Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ngeri membalut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
berlalu sudah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
sekedip-hidup
Akan terus begini mendjelang menghilang (Usmar Ismail, “Ditengah Djalan”)
POTONGAN sajak “Ditengah Djalan” yang dibuat Usmar Ismail 77 tahun lalu itu ditulis di tembok di Bukittinggi, Sumatera Barat, kota kelahiran Usmar, menjelang perayaan 100 tahun usia sang sutradara. Tulisan itu tepatnya berada di tembok Janjang Ampek Puluah, area tangga ikonik yang menghubungkan Pasar Atas dan Pasar Bawah, tak jauh dari Jam Gadang. Teks sajak itu ditulis bersanding dengan mural wajah Usmar yang digarap bareng oleh sejumlah anak muda Bukittinggi pada 10-17 Maret lalu.
Berjarak sekitar 1 kilometer dari situ, terdapat “teks grafiti” kedua yang juga terkait dengan Usmar, yakni di ruas Jalan Panorama, dekat Lubang Jepang, obyek wisata sejarah yang dulu merupakan markas tentara Nippon dalam perang 1942. Di tempat ini, kalimat Usmar tentang film ditulis di tembok: “Dan film itu oleh segala bangsa di dunia ini sudah lama dipergunakan sebagai alat komunikasi yang tiada tara ampuhnya.”
Saat menulis “Ditengah Djalan”, Usmar baru berusia 23 tahun. Dia baru saja menggarap naskah drama pertamanya, Moetiara dari Noesa Laoet (1943). Sesekali pada masa itu Usmar juga menulis sajak. Koleksi puisinya kemudian diterbitkan menjadi Puntung Berasap (1950), yang menjadi satu-satunya buku kumpulan sajak Usmar. Kita tahu, setelah itu, Usmar larut menyutradarai dan memproduseri film beragam genre. “Beliau dikenang dengan baik dalam sejarah perfilman kita, tapi di kampung halamannya justru kurang dikenal,” kata sutradara Minang, Arief Malinmudo, melalui telepon, Rabu, 17 Maret lalu.
Arief memandang peringatan seabad usia Usmar Ismail yang jatuh pada 20 Maret tahun ini sebagai momentum untuk mengenang salah satu pelopor perfilman Indonesia tersebut. Arief tak sendiri. Bersama sutradara Riri Riza dan Lisabona Rahman, dia menjadi kurator serangkaian kegiatan dengan tanda pagar #100TahunUsmarIsmail. Acara itu dihelat di Jakarta, Makassar, dan Bukittinggi pada 20-30 Maret 2021. Ketiga kota tersebut mempunyai tugas masing-masing: Jakarta memutar film, Makassar mengadakan diskusi, Bukittinggi menggelar pameran dan mural.
Arief mengungkapkan, ide merayakan 100 tahun Usmar muncul dalam obrolannya dengan Riri pada Maret tahun lalu. Baru pada akhir 2020 keduanya menggandeng Lisabona, yang terlibat dalam restorasi film Usmar, Lewat Djam Malam (1954) dan Tiga Dara (1957). Mereka lantas menggali informasi tentang Usmar dari arsip dan kerabatnya, termasuk Alwi Dahlan. Alwi, Menteri Penerangan era Presiden Soeharto, adalah keponakan langsung Usmar yang diajak ke Ibu Kota untuk berlatih menulis skenario.
Ketiganya bersepakat acara perayaan akan merepresentasikan kiprah Usmar sebagai sastrawan, sineas, dan pelakon teater. Untuk lokasi pameran di Bukittinggi, sebuah kedai kopi dipilih dengan pertimbangan lebih membumi. Di situ dipajang cuplikan naskah sandiwara Usmar, sejumlah pernyataannya tentang dunia seni, syair-syairnya, serta bahasan sederet film garapan lelaki yang dulu aktif di Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia tersebut. Adapun periode akhir hidup Usmar, yang sarat kerikil tajam karena kisruh politik mempengaruhi dunia perfilman, tidak akan disinggung. “Itu kurang tepat dicantumkan ketika kita ingin mengenalkan Usmar Ismail,” tutur Arief, sutradara Surau dan Silek.
Riri menambahkan, pameran di Bukittinggi dipersiapkan dengan konsep arsip yang memudahkan anak muda setempat mengenali Usmar. Sedangkan diskusi virtual yang digelar Rumata’ ArtSpace Makassar bakal membahas aspek kreatif dan artistik karya-karya Usmar. “Kami tidak ingin nama Usmar berhenti sebatas mitos perfilman Indonesia. Karena itu, visinya sebagai seorang seniman yang sangat lengkap menarik untuk dibicarakan kembali,” ujarnya melalui telepon, Selasa, 16 Maret lalu.
Riri menilai kiprah Usmar di bidang teater menarik karena sangat kuat membentuk penciptaan karakter dan narasi film. Usmar juga terlihat piawai menggali elemen fisik kota dan dapat mengembuskan kegelisahan serta pertanyaan-pertanyaan psikologis mengenai realitas sosial. Hal itu dipengaruhi latar belakang Usmar yang beragam, baik sebagai penyair, wartawan, kolumnis, produser, maupun pengusaha. Tak aneh bila Usmar mampu melahirkan eksperimen-eksperimen berani pada zamannya, seperti dalam film Tamu Agung dan Harimau Campa.
Yang juga perlu dicatat dari karier Usmar adalah pilihannya memberi anak-anak muda kesempatan. Misalnya sutradara Nya Abbas Akup, yang dipilih Usmar mengarahkan film anak produksinya, Djendral Kantjil. Ada juga penata artistik kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, Chalid Arifin, yang terlibat dalam produksi Lewat Djam Malam, serta Soemardjono, editor film Harimau Campa, Asrama Dara, dan Big Village. “Saya masih sempat diajar Pak Chalid, juga Pak Soemardjono. Jadi pengaruh Pak Usmar bisa dibilang masih ada hingga ke generasi saya,” ucap Riri.
Dengan tagar sama, #100TahunUsmarIsmail, Kineforum mengenang Usmar lewat Layarvirtual yang memutar empat film secara daring pada 17-30 Maret 2021, yakni Amor dan Humor, Big Village, Asrama Dara, serta Lahirnja Gatotkatja. Empat film itu dipilih karena dianggap mewakili ragam genre garapan Usmar, yaitu komedi, drama, romansa, dan cerita rakyat. Koordinator Program Kineforum Ifan Ismail menduga Usmar terus bereksperimen karena ingin senantiasa bisa terkoneksi dengan penonton.
Dalam peringatan seabad Usmar, Ifan berharap muncul pembahasan tentang periode menarik sutradara Darah dan Doa ini, tepatnya pada 1960-an atau sedekade terakhir kehidupan Usmar. Ifan mengatakan periode ini masih jarang dibicarakan, terkubur oleh karya megah Usmar sebelumnya, seperti Tiga Dara dan Lewat Djam Malam.
“Seratus tahun Usmar memang pantas dirayakan, tapi narasinya sebagai ‘bapak perfilman nasional’ berpotensi kepeleset menjadi politis,” ujar Ifan saat dihubungi, Rabu, 17 Maret lalu. Bilapun Usmar diberi gelar bapak perfilman Indonesia, Ifan menyayangkan soal pengarsipan filmnya. Sebab, sampai sekarang ada sejumlah film Usmar yang tak ketahuan rimbanya.
Kelompok kolektif Cinema Poetica juga menyiapkan acara peringatan seabad Usmar Ismail. Pendiri sekaligus Pemimpin Redaksi Cinema Poetica, Adrian Jonathan Pasaribu, mengatakan sejak jauh hari mereka mengumpulkan arsip tentang Usmar, baik foto, buku, poster, maupun tulisannya di media massa. Adrian berharap dokumentasi itu bisa diunggah ke Cinema Poetica sehingga publik dapat mengakses pemikiran Usmar pada masanya. “Nah, saat sedang menyiapkan ini, kami mulai tertarik pada beberapa aspek di fase terakhir hidup Usmar yang jarang dibicarakan,” tutur Adrian saat dihubungi, Selasa, 16 Maret lalu.
Setelah menggarap Asrama Dara pada 1958, Usmar makin bersemangat memproduksi banyak film. Hasratnya meletup-letup, tapi pada saat yang sama terjadi krisis moneter. Kemampuan finansialnya pun cekak. Ia meraba selera masyarakat dan menjajal genre baru, seperti film tradisi serta religi. Pada 1964, Usmar menjadi penasihat teknis dalam film Tauhid (1964) arahan Asrul Sani. Empat tahun setelahnya, Usmar menyutradarai sendiri film Ja, Mualim (1968) yang mengisahkan seorang pemuda yang kembali ke kampung untuk berdakwah. “Usmar mempopulerkan film dakwah dan berkontribusi di film religi walau setelahnya ada sineas lain yang lebih canggih, seperti Asrul Sani dan Chaerul Umam,” kata Adrian.
Tak hanya menggarap film dakwah, Usmar sebelumnya juga berperan membuka ruang dialog antara publik dan tokoh agama. Pada 1950-an, Adrian mengungkapkan, sempat lahir anggapan bahwa film merupakan medium yang haram. Pada 1953, Usmar menuliskan pendapatnya di salah satu media massa. Dia berpandangan, bila ada yang menggunakan film untuk sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama, yang najis bukanlah film tersebut, tapi pembuatnya.
Setelah Usmar meninggal pada 1971, mitos melanggengkannya sebagai sineas nasionalis. Menurut Adrian, perspektif itu secara historis kurang tepat karena hanya bisa dilekatkan pada Usmar sampai film Lewat Djam Malam. “Setelah itu, untuk Tiga Dara dan Tamu Agung, kita tidak bisa memakai perspektif yang sama. Ini yang mesti kita tengok lagi bersama-sama.”
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo