Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hutan tipis yang cuma sisa, burung penghabisan yang bersarang di tebing kering, dan manusia terakhir yang terdesak di sebuah bumi yang kian panasimajinasi ini memang muram, menakutkan. Tapi imajinasi ini juga bisa memudarkan ilusi: hidup ternyata bukan seperti yang dibayangkan George W. Bush. Dengan mesin perang yang besar dan tiap kali menghancurkan, dengan emisi karbon dioksida yang menghambur dari jutaan knalpot tak henti-hentinya, dunia tak selamanya secerah, seramah, dan setenang gambar-gambar Norman Rockwell atau iklan rokok Marlboro.
Tapi sebenarnya bukan hanya hari ini dipersoalkan apa yang terjadi.
Semenjak para ksatria dalam cerita wayang mbabat alas wanamertamembuka hutan dan memperluas wilayah kekuasaan merekadan dengan ekspansi itu mempersempit daerah yang dihuni para pertapa untuk bersemadi, telah muncul sebuah tema perseteruan dua sisi, atau dua impuls, dalam sejarah.
Di satu sisi dorongan untuk merapatkan diri dengan gunung dan rimba, seperti ketika Arjuna bertapa dalam lakon Begawan Mintaraga. Di sisi lain dorongan menang dan menaklukkan, seperti ketika Arjuna mencari senjata terdahsyat untuk perang memperebutkan kerajaan. Di satu sisi muncul kemampuan berempati kepada makhluk yang lain di tengah alam, seperti ketika Rama bersahabat dengan Kera Sugriwa. Di sisi lain menonjol keampuhan destruktif tanpa perasaan benci, seperti ketika Rama membunuh Kera Subali yang tak bersalah apa pun kepadanya.
Di khazanah lain, dalam perumpamaan yang datang dari sejarah pemikiran Yunani, kedua dorongan itu jadi keyakinan sejak orang membaca kalimat Heraklaitos di abad ke-5 sebelum Masehi: phusis kruptesthai philei.
Dalam The Veil of Isis versi Inggris dari buku Pierre Hadot yang memaparkan sejarah perkembangan pengertian ”alam” dalam sejarah pemikiran Barat, diuraikan bahwa kalimat termasyhur itu sebenarnya punya beberapa arti. Heraklaitos konon bermaksud berkata, ”Alam suka menyembunyikan diri.” Tapi ia juga bisa bermaksud mengatakan, ”Apa yang dilahirkan, ia akan menghilang.” Dalam tafsir Hadot, ketidakpastian makna itu khas pemikiran Heraklaitos, yang keseluruhannya menunjukkan ”ketakjuban di depan misteriusnya metamorfosis” dalam alam, juga ketakjuban dalam menemukan hidup dan kematian. Alam yang tak sepenuhnya dapat ditebak dan dipahami menyebabkan kita terkesima dan merunduk takzim. Alam yang bisa berubah-ubah, bahkan punah, dan menunjukkan betapa fananya dia, menyebabkan kita merasa bisa menguasainya atau, kalau tidak, merasa perlu membekukannya agar abadi.
Ada dalam diri manusia sesuatu yang bisa dilambangkan dalam sosok akan Prometheus. Tokoh mitologi setengah dewa ini sering dikisahkan sebagai makhluk yang mencuri api yang disembunyikan Mahadewa Zeus agar tak terjangkau oleh pengetahuan insani. Prometheus membangkang dan memberikan rahasia itu kepada manusia. Dalam interpretasi Hadot, tokoh inilah model semangat untuk meraih dan mengetahui apa yang paling dalam dan jauh, sekaligus lambang kekuatan yang menyelidiki, menginterogasi, dan bahkan menyiksa. Di sini kita temukan kutipan dari sepucuk surat Francis Bacon: ”Saya sebenar-benarnya mendatangkan Alam dan anak-anaknya kepadamu, agar ia diikat untuk melayanimu dan membuatnya jadi budakmu.”
Dari kebrutalan itulah ilmu dan teknologi lahir dan tumbuh. Air gerimis dihentikan alirnya dan diurai jadi H2SO4. Sugriwa abad ke-20 dimasukkan ke dalam kandang laboratorium untuk jadi bahan eksperimen kimia, dengan nasib yang tak berbeda dari Subali yang dibantai di hutan-hutan.
Namun ada juga sifat manusia yang seperti Orfeus, yang dengan nyanyi dan puisi merayakan pohon hijau, bulan yang jernih, dan sungai deras di kaki bukit. Di sinilah kaum Romantik dan para penyair seperti Goethe berdiri. Hadot pun mengutip sastrawan Jerman itu: ”Misterius bahkan di terang siang, Alam tak membiarkan cadarnya ditanggalkan, dan apa yang tak diinginkannya untuk terbentang di pikiranmu, tak dapat kau paksa….”
Di kalangan para penyair ini alam dilambangkan sebagai Isis, dewi yang bertetek banyak, yang bercadar. Sungguh menarik untuk mengetahui, dari penuturan The Veil of Isis, bahwa Goethemeskipun ia menggemari eksperimen ilmumembenci Newton yang menyiksa cahaya dengan membelah-belahnya jadi satuan-satuan warna. Cadar Isis telah dicoba direnggutkan, sang Dewi hendak ditelanjangi.
Tentu saja tema pertentangan antara tauladan Prometheus dan Orfeus ini bukan sesuatu yang baru dan dalam hal ini The Veil of Isis tak menyajikan wawasan yang segar. Bahkan agak terbatas. Risalah sejarah pemikiran ini kurang mengemukakan pilihan-pilihan sulit yang dihadapi manusia di benua di mana kelangkaansesuatu yang lebih mendasar ketimbang kemiskinanbukan saja membentuk ekonomi, tapi juga perilaku dan kebudayaan.
Kelangkaan pangan dan tempat hidup mendorong manusia membuat sawah dan rumah. Tapi seakan-akan hendak menebus apa yang direnggutkan oleh cangkul, bajak, gergaji, dan parang, manusia mencoba mengembalikan bayang-bayang keindahan pada teras sawah Bali, jejak keabadian pada padi yang disebut sebagai Dewi Sri, gema suara alam pada bunyi merdu yang ditiup dari bangsi. Rumah pun dibangun, tapi akhirnya tak hanya atap, dinding, dan pintu. Ada arsitektur, cat merah daun jendela, dan kembang leli di dalam bokor. Yang terluka hendak dipupus.
Tapi memang ada suatu dinamika lain yang datang, yang membuat kelangkaan seakan-akan sisi yang tragis dari keserakahan. Itu agaknya yang menyebabkan Indonesiasebuah republik yang bukan bagian dunia yang kayajadi negeri No. 3 di dunia dalam menyumbang besarnya emisi kotor yang mengganggu udara. Mereka yang pernah punya pengalaman traumatik dalam kelangkaan, telah dengan cemas meraih, meraih, meraih…. Dan hutan-hutan terbakar, dan kota-kota cemar.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo