiskan masa lamp aunya
ketika ia berjuang, penuh menghias dinding. Katanya, "Saya ini
orang politik". Ia mengaku beberapa kali ditangkap Belanda.
Pertama pada 1925 ketika ia bergabung dengan Sarekat Rakjat di
Sumatera Utara. Ia disel di Bukittinggi. Dua tahun kemudian
ditangkap lagi, dituduh pengikut Tan Malaka. Tiga tahun
kemudian, 1930, dijebloskan lagi ke sel yang sama. Pada 1934
ditangkap lagi, kali ini di Padang.
Bekas pemimpin redaksi koran Kris dan pengurus Pers Buro Permi
(Persatuan Muslimin Indonesia) di tahun 30-an ini, tampaknya
masih senang menulis. Ia mengaku sedang menyiapkan sebuah memoar
yang menurut dia akan diterbitkan Departemen Penerangan. "Saya
juga ingin menulis sebuah roman politik," katanya lagi. Wajahnya
yang sudah berkeriput itu selalu tampak cerah.
Perumahan Orang Tua Pniel dianggap tertua di Indonesia,
setidaknya di Jakarta. Didirikan pada 1893 oleh Gereja Protestan
Indonesia bagian Barat (GPIB), panti ini kini terletak di Jalan
Samanhudi. Sekarang POT Pniel menarnpung 59 orang jompo, terdiri
dari 11 opa dan 48 oma.
Suharti, salah seorang penghuni yang berusia 82 tahun, sudah
sepuluh tahun tak bisa berjalan. Kini ia harus tinggal di
ranjang saja. Di masa mudanya ia menderita. Payudaranya
dioperasi, ginjalnya sakit, sementara satu-satunya anak
lelakinya meninggal ditembak Jepang, hanya enam bulan menjelang
dinikahkan. Meski giginya sudah ompong, Suharti masih senang
makan krupuk dan rempeyek.
Namun di hari tuanya kini ia tidak merasa kesepian. Sebab,
menurut ceritanya, setiap kali Yesus datang menjenguknya. "Mata
saya sudah rabun, tapi bisa melihat Yesus datang," katanya.
Para perawat di Pniel bekerja secara suka-rela. Mereka tidak
mendapat imbalan ataupun gaji. "Mereka hanya menerima uang
transpor Rp 20.000/bulan," kata Zuster Vin Silano, 62 tahun,
kepala bagian kesehatan, yang sudah 30 tahun mengabdi di Pniel.
Kucing rupanya jadi favorit para penghuni Pniel. "Ada nenek yang
memelihara 10 ekor dan masing-masing punya nama," tutur Silano
lagi. "Di sini kan banyak kucing liar. Nenek-nenek itu lebih
suka menahan lapar daripada kucingnya tidak dapat makan,"
katanya.
Kadang-kadang para pengasuh panti juga harus melayani kemanjaan
mereka. Mereka sering pura-pura sakit perut, sakit pinggang atau
sakit gigi -- meskipun gigi sudah ompong. Pada acara-acara
Paskah atau Natal, banyak pula yang ingin menyanyi. Maka
mengalunlah Keroncong Moritsko, dengan lafal yang tidak jelas. .
.
Lain lagi dengan Nuryati, 75 tahun. Nenek tua ini amat suka
berjalan-jalan sampai jauh malam di kompleks Sasana Tresna Wreda
Abiyoso, di Pakem (Yogyakarta), tempat ia ditampung. Pengurus
Sasana tentu repot. "Saya sering khawatir kalau-kalau ia masuk
angin," kata Ny. Sudarmilah, pengurus panti jompo ini. Mbah
Nuryati juga suka ngelayap ke bagian lelaki, kakek-kakek, hanya
untuk ngobrol.
Panti ini menampung 17 kakek dan 25 nenek yang sebagian besar
tidak punya famili atau keturunan. Terletak di pinggir jalan
besar, 2 km sebelum Kaliurang bangunannya tidak kalah dengan
villa-villa di Kaliurang. Panti ini tampaknya memang
dipersiapkan sebagai tempat menghabiskan hari-hari terakhir.
Mbah Nuryati agaknya masih suka pacaran. Maklum, di masa mudanya
ia cantik, menjadi buah-bibir di kota kelahirannya, Baturaja,
Sumatera Selatan. Ia menikah dengan seorang opsir Belanda dan
membuahkan dua anak. Setelah bercerai, ia menikah lagi dengan
tentara pula, tapi meninggal di zaman Jepang. Kemudian Nuryati
kawin lagi, sekali lagi dengan anggota tentara yang 15 tahun
lebih muda.
Karena perkawinan ini tak membuahkan anak, suami Nuryati kawin
lagi. Nuryati hidup serumah dengan madunya, sampai akhir tahun
lalu ketika ia dipersilakan hidup di tempat lain. Nuryati
memilih panti jompo. "Saya sering kesepian, tapi apa boleh
buat," katanya. Ia tidak mau ikut anak-anaknya, "sebab saya
tidak ingin merepotkan mereka". Nuryati mengisi hari-hari
sepinya dengan menyulam.
Hasil sulaman Nuryati yang selalu dibeli oleh pengurus panti
tampak menghiasi meja-meja di panti tersebut. "Lumayan buat beli
kue," kata Nuryati. Dalam usia 75 tahun, ingatannya masih tajam,
bicaranya pun masih lancar. "Saya masih kuat sembahyang lima
waktu. Bahkan kuat puasa kok," ujanya bangga.
Hasil kerajinan tangan Soemodihardjo, berupa sapu dari sabut
kelapa, juga dibeli pengurus panti. "Kualitasnya memang jelek,
tapi itu sekedar hiburan buat mereka," tutur Ny. Sudarmilah.
Kakek yang mengaku berusia 100 tahun ini, sebelum masuk panti
dua setengah tahun lalu, tinggal di pekuburan Desa Deresan,
tempat tinggalnya, di Kabupaten Bantul.
"Saya kepingin mati," katanya waktu itu kepada setiap orang yang
lewat. Selama tinggal menyepi di makam tersebut, ia mendapat
makanan dan minuman dari penduduk di sekitarnya. Suatu hari
seorang petugas Dinas Sosial Bantul berhasil membujuk dan
membawanya ke Sasana Tresna Wreda Abiyoso. Hari-hari pertama di
panti, Mbah Soemo merengek minta pulang. Tapi kini tampaknya ia
krasan.
Suradi, 82 tahun, juga terpaksa harus krasan menempati gubuknya
ukuran 3 X 3 meter. Berlantai semen, berdinding papan, kamar itu
acak-acakan. Di sana Suradi memasak, makan, menerima tamu dan
tidur -- beralas selembar tikar usang. Suradi belum setahun
menghuni perumahan orang jompo di perkebunan -- Rambutan, tujuh
kilometer dari Tebingtinggi, Sumatera Utara.
Para karyawan perkebunan yang sudah uzur, seperti halnya Suradi,
dicomot dari rumah-rumah tinggal milik perkebunan, lantas
"dibuang" ke gubuk-gubuk seperti itu. "Dulu pihak perkebunan
berjanji akan menjamin makan dan keperluan lainnya. Tapi hanya
dua hari saja diberi makan gratis. Setelah itu saya harus
berusaha sendiri, " keluh orang tua asal Kudus, Ja-Teng itu. Ia
memang menerima pensiun dari perkebunan Rp 4.000 dan beras empat
kilogram/bulan.
Dulu ketika masih tinggal di perumahan perkebunan, Suradi masih
bisa memelihara ayam dan bercocok tanam. Sekarang, bila berasnya
habis, ia terpaksa meminta-minta kepada penduduk di sekitarnya.
Suradi tak punya anak sementara familinya nun jauh di Jawa.
"Saya memang menunggu mati di sini," ujarnya tenang. Ia masih
kuat bersembahyang lima waktu sehari.
Ada orang jompo yang masih punya semangat tinggi untuk hidup. Ia
adalah Sutan Radjin, 85 tahun, penghuni Sasana Tresna Wreda
Sicincin, Kabupaten Padang Pariaman. Tiga tahun tinggal di sana,
ia bahkan sempat kawin yang kesebelas kalinya -- kali ini dengan
bekas pacarnya, Insah, semasa masih remaja di kampung.
Sutan Radjin, dari beberapa perkawinannya, mempunyai tiga orang
anak yang kini tinggal di Jakarta, Surabaya dan Pakanbaru.
Karena di hari tuanya ia tinggal sendirian, ia minta tinggal di
panti jompo Sicincin. Dan setahun kemudian, pertengahan Januari
1980, bertemulah ia dengan Insah yang sudah berusia 76 tahun.
Insah diantar oleh keluarganya ke panti tersebut.
Insah selalu sakit-sakitan. Sutan Radjin merawatnya. Ia tak
segan-segan membersihkan kotoran yang bertebaran di lantai atau
mencuci pakaian kekasihnya itu. Sutan Radjin pula yang memapah
bila Insah harus memeriksakan diri ke puskesmas. Api asmara
rupanya berkobar kembali. Tak berapa lama, Februari 1980,
keduanya menikah.
Seminggu setelah perkawinan itu, penyakit Insah tampak agak
sembuh. Tapi kemudian kambuh lagi dengan hebat. Dan pada 2 Mei
1980, Insah pun menghembuskan napasnya di pangkuan Sutan Radjin.
Sandal dan pakaian bekas milik Insah kini tersimpan rapi. "Bila
kelak tiba saatnya, saya ingin dikubur di samping makam Insah,"
kata Sutan Radjin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini