Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam: Bunga Rampai Surat-Surat Tersiar Penulis: Ulil Abshar-Abdalla Penyunting: Salomo Simanungkalit Penerbit: Nalar, Februari 2007 Tebal: x+234 halaman.
Ulil Abshar-Abdalla sebaiknya dibaca sembari ”melupakan” Jaringan Islam Liberal (JIL). Atau, setidaknya, menaruh JIL dalam tanda kurung (epochÁ) sementara, seperti dalam operasi fenomenologis. Sebab, lebih sering JIL membuat Ulil disalahpahami.
Padahal ”kesalahan” Ulil hanya dua. Pertama, seperti ditunjukkan dengan bagus oleh Gus Dur (www.gusdur.net), Ulil harus hidup dan berhadapan dengan kejumudan berpikir yang telah membekukan pemikiran keagamaan. Dan kedua, juga dari Gus Dur ketika menasihati Ulil sebelum berangkat belajar ke Amerika, Ulil memasang ”bendera” yang memberikan sosok jelas pada ijtihadnya dan, karena itu, mudah jadi ”sasaran tembak” lawan-lawannya. Padahal, jika ditilik dari pengalaman NU, apalagi dari pengalaman peradaban Islam yang sangat panjang dan kaya, ijtihad yang dilakukan Ulil sudah kerap dilakukan. Hanya, kata Gus Dur, ”tanpa bendera”.
Dari dua ”kesalahan” Ulil tadi, ada baiknya kita membaca Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam: Bunga Rampai Surat-Surat Tersiar sembari ”melupakan” JIL. Di tengah kemalasan berpikir yang sangat parah dan kesemena-menaan yang menyamakan begitu saja kata ”liberal” dengan ”libertarian”, siapa pun yang dikenakan (atau mengenakan) cap ”liberal” ibarat orang terkena penyakit kusta: ditolak, disingkirkan, atau bahkan (bisa) dibunuh. Persis itulah yang terjadi pada Ulil. Padahal yang mau dilakukan olehnya adalah memberikan pertanggungjawaban terhadap pilihan eksistensialnya sebagai seorang muslim yang ”kebetulan” lahir dan hidup di dunia modern. Di situ suratan (takdir) dan pilihan (bebas) bersitegang.
Ulil melukiskan soal itu dengan sangat bagus. ”Saya yakin Islam ada-lah agama yang benar,” tulisnya. Mula-mula keyakinan itu diterimanya sebagai warisan, suatu suratan yang diterima begitu saja. Tetapi pergulatan dengan warisan itu membuat ia seperti ”masuk Islam kembali” berkali-kali. Akhirnya, ”Agama ini kemudian saya percayai bukan secara terpaksa, dharuri, tetapi secara iktisabi, artinya melalui usaha keras sehingga akhirnya saya rela menerimanya sebagai agama yang menjadi landasan hidup saya, menjadi ’jendela’ dari mana saya melihat dunia sekitar” (h. 163). Karena itulah, ia berani menandaskan, ”Saya memilih menjadi muslim” (h. 165, tekanan ditambahkan), sekaligus berikrar, ”Kebebasan adalah dasar dan titik tolak agama” (h. 167).
Itulah pilihan eksistensial Ulil, suatu pilihan yang jarang diambil oleh kebanyakan orang beragama di negeri ini, yang menerima dan memperlakukan keberagamaan mereka sebagai suratan atau warisan belaka. Tetapi ia melangkah lebih jauh. Suatu pilihan eksistensial—yang selalu mensyaratkan kebebasan—tidak berarti banyak tanpa memperhadapkannya dengan suratan (takdir) yang tidak bisa dielakkan. Ulil tidak sekadar ”memilih menjadi muslim” tetapi sekaligus menjadi muslim ”dalam dunia modern”, yakni suatu dunia yang menghadirkan tantangan mendasar pada pilihan eksistensialnya.
Dibubarkannya Kekhalifahan Usmaniah oleh Kemal Attaturk pada 1924 dan pengalaman pahit kolonialisme Barat, seperti ditengarai Ulil dan banyak pengamat lainnya, membuat dunia Islam berada dalam situasi krisis yang terus berlanjut hingga sekarang. Di satu pihak, runtuhnya sistem khalifah membuat umat Islam kehilangan ”kerangka politik” (polity) yang memadai, sementara di pihak lain model ”negara-bangsa” (nation-state) yang jadi pilar dunia modern—bahkan kemodernan itu sendiri!—justru dialami umat Islam sebagai hasil kolonialisme Barat yang meminggirkan mereka.
Ada dua alternatif. Pertama, mengambil gagasan kemodernan sepenuhnya, kalau perlu dengan meninggalkan tradisi Islam sama sekali; atau, kedua, seperti yang dilakukan cendekiawan Mesir, Dr. Yusuf Qardhawi, menemukan al-hall al-Islami, ”solusi Islam” (h. 176 - 177). Kedua opsi itu sesungguhnya punya akar yang sama, yakni melihat tradisi sebagai sesuatu yang sudah beku, tidak (bisa) berubah pada opsi pertama; atau sebagai formula, sistem yang sudah jadi dan tinggal siap pakai, pada opsi kedua.
Banyak orang salah memahami bahwa Ulil, karena cap ”liberal”, memilih opsi pertama. Padahal, menurut saya, ijtihad Ulil justru mau meretas opsi ketiga: memperhadapkan dalam ketegangan terus-menerus antara warisan tradisi dan tuntutan dunia modern yang tak terelakkan. Ini berangkat dari pemahaman dan keyakinannya—bermula dari konsep wahyu sebagai ”respons” yang bersifat gradual (tadarruj), dan karenanya merupakan negosiasi terus-menerus antara cita-cita moral (maqashid al-syari’ah) yang meta-historis dan keterbatasan historis—bahwa Islam merupakan ”agama yang dinamis” (h. 180). Atau, memakai istilah Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir Mesir yang sangat disukainya, di situ selalu ada jadaliyyat al-’ala.
Trisno S. Sutanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo