Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELAN tapi pasti, dana asing yang parkir di surat berharga negara dalam rupiah mulai merembes keluar. Pemicunya: gejolak di pasar obligasi global yang tak juga mereda. Pasar sedang mengantisipasi datangnya inflasi di Amerika Serikat yang dampaknya pasti menjalar ke seluruh dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekonomi Amerika yang baru saja mendapat suntikan stimulus senilai US$ 1,9 triliun bakal tumbuh pesat tahun ini. The Federal Reserve bahkan memproyeksikan pertumbuhan 6,5 persen. Secara teoretis, jika ekonomi tumbuh sedemikian cepat, sudah pasti inflasi ikut datang menyertai. Yang membuat pasar terombang-ambing kebingungan, saat menyampaikan proyeksi pertumbuhan yang amat pesat pada Rabu, 17 Maret lalu, The Fed juga berkeras bahwa inflasi tidak akan melonjak lama. Karena itu, The Fed berjanji tetap mempertahankan suku bunga mendekati nol setidaknya hingga akhir 2023 dan tidak akan mengurangi suntikan likuiditas ke pasar yang kini mencapai US$ 120 miliar per bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasar ragu akan proyeksi inflasi ini. Logikanya, mustahil inflasi tetap rendah jika pemulihan ekonomi berhasil dan suntikan dolar dari stimulus begitu melimpah. Walhasil, pasar obligasi di Amerika terus bergejolak. Imbal hasil obligasi pemerintah Amerika berjangka 10 tahun, yang merupakan patokan utama pasar, terus menanjak menjadi 1,75 persen—tertinggi dalam 14 bulan terakhir. Jika imbal hasil obligasi naik, berarti harganya jatuh. Kondisi ini juga menandakan meningkatnya risiko berinvestasi pada obligasi.
Gejolak ini menjalar ke pasar negara-negara berkembang. Inflasi di Amerika yang bisa memicu naiknya bunga The Fed dan kendurnya suntikan likuiditas merupakan hal paling menakutkan bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. Dana investasi yang mengeram di sini bisa kembali pulang dengan cepat dalam jumlah besar.
Tiga negara berkembang langsung bereaksi menghadapi kemungkinan buruk ini. Bank sentral Brasil, Turki, dan Rusia langsung menaikkan bunga sebagai langkah antisipasi. Ketiga negara tersebut menawarkan iming-iming bagi investor asing agar tidak hengkang.
Sebaliknya, Bank Indonesia harus mengambil arah sebaliknya. Gara-gara wabah, Bank Indonesia kini memikul kewajiban membantu pemerintah memulihkan ekonomi. Itu sebabnya BI malah menurunkan bunga bulan lalu meski pasar sudah mulai menggelegak. Bunga rendah memang resep klasik untuk mendorong aktivitas ekonomi. Dan ketika bank-bank sentral negara berkembang lain hampir serentak menaikkan bunga, Dewan Gubernur BI dalam sidang, Kamis, 18 Maret lalu, tetap mempertahankan suku bunga rujukannya.
Selain tak lagi leluasa memainkan instrumen bunga, BI harus ikut mengatasi defisit anggaran negara dengan membeli obligasi pemerintah di pasar perdana. Kebijakan ini sama saja dengan BI mencetak uang untuk mengongkosi belanja pemerintah. Bagi investor asing yang berinvestasi dalam rupiah, kebijakan ini tidak populer. Jika BI terus mencetak rupiah, nilainya akan merosot tergerus inflasi. Konsekuensi berikutnya: nilai tukar rupiah terhadap mata uang utama dunia akan melorot.
BI pernah menyatakan pembelian obligasi pemerintah di pasar perdana hanya berlangsung selama 2020. Nyatanya, kebijakan ini berlanjut lantaran pemerintah tak mampu mengerem lonjakan defisit anggaran. Sejak awal tahun hingga 16 Maret lalu, ada tambahan likuiditas Rp 65 triliun dari aksi pembelian obligasi oleh BI ini.
Jika khawatir kebijakan pemerintah dan BI dapat meningkatkan risiko berinvestasi, investor akan cepat bereaksi. Inilah yang terjadi sejak awal Februari lalu. Investor asing mulai menjual surat berharga negara yang mereka miliki. Sementara pada 5 Februari dana asing yang tertanam di surat berharga negara masih senilai Rp 997 triliun, per 16 Maret lalu nilainya sudah merosot menjadi Rp 951 triliun.
Hengkangnya dana asing lebih dari US$ 3 miliar dalam tempo sesingkat itu seharusnya menjadi sinyal bahaya bagi BI ataupun pemerintah untuk segera mengevaluasi kembali segala kebijakan pemulihan ekonomi. Jika kondisi ini terus berlanjut, alih-alih pulih, ekonomi kita bisa terpuruk makin jauh.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo