Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELAS tahun Rosmini tak pernah pulang ke kampung halaman. Selama ini, perempuan 40 tahun asal Malang, Jawa Timur, itu me-milih menetap di Malaysia. Di negeri jiran ia sehari-hari bekerja sebagai buruh pabrik di kawasan industri Sungai Buloh, Selangor. ”Awalnya, tahun 1993 saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan masa kontrak dua tahun,” ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Di sela-sela kontrak kerja itu, Rosmini sempat kembali ke Indonesia. Bukannya senang bertemu keluarga, ia malah bersedih. ”Suami saya kawin lagi,” kata-nya. Rosmini langsung minta cerai dan hijrah lagi ke Malaysia. Dia pun meninggalkan tiga orang anaknya di kampung. Sejak saat itulah dia tak pernah pulang, sampai akhirnya bekerja di pabrik besi hingga sekarang.
Setiap hari Rosmini mendapat ba-yar-an RM 25 atau sekitar Rp 50 ribu rupiah. Dalam enam hari bekerja, dia mampu mengumpulkan duit minimal Rp 1,2 juta per bulan. Penghasilan itu cukup untuk makan dan sewa rumah sederhana berukuran 4x5 meter persegi. Walau rumahnya mungil dan terbuat dari tripleks, perabot yang dimilikinya lumayan lengkap. Ada kulkas, televisi, pemutar VCD, kipas angin, dan kompor gas.
Di Malaysia, Rosmini seperti layaknya TKI ilegal. Meski mengantongi izin kerja, tidak ada satu pun perusahaan jasa tenaga kerja yang mendaftarkan nama-nya. Dia pun tidak pernah melaporkan diri ke kantor perwakilan RI di Kuala Lumpur tentang keberadaan diri-nya di Malaysia. ”Berbelit-belit dan ka-mi se-ring menjadi korban pemerasan, ma-ka-nya saya enggan mengurus dokumen,” katanya.
Tak mengherankan bila selama ini Ros-mini tidak memiliki kartu tanda penduduk Indonesia. Dulu, ketika da-tang ke Malaysia ia masih punya, tapi kini sudah hilang. Dia pun tidak pernah lagi meng-urusnya. Satu-satunya dokumen yang me-nandakan dia sebagai warga ne-gara Indonesia (WNI) adalah surat nikah de-ngan suami keduanya, Wat, 42 tahun, te-naga kerja Indonesia asal Sumbawa.
Bagi Rosmini, hidup di negeri orang le-bih banyak dukanya dibandingkan sukanya. ”Jauh dari keluarga,” ujarnya. ”Tapi mau bagaimana lagi, di kampung susah cari nafkah, gaji tidak seimbang dengan peluh yang keluar.”
Walau sudah merasa betah, Rosmini- mengaku selalu rindu dan tetap cinta- Indonesia. ”Meskipun ada undang-undang kewarganegaraan baru yang mengancam- status kami, hati saya tetap Merah-Putih,” katanya.
Ati juga punya kisah yang mirip de-ngan Rosmini. Perempuan 35 tahun asal Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, ini sudah 11 tahun tinggal di Malaysia.- Selama itu pula, ia tak pernah lagi meng-injakkan kaki di tanah kelahirannya. Mu-la-mula merantau ke Malaysia, Ati be-kerja sebagai pembantu rumah tangga secara sah. Namun, gara-gara majikannya tidak pernah membayar upah-nya, dia memilih angkat kaki.
Untuk menyambung hidup di negeri orang, Ati kemudian bekerja di sebuah pabrik kecil di daerah Sungai Buloh, Selangor. Tak lama kemudian, Ati menikah dengan Amiruddin, lelaki 50 tahun asal Sumbawa. Untungnya, Amiruddin berstatus warga tetap (permanent resident) di Malaysia, masalah dokumentasi baginya pun tidak lagi rumit.
Kehidupan keluarga Ati sama seperti- keluarga Rosmini, mereka menetap di ru-mah papan yang sederhana, terbuat dari bahan kayu dan tripleks. Di rumah itulah Ati menghabiskan waktu dengan suami dan dua orang putri yang berusia sembilan dan enam tahun.
Kini, Ati tak lagi bekerja di pabrik. Dia memilih mengambil upah dengan me-ng-asuh anak-anak kenalannya. Tiap anak yang dititipkan kepadanya dikenakan bayaran RM 100 atau sekitar Rp 250 ribu per bulan.
Meski sudah merasa nyaman tinggal di Malaysia, suatu hari nanti Ati ingin pu-lang ke Indonesia. ”Orang tua saya ma-sih ada di Lombok,” katanya. ”Tapi un-tuk menetap rasanya tidak, saya dan sua-mi tidak tahu harus kerja apa di kampung.”
Dengan diberlakukannya UU Kewar-ganegaraan yang baru, Rosmini dan Ati jelas telah kehilangan status kewar-ganegaraan Indonesia. Menurut Pasal- 23 butir i, WNI akan kehilangan kewar-ganegaraan jika bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia s-elama lima tahun berturut-turut bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah, dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi WNI.
Berbeda dengan undang-undang yang lama, Rosmini dan Ati tetap bisa mem-per-oleh kembali status kewarganega-ra-annya. Seperti bunyi Pasal 18, WNI akan mendapatkan kewarganegaraannya bila sudah bertempat tinggal selama satu tahun dan dinyatakan oleh peng-adilan negeri setempat.
”Maka, jelas, Undang-Undang Kewar-ganegaraan yang baru ini tidak memi-hak para TKW yang bekerja di luar ne-geri,” ujar Ketua Badan Eksekutif Nasional So-lidaritas Perempuan, Salma Safitri. Undang-undang ini, kata Salma lagi, ”Ha-nya memihak kaum perempuan kelas atas yang kawin dengan orang asing.”
Poernomo Gontha Ridho, T.H. Salengke (Malaysia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo