Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kertalasmara: Saja berpengalaman dari zaman stambul, bangsawan, sampai-sampai ke zaman Dardanella hingga sekarang ini. Tidak Saudara-saudara, ini akan djadi tertawaan penonton sadja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kadjiman: Saja jakin orang jang menonton jang mengerti apa jang kita bitjarakan ini ingin tahu bagaimana achirnya, bukan? Meskipun kita, tjuma betjakap-tjakap sadja. Tetapi dalam pertjakapan ini ada… isinya akan menjalakan hati penonton djuga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KUTIPAN di atas adalah cuplikan sebuah dialog dari naskah Liburan Seniman karya Usmar Ismail. Sekelompok anak muda di awal 1940-an digambarkan dalam naskah itu tengah mempersiapkan pertunjukan drama. Mereka adalah Suromo, penulis naskah merangkap sutradara; Kadjiman, pemusik; Rutaf, penata dekor; dan Kanto, aktor. Sebuah drama yang berbeda dibanding tonil-tonil sebelumnya. Judulnya: Kebangkitan. Direncanakan tidak ada bagian nyanyian atau tarian sebagaimana pertunjukan Dardanella, Miss Riboet Orion, Teater Stamboel, atau Teater Bangsawan. Mereka bergairah—meski serba kekurangan. Namun, sejak awal latihan, drama itu dikuliti oleh Kertalasmara, seorang sutradara tonil gaek.
Kertalasmara mengkritik habis-habisan naskah Kebangkitan karena isinya dialog melulu. Sebuah naskah yang buruk. Kertalasmara, yang telah banyak makan asam garam di panggung, memberikan petuah kepada anak-anak muda itu bahwa penonton harus diutamakan. Jangan sampai membuat penonton bosan. “Orang semua bisa ngantuk. Saja sudah berpengalaman lebih dari dua puluh tahun….” Kertalasmara sampai memberikan contoh kepada anak-anak itu bagaimana mengucapkan vokal yang benar seperti suara Hamlet dalam kisah-kisah yang disadur di panggung Dardanella—suara dengan sedikit intonasi nyanyian. “Suaranja mesti lebih keras. Kalau berbisik-bisik di atas panggung, mana orang bisa dengar.”
Naskah Liburan Seniman karya Usmar Ismail itu dimuat dalam kumpulan naskah drama Sedih dan Gembira bersama dua karya Usmar lain: Api dan Tjitra. Karya-karya itu dibuat Usmar di era pendudukan Jepang. Jepang saat itu membentuk Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) yang mengajak seniman Indonesia terlibat dalam propaganda Asia Timur Raya. Usmar bekerja di seksi drama. H.B. Jassin menyatakan pada mulanya Usmar adalah sastrawan yang sangat antusias menyambut kedatangan Jepang—sebagaimana tecermin dalam sajaknya, “Angin Fudji”. Namun kemudian Usmar mulai kritis.
Di era Jepang itu, Usmar berani mementaskan lakon di luar program Keimin Bunka Shidosho. Usmar membentuk grup Sandiwara Penggemar Maya bersama Rosihan Anwar, Tjok Sinsu, Hario Singgih, Basuki Resobowo, dan lain-lain. Mereka mementaskan lakon sendiri dan lakon Taufik el-Hakim (alias Dr Abu Hanifah), Taufan di Atas Asia, Intelek Istimewa, dan Dewi Reni, yang menurut Jassin penuh sindiran terselubung terhadap Dai Nippon. Di era peredaran naskah dan pentas yang dikontrol ketat oleh Jepang—dan para pelakunya bisa dipancung jika dianggap tak sesuai dengan misi Nippon—secara cerdik Usmar tetap menautkan naskahnya dengan Jepang, meski titik tekannya cita-cita kemerdekaan dan kebaruan Indonesia. Itu sangat berbeda bila kita bandingkan dengan naskah murni produk Keimin Bunka Shidosho seperti Awas, Mata-Mata Moesoeh karya D. Djojokoesomo atau Bekerdja karya Ananta G.S. Naskah-naskah ini sangat kental dengan napas propagandis.
Naskah teater Usmar sendiri menampilkan penokohan dan konflik yang sedemikian realis. Sebuah dasar yang penting bagi seni peran dalam film. Kalimat para aktor sehari-hari wajar dan natural, bukan kalimat yang dibumbui syair atau dilanggam-langgamkan seperti puisi. Perbedaan karakter jelas satu sama lain. Alur dramaturginya juga telah menyerupai naskah-naskah realis modern. Alur adalah rangkaian peristiwa yang dijalin berdasarkan hubungan sebab-akibat yang menggerakkan jalan cerita ke arah pertikaian dan penyelesaian. Dimulai dengan sebuah eksposisi, alur menggulirkan penanjakan, klimaks, dan akhirnya resolusi. Dalam Liburan Seniman, meski konfliknya cenderung datar, eksposisi menggambarkan kesulitan mencari pemain dan ongkos produksi sampai pertentangan keluarga. Menjelang akhir, ada bagian yang memikat, yaitu saat mereka berlatih. Adegan menjadi sebuah drama dalam drama.
Pemberian nama Kertalasmara untuk tokoh antagonis, si sutradara gaek angkatan tua itu, menarik. Banyak yang menduga Kertalasmara adalah pelesetan Usmar untuk Andjar Asmara, kampiun teater Dardanella, senior Usmar. Andjar Asmara adalah dramawan yang berusaha memasukkan naskah-naskah dengan kecenderungan realis ke Dardanella. Nama aslinya Abisin Abbas. Ia seorang Minang dan mulanya bekerja sebagai wartawan dan pengulas teater. Setelah masuk ke Dardanella, ia dikenal khusus menciptakan drama untuk Dewi Dja, seperti Si Bongkok, Haida dan Tjang, Ex Sawah Lunto, Tandak Buta, Gadis Desa, serta Singa Minangkabau. Salah satu naskahnya yang legendaris adalah Dr Samsi. Dr Samsi pertama kali dipentaskan Dardanella pada 1930. Drama yang melambungkan nama Dewi Dja dan Tan Tjeng Bok ini dipentaskan puluhan kali oleh Dardanella.
Kita tak tahu—apabila benar Kertalasmara adalah Andjar Asmara—mengapa Usmar memetaforakan dia sebagai sosok teaterawan tua kolot yang anti-pembaruan. Padahal mereka terlihat sama-sama tertarik pada naskah realis. Kita menduga, mungkin di balik layar mereka kerap berdialog mengenai bagaimana susahnya membangun suatu jenis teater realis di tengah publik yang biasa menerima bentuk teater hiburan penuh nyanyian. Dalam naskah itu, Kertalasmara mengeluh bagaimana awalnya dia juga berniat membangun teater serius tapi gagal: “Aku djuga pernah bertjita-tjita tinggi, tapi semuanja tinggal tjita-tjita saja.”
Akan halnya naskah Api—bila kita baca naskahnya—segera bisa kita tangkap unsur dramatisnya, yaitu kebakaran. Setting drama ini adalah perusahaan obat yang memiliki laboratorium. Di tengah adegan, laboratorium meledak dan nyala apinya merembet hingga meluluhlantakkan deretan rumah. Drama ini berkisah tentang kecemburuan pemilik perusahaan, R. Hendrapati, terhadap asistennya yang bernama Irwan. Sang asisten dianggap melangkahinya dengan diam-diam melakukan percobaan membuat racikan obat sendiri. Hendrapati memperingatkan bahwa Irwan dulu orang melarat yang direkrut dan diberi tumpangan di rumahnya.
Hendrapati sesungguhnya cemas bahwa dia, yang lulusan Sekolah Tinggi Obat-obatan Rotterdam, ternyata memiliki kemampuan pengobatan yang kalah dibanding asistennya yang hanya apoteker lokal. Ia mengingkari kemajuan pesat perusahaan obatnya disebabkan oleh ilmu pengetahuan Irwan. Ia bermaksud menyingkirkan sang asisten. Karniasih, anak Hendrapati yang mencintai Irwan, menolak niat busuk ayahnya. Sampai suatu hari, di tengah percekcokan antara Karniasih dan Hendrapati, tiba-tiba terjadi ledakan di laboratorium. Api menjalar ke mana-mana. Hendrapati panik, segera menuduh Irwan pelakunya: “Engkau membakarnya djahanam!” Hendrapati segera lari masuk ke laboratorium berusaha menyelamatkan laboratoriumnya, tapi ia tewas dan mayatnya tak pernah ditemukan. Drama ini memberi kejutan bahwa ternyata ledakan itu terjadi karena diam-diam Hendrapati tengah melakukan percobaan membuat bahan peledak untuk peperangan. Lantaran ia kurang pengetahuan, bahan-bahannya meledak sendiri. Dapat kita bayangkan bila naskah itu dipentaskan di masa kini—set panggung bisa dibuat dengan efek visual mengejutkan: kobaran api, rumah hangus, puing-puing.
Adapun Tjitra, naskah yang namanya menjadi inspirasi simbol dan piala Festival Film Indonesia, berkisah tentang percintaan keluarga pemilik pabrik tenun dan perkebunan kapas Djawa Timur. Pabrik tenun itu tutup pada masa pendudukan Belanda dan baru bangkit setelah tiba zaman Jepang. Sutopo dan Harsono, dua putra janda Suriowinoto, pemilik perusahaan, yang berbeda ayah diam-diam mencintai Tjitra, seorang anak pungut keluarga yang menjadi adik mereka. Mereka bersaing. Harsono menghamili Tjitra, tapi memilih hidup dengan seorang wanita “nakal” kaya di luar kota. Sutopo lalu menikahi Tjitra untuk formalitas belaka. Kondisi kejiwaan Tjitra merosot, apalagi setelah anaknya meninggal.
Drama ini menceritakan bagaimana pabrik sesungguhnya dioperasikan oleh Harsono dan Tjitra yang sehari-hari hampa dan kering secara psikologis. Harsono diceritakan pulang beberapa tahun kemudian karena “wanita nakal” yang dinikahinya meninggal dan ia jatuh miskin. Ia tak mengetahui bahwa Tjitra telah menjadi istri Sutopo dan anaknya sudah meninggal. Untuk menebus dosanya, Harsono mendaftarkan diri ke Barisan Djibaku—barisan berani mati Jepang yang bertugas menumbukkan diri dengan granat pada tank musuh.
Tjitra mulanya adalah sajak Usmar Ismail yang dibuat menjadi lagu oleh Cornel Simandjuntak. Dalam drama itu, sosok Cornel menjadi Kornel—pemusik yang ditugasi Jepang menghibur buruh pabrik dan lalu membuatkan komposisi lagu “Tjitra” untuk Sutopo. Drama ini menjadi menghanyutkan—sedikit sentimental—karena di tiap senggang Sutopo memainkan piano sembari menyanyikan “Tjitra” dengan nada pedih (lirik lagu “Tjitra” karangan Cornel: Tjitra engkaulah bayangan, Tjitra kau gelisah malam dalam kabut suram). Tapi dentingan piano Sutopo itu jugalah yang membuat cemburu hati Harsono—dan menyebabkan dia memilih menyingkir dari rumah. Lagu itu meneror, menghantui kedua laki-laki tersebut.
Nila Djuwita dan Rd. Sukarno dalam salah adegan Tjitra, karya Usmar Ismail. Wikipedia
Tjitra kemudian diangkat Usmar menjadi film pada 1949, dibintangi Rd. Sukarno dan Nila Djuwita. Adapun Liburan Seniman diadaptasi ke layar film pada 1965 dengan pemain Rachmat Hidayat, Soekarno M. Noor, Menzano, dan Mila Karmila. Oleh Usmar, latar Liburan Seniman diubah. Sementara dramanya berlatar zaman Jepang, setting dalam film adalah era Sukarno pada 1965, saat perayaan ulang tahun kesepuluh Konferensi Asia-Afrika. Film memperlihatkan baliho, mural, dan spanduk bernada revolusioner di berbagai sudut Jakarta. Bahkan ada satu adegan yang menampilkan footage Soebandrio—Menteri Luar Negeri saat itu—menyambut kedatangan delegasi perwakilan negara sahabat. Orde Baru melarang film ini diedarkan.
Bila diperhatikan, teater memang menjadi fondasi penting bagi dunia film Usmar Ismail. Film Dosa Tak Berampun (1951) Usmar juga sesungguhnya bertolak dari adaptasi drama satu babak karya dramawan Jepang, Kikuchi Kan, berjudul Chichi Kaeru (Father Returns). Film lain, Harta Karun (1949), diangkat dari The Miser karya dramawan Prancis, Molière, sementara Tamu Agung (1955) merupakan adaptasi dari Inspektur Jendral karya Nikolai Gogol. Sepulang belajar tentang film dari Amerika Serikat, Usmar juga dikenal sebagai pendiri Akademi Teater Nasional Indonesia, yang lulusannya banyak berkecimpung di dunia film.
Satu jenis karya drama Usmar yang belum disebut: sandiwara radio. Drama radio sering dilupakan dalam kajian sejarah teater Indonesia. Usmar mengarang naskah drama radio Moetiara dari Noesa Laoet (tentang perjuangan Martha Christina Tiahahu di Maluku melawan Belanda) dan Tempat jang Kosong. Drama ini disiarkan pemancar radio Jepang selama masa pendudukan. Drama tersebut juga pernah dipentaskan di panggung. Pada 1958, misalnya, Usmar menyutradarai Moetiara dari Noesa Laoet di Gedung Kesenian Jakarta dengan pemain Dhalia (aktris yang memenangi Festival Film Indonesia 1955 lewat film Usmar, Lewat Djam Malam), Chitra Dewi, Soekarno M. Noor, Rendra Karno, dan Boes Boestami. Pementasan ini diselenggarakan oleh Panitia Pembebasan Irian Barat Artis Film dan Militer di bawah pimpinan Mayor Marsudi.
Gajus Siagian, sastrawan dan wartawan yang menulis resensi pertunjukan itu di majalah Aneka pada 1958, memuji habis penyutradaraan Usmar dan akting para pemain, termasuk Dhalia sebagai pemeran utama: “Sebagai tokoh pusat, permainan Dhalia dari mula hingga sampai akhir sungguh-sungguh meyakinkan. Dia menguasai seluruh permainan, membuat perhatian penonton dipusatkan padanya sehingga detail-detail yang kurang sempurna tak tampak pada publik.”
SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo