Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Merayap dengan Mercy Tua

Dokumen berkas perkara Soeharto banyak yang cuma fotokopi. Keterangan para jaksa simpang-siur. Pada hari ulang tahunnya yang ke-86, terbukti Soeharto tak mudah dipatahkan.

11 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head1016.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA hari ulang tahunnya yang ke-86, betapa bahagianya Soeharto. Jumat pekan lalu, sekitar 200 tamu hadir di rumah bekas presiden itu di Jalan Cendana, Jakarta. Berebutan mereka mengucapkan selamat-bahkan sampai antre dan saling dorong. Tutut, putri sulung Soeharto, memberikan sambutan. Anak-cucu hadir, tak terkecuali Bambang Trihatmodjo dan istrinya, Halimah-meski keduanya tengah bersiap untuk bercerai. Karangan bunga berdatangan. Para undangan bersuka ria sambil menyantap nasi kebuli, soto, sate, sup kaki kambing, dan santapan lain yang disajikan tuan rumah. Bekas Menteri Agama Quraish Shihab memanjatkan doa.

Tapi tak ada "kado" yang lebih besar yang diterima Soeharto daripada kabar ini: dokumen asli perkara tujuh yayasan, yang bakal digunakan Kejaksaan Agung untuk menggugat Soeharto secara perdata, "terselip" entah ke mana. Tujuh yayasan itu adalah Dakab, Dharmais, Dana Sejahtera Mandiri, Trikora, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Supersemar. Tak seperti pada tuntutan pidana yang bisa mengandalkan dokumen fotokopi, pada tuntutan perdata keberadaan dokumen asli sangat vital. Dokumen fotokopi memang masih bisa digunakan dengan legalisasi. Tapi, seperti kata seorang bekas petinggi kejaksaan, dengan berkas asli, kejaksaan ibarat ngebut dengan mobil Mercy baru. Dengan dokumen fotokopi, mereka cuma merayap dengan Mercy tua.

Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Alex Sato Bya-lah yang mula-mula mengabarkan kisah duka ini. Senin dua pekan lalu, dalam jumpa pers untuk menjelaskan persiapan kejaksaan menggugat Soeharto secara perdata, ia mengeluh. "Saya hanya menerima sembilan boks dokumen fotokopi dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta," katanya. Padahal rencananya gugatan itu akan didaftarkan bulan depan.

Lebih dari sekadar mengembalikan duit negara yang dipakai tujuh yayasan itu, keputusan bersalah yang diketuk hakim perdata diyakini bisa mengembalikan Rp 524 miliar uang putra bungsu Soeharto, Hutomo Mandala Putra, di Bank Paribas Cabang Guernsey, Inggris.

Seperti telah banyak diberitakan, penyelidik Inggris menyebut uang itu terkait dengan Soeharto. Pemerintah mengklaim dana itu dikumpulkan dari bisnis penuh kolusi dan korupsi yang di antaranya melalui yayasan Soeharto. Repotnya, belum ada satu pun putusan pengadilan yang memperkuat klaim itu. Pertengahan Mei lalu, pengadilan Guernsey membekukan uang itu selama enam bulan. Dalam kurun waktu itu, harus ada putusan pengadilan yang membuktikan bahwa Soeharto dan anak-anaknya memang bergelimang harta tak halal.

Salah satu yayasan yang diduga mengalirkan uang ke perusahaan Tommy Soeharto adalah Supersemar. Yayasan yang tersohor karena rajin memberi beasiswa itu berdiri pada 1974. Uang yayasan ini dikeduk dari bank pemerintah. Saban tahun bank-bank itu harus menyetor 2,5 persen dari total pendapatan. Walhasil, pundi yayasan ini gampang menjulang.

Pada massa pemerintah B.J. Habibie, kejaksaan menemukan sekitar 84 persen penyimpangan dalam penggunaan dana yayasan ini. Ditemukan pula bukti cek senilai Rp 450 juta yang ditandatangani Soeharto. Perusahaan yang kebagian rezeki Supersemar adalah PT Sempati Air, yang didirikan Tommy dan sahabat Soeharto, Bob Hasan. Perusahaan penerbangan ini meraup sekitar Rp 40 miliar. Sejumlah perusahaan anak Cendana lainnya juga menerima duit haram itu.

l l l

CERITA tentang "dokumen hilang" ini bisa dirunut dari awal. Setelah jatuhnya Soeharto pada 1998, berbekal desakan publik, Kejaksaan Agung berniat menggugat Soeharto secara pidana. Apalagi ketika itu MPR telah mengeluarkan ketetapan yang meminta perkara beraroma korupsi, kolusi, dan nepotisme, termasuk kasus Soeharto, diusut tuntas (lihat "Bersusah Dahulu, Berpayah Kemudian"). Yang dianggap paling mudah dibidik adalah penyelewengan tujuh yayasan. Kejaksaan menduga, oleh yayasan Soeharto, negara dirugikan hingga Rp 5 triliun.

Tapi, Oktober 1999, kejaksaan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dengan alasan korupsi Soeharto tak bisa dibuktikan. Abdurrahman Wahid, yang menggantikan Baharuddin Jusuf Habibie sebagai presiden, lalu menghidupkan lagi perkara ini. Marzuki Darusman, Jaksa Agung ketika itu, mencabut SP3 tadi. Tapi pengusutan perkara ini berjalan di tempat. Saat Presiden Megawati Soekarnoputri berkuasa, kasus ini tetap sunyi senyap.

Belakangan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono malah menguncinya. Mei 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKP3). Setelah dihujat kiri-kanan, Presiden Yudhoyono akhirnya melansir bahwa kasus ini cuma diendapkan. Yudhoyono menebar janji lain: menuntut Soeharto secara perdata.

Tapi surat kuasa dari Presiden kepada Kejaksaan Agung, sebagaimana diwajibkan undang-undang, tidak kunjung diterbitkan. Padahal surat kuasa itu diperlukan Kejaksaan Agung guna mengajukan gugatan. Walhasil, sejak Mei 2006, rencana gugatan itu cuma meriah di koran-koran. Surat kuasa itu baru terbit delapan bulan kemudian, Januari 2007.

l l l

DALAM proses menuntut Soeharto secara pidana inilah berkas-berkas itu dikumpulkan. Pada tahun 2000, tim kejaksaan yang diketuai Direktur Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung Chairul Imam memerintahkan penyitaan setumpuk dokumen di Gedung Granadi di Kuningan, Jakarta Selatan. Di gedung itulah semua yayasan Soeharto berkantor.

Dokumen yang direbut mahapenting: dari akta pendirian perusahaan, surat perintah pembayaran, hingga bukti transfer. Bustanil Arifin, bendahara Amal Bhakti Pancasila, dan petinggi yayasan lainnya dipanggil. Mereka ditanyai perihal keabsahan dokumen itu. Penyidikan berbulan-bulan menghasilkan berkas dakwaan lebih dari 2.000 halaman. Di dalamnya ada hasil pemeriksaan 134 saksi fakta, sembilan saksi ahli, dan ratusan dokumen.

Chairul cuma sebulan memimpin penyelidikan ini. Dia dicopot dari jabatan direktur tindak pidana korupsi. Penggantian itu diprotes sejumlah kalangan karena Chairul dianggap giat mengusut kasus ini. Ris Pandapotan Sihombing, yang menggantikan Chairul, meneruskan penyelidikan. Semua dokumen dan berkas perkara diserahkan kepada jaksa penuntut umum Mukhtar Arifin, yang kini menjadi Wakil Jaksa Agung. Dari situlah dakwaan disusun.

Tapi berkas dakwaan itu tidak pernah dibacakan di pengadilan karena pada September 2000 kasus ini dipetieskan. Lalu Mariyun, hakim ketua kasus ini, menolak mengadili Soeharto karena dia sakit permanen. Jaksa penuntut umum lalu mengembalikan semua dokumen perkara itu ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Di sana semua dokumen disimpan di ruang arsip.

Ruang itu terletak di pojok lantai dasar gedung, tepat di bawah tangga menuju lantai dua. Bila ingin masuk ke sana, kita cukup masuk dari pintu utama, lalu belok kanan hingga mentok di ujung lorong. Tidak ada penjaga keamanan yang bersiaga. Pintu ruang ini cuma menggunakan kunci biasa, tidak ada gembok.

Tumpukan dokumen itu kabarnya ngendon di sana hingga akhirnya Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menerbitkan SKP3, Mei 2006. Sesudah keputusan ini terbit, semua berkas itu dikirim ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Dari Kejaksaan Tinggi DKI, tumpukan dokumen itu diteruskan ke Kejaksaan Agung.

l l l

TAPI, dan inilah soalnya, dokumen yang ngendon itu tak semuanya risalah asli. Perihal asli atau fotokopi saja, aparat kejaksaan berbeda pendapat. Yoseph Suardi Sabda, Direktur Perdata Kejaksaan Agung, mengatakan, untuk kasus Yayasan Supersemar, semua dokumen yang mereka miliki berbentuk fotokopi. Tapi Dachmer Munthe, Direktur Pemulihan dan Perlindungan Hak Kejaksaan Agung, mengatakan hanya sebagian kecil dokumen yang mereka miliki adalah berkas asli. Seorang pejabat Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menyebutkan dokumen itu ada yang asli dan ada yang fotokopi-baik yang sudah dilegalisasi maupun yang belum. Tumpukan rupa-rupa dokumen-asli dan fotokopi-itu kini disimpan di salah satu ruang anak buah Dachmer (lihat "Gado-gado Berkas Sitaan").

Sebagian dokumen berupa fotokopian karena dokumen asli tidak ditemukan. Saham asli PT Indocopper Investama Corporation Tbk., anak perusahaan Nusamba Group, penerima dana yayasan, misalnya, dipegang Chase Manhattan Bank di New York sebagai agen bank pemberi kredit sindikasi. Sebagian risalah asli lainnya raib karena belasan perusahaan penerima dana yayasan pailit dan perlu dijual buat membayar utang.

Tapi itu sebagian saja. Mantan jaksa penuntut umum kasus Soeharto, Mukhtar Arifin, mengatakan, dari awal, dokumen yang mereka miliki sebagian besar berbentuk fotokopi. Mukhtar memastikan dokumen-dokumen asli itu tidak hilang. Katanya, dokumen asli kasus Soeharto "dititipkan di manajemen yayasan tempat dokumen itu disita". Besar kemungkinan dokumen penting itu disimpan di Gedung Granadi. Mukhtar menggarisbawahi, dulu dokumen-dokumen itu tidak disita karena, dalam perkara pidana, kejaksaan biasanya tidak menyimpan yang asli. Yang dipegang penuntut cuma dokumen fotokopi yang sudah dilegalisasi.

Betulkah? Yoseph Suardi Sabda menyangkalnya. Menurut Yoseph, sejumlah dokumen tentang Yayasan Supersemar yang diterima timnya bukan salinan yang sudah dilegalisasi. Tim Yoseph sendirilah yang melegalisasi dokumen-dokumen itu. Dengan kata lain, tanpa dokumen asli, kejaksaan jadi bekerja dua kali.

Logikanya, daripada berpayah-payah melegalisasi dokumen fotokopi, bukankah lebih baik mengambil dokumen asli yang dititipkan di Gedung Granadi? Mestinya begitu. Tapi anehnya, dalam hal mengambil dokumen titipan itu, kejaksaan terkesan ogah-ogahan. "Tenang sajalah. Kami sedang memantapkan alat-alat bukti. Kalau ada di Granadi, pasti bisa dicari. Lagi pula, kalau ada 100 dokumen, kan enggak perlu semuanya dibutuhkan. Kalau 10 sudah relevan, ya, tidak perlu 100," kata Dachmer Munthe mantap. Suara yang lebih pesimistis datang dari Yoseph Suardi. Katanya, "Jangan harap dapat lagi aslinya. Ini saja digunakan. Dapat saja sudah syukur."

Kejaksaan tampaknya lebih suka mengambil "jalan memutar". Tim Dachmer Munthe, misalnya, kini sibuk memanggil sejumlah saksi untuk memverifikasi dokumen fotokopian itu. Yang sudah dipanggil enam orang. Dachmer memastikan sejumlah anak dan kerabat Soeharto juga bakal dipanggil.

l l l

Keluarga Soeharto tampaknya sudah siaga menghadapi gugatan perdata ini. Dua bulan lalu, mereka sudah memberikan surat kuasa kepada Otto Cornelis Kaligis untuk mengurus perkara ini. Kaligis ikut ke Cendana, Jumat pekan lalu. Selain menghadiri acara ulang tahun Soeharto, di sana ia mendiskusikan kasus ini.

Menurut Kaligis, akhir Mei lalu Bob Hasan dipanggil kejaksaan menjadi saksi. Tapi, "Bob Hasan tidak datang karena dia merasa tidak relevan dengan perkara yayasan itu," kata Kaligis. Pemanggilan para saksi, kata Kaligis, terkesan asal-asalan. Pertengahan Mei lalu, dua pengurus yayasan dipanggil kejaksaan. Suratnya dikirim lewat kantor Kaligis. "Tapi dua orang yang dipanggil itu sudah meninggal dunia," kata Kaligis.

Itulah sebabnya Kaligis optimistis Cendana bakal menang dalam gugatan perdata ini. Dokumen yang cuma fotokopian, kata Kaligis, tidak bakal laku di pengadilan. Katanya, "Ini perkara yang lucu. Mereka menyita dokumen, lalu membuat salinannya. Setelah itu, bingung sendiri."

AZ/Wenseslaus Manggut, Wahyu Dhyatmika, Arif A. Kuswardono, Sukma N. Loppies

Bersusah Dahulu, Berpayah Kemudian

1998

13 November Ketetapan No. XI/MPR/1998 tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, termasuk yang dilakukan bekas presiden Soeharto, dikeluarkan MPR.

2 Desember Presiden mengeluarkan Instruksi No. 30 Tahun 1998 kepada Jaksa Agung agar segera mengambil tindakan hukum terhadap kasus korupsi Soeharto.

4 Desember Direktur Tindak Pidana Korupsi Jaksa Agung mengundang Soeharto untuk didengar keterangannya pada 9 Desember 1998.

9 Desember Soeharto menghadiri undangan pemeriksaan Kejaksaan Agung. Tempat pemeriksaan yang semula di gedung Kejaksaan Agung dialihkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

199911 Oktober Penjabat Jaksa Agung Ismudjoko mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Salah satu pertimbangannya, korupsi yang disangkakan kepada Soeharto tidak dapat dibuktikan.

6 Desember Jaksa Agung Marzuki Darusman mencabut SP3 itu. Alasannya, cukup dasar untuk melanjutkan penyidikan terhadap Soeharto.

2000

31 MeiSoeharto mengajukan praperadilan yang mempertanyakan pencabutan SP3. Permohonan ditolak hakim.

21 Agustus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memindahkan lokasi persidangan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke Departemen Kesehatan.

31 Agustus Sidang pertama kasus Soeharto, tapi bekas presiden itu tidak datang dengan alasan sakit.

14 September Hakim memberikan kesempatan kepada tim dokter Soeharto dan tim dokter Kejaksaan Agung untuk memberikan penjelasan terperinci tentang kondisi Soeharto. Hakim menetapkan pembentukan tim dokter untuk memeriksa kesehatan Soeharto.

28 September Tim dokter menyatakan Soeharto dalam keadaan tidak fit untuk diadili. Hakim menyatakan tuntutan pidana terhadap Soeharto tidak dapat diterima. Soeharto juga dibebaskan dari tahanan kota. Jaksa banding.

8 November Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menerima banding jaksa dan membatalkan keputusan pengadilan negeri.

17 November Pengacara Soeharto mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

2001

2 Februari Mahkamah Agung memutuskan menerima kasasi pengacara Soeharto dan membatalkan keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

2006

12 Mei Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKP3) Soeharto.

22 Mei Tujuh lembaga swadaya masyarakat mengajukan gugatan praperadilan terhadap Jaksa Agung karena mengeluarkan SKP3 Soeharto.

1 Agustus Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membatalkan putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tentang SKP3 Soeharto.

28 September Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan kasasi terhadap putusan banding penerbitan SKP3 Soeharto.

2007

Mei Kejaksaan Agung menyampaikan rencana menggugat Soeharto secara perdata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus