Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Seorang Sutradara dan Film Indonesia

Film terbaru Richard Oh yang muram tapi sekaligus menghibur tentang industri film Indonesia dan perjalanan seorang sutradara.

6 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melancholy Is a Movement
Sutradara dan Skenario:Richard oh
Pemain: Joko Anwar, Ario Bayu, Fachry Albar, Aming, Alex Abbad, Verdi Solaiman, Hannah Al Rashid, Upi, Farishad Latjuba
Produksi: Metafor Pictures

Joko Anwar bukan memainkan Joko Anwar.

Meski nama protagonis dalam film ini adalah "Joko Anwar" yang diperankan Joko Anwar, tokoh "Joko Anwar" adalah seorang sutradara rekaan Richard Oh yang berkisah tentang perjalanan (karier dan batin).

Film ini dimulai dengan serombongan semut rangrang yang kehidupannya mendadak terhenti karena kucuran air kencing. Tokoh kita, "Joko Anwar", yang diperankan Joko Anwar, bersama kawan-kawannya di bawah terik matahari merubung sebuah makam kecil, makam anjing kesayangan sang sutradara. Di antara kesedihan inilah Joko Anwar jeda dan mengencingi gerombolan semut itu.

Untuk selanjutnya, kita bukan melihat sosok Joko Anwar nyata yang di dunia film dikenal gemar berbincang dan tampak selalu riang gembira. Dalam 45 menit pertama film ini, protagonis kita adalah sosok yang ekonomis dengan kata, tenggelam dalam sesuatu yang hanya dipahami dirinya sendiri. Seorang sutradara yang sebelumnya dikenal sebagai kreator film thriller dan seterusnya. Lantas datanglah berbagai produser dan investor dengan segala tingkahnya yang memberikan efek komedi selintas yang mungkin hanya dipahami penggemar film ("Hitchcock, Kurosawa… mungkin kita suatu saat hire mereka juga," kata satu investor yang jelas dungu karena tidak tahu para maestro itu sudah wafat).

Sang sutradara tak bergerak. Dia mencoba bergerak. Membantu kawan-kawannya yang rewel dan manja ("Bang… aku ada persoalan, Bang"), membersihkan lantai rumah, mencangkul tanah, dan semua kerja fisik lainnya. Tapi, secara mental, di manakah Joko berada?

Richard Oh tengah memainkan cara bernarasi. Semua pemain seolah-olah memainkan diri sendiri dengan menggunakan nama masing-masing. Begitu memasuki jagat Richard Oh, mereka menjadi tokoh fiktif. Di dalam dunia rekaan ini, Richard tidak menggunakan plot linier yang biasa terjadi dalam drama tiga babak. Tokoh Joko Anwar si protagonis harus bergerak untuk membuat film karena, "Bang, harus bayar sewa kantor," demikian kawan/produsernya yang setia dengan diam-diam "menjodohkan" Joko dengan para investor itu. Celakanya, hari gini di Indonesia yang dianggap asyik adalah film-film religi, sesuatu yang selalu dihindari baik oleh tokoh Joko Anwar dalam film maupun oleh Joko Anwar sendiri dalam hidup nyata.

Permainan Richard Oh membaurkan tokoh nyata dengan nama para pemainnya ini menjadi menarik: seorang tokoh sutradara yang tampak redup dan hanya berkomunikasi dengan dirinya dan ciptaannya sendiri, sementara dunia di sekelilingnya yang riuh dan bawel mencoba mengguncangnya. Persoalannya: apakah dia akan mengambil pesanan membuat film religi, dan film religi macam apa yang akan dibuatnya?

Sekilas film ini seperti sebuah komentar dan kritik terhadap film Indonesia masa kini. Tapi Richard sesungguhnya tengah membuat sebuah film di dalam film di dalam film. Lapisan-lapisan itu terkuak perlahan hingga akhir film. Soal perbenturan idealisme versus pragmatisme tokoh Joko Anwar adalah kemasan agar kita bisa menyentuh jagat yang diciptakan Richard.

Dalam film ini, seperti dalam film-film Richard sebelumnya, kata tidak digunakan untuk menyampaikan makna. Richard tak percaya bahwa kata adalah satu-satunya alat untuk menyampaikan makna. Maka adegan-adegan seolah-olah tersusun tanpa hubungan plot. Gambar-gambar yang tersusun: Joko membersihkan rumah, Joko akhirnya mengetik sebuah skenario, Joko berdiri di lobi bioskop sembari menanti reaksi penonton, hingga akhirnya dia disergap oleh wartawan televisi yang cerewet (diperankan Aimee Saras dengan bagus), terasa bercerita, tapi sesungguhnya kita tengah diajak Richard mengikuti jalan pikiran seorang sutradara.

Dialog dan seni peran semua pemain seolah-olah terjadi begitu saja, sebuah improvisasi yang asyik. Ternyata film ini disusun dalam skenario yang sangat ketat. "Tentu saja saya memberikan sedikit improvisasi, tapi semua itu sesuai dengan skenario," kata Richard kepada Tempo.

Dari semua karya Richard Oh (Koper, Description without Place), saya paling menikmati film ini justru karena permainan narasi Richard yang cerdas.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus