Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Terusir dari New Hampshire

Seorang ibu kehilangan anaknya setelah bercerai dengan pria Amerika. Undang-Undang Kewarganegaraan teranyar memberikan harapan baru.

17 Juli 2006 | 00.00 WIB

Terusir dari New Hampshire
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kisah yang indah itu berakhir menyedihkan. Dengan harapan bisa hidup bahagia, seorang wanita, sebut saja bernama Rani, kini 39 tahun, bersedia menikah dengan orang asing pada April 1993 di Jakarta. Lelaki pujaan itu bernama David, seorang warga Amerika Serikat. Dia seorang ma-najer papan atas perusahaan swasta asal Amerika. Mereka pun sempat hidup sejahtera di Ibu Kota.

Namun, kebahagiaan hanya hadir selama beberapa bulan. Keluarga ini mulai diterpa masalah setelah David kehilangan pekerjaannya. Dia terpaksa memboyong Rani pulang ke New Hampshire, Amerika. Karena David tetap menganggur, tabungannya pun makin lama makin terkuras. Apalagi, mereka harus membiayai seorang putra yang lahir di sana pada Juli 1994. Setiap hari sang suami hanya mencangkung di depan TV. Istrinya bekerja sebagai guru. ”Dia bisa menghabiskan 24 kaleng bir sehari,” kata Rani saat ditemui Tempo pekan lalu.

Mereka kemudian memutuskan kem-ba-li ke Indonesia dengan alasan biaya hi-dupnya lebih murah. Si kecil juga bisa di-asuh oleh orang tua Rani di Semarang. Buat menghidupi suami dan anaknya, dia harus bekerja rangkap selama di Tanah Air. David sendiri tetap menganggur. Setiap dua bulan ayah dan anak ke Singapura memperpanjang visa turisnya.

Cuma dua tahun David sanggup bertahan. Dia akhirnya pergi ke Konsu-lat Jenderal Amerika di Surabaya. De-ngan jaminan rumah David di Amerika, konsulat memberikan tiket pulang sebagai bagian dari program repatriasi. Celakanya, Rani tak diberi tiket karena ia bukan warga negara Amerika. Pada 27 Juli 1997, suami dan anaknya terbang ke Amerika tanpa dirinya. ”Itu terjadi satu hari setelah ulang tahun ketiga anak saya.” Rani mulai terisak.

Dua tahun lebih Rani bolak-balik ke Amerika menengok anaknya. Sikap David pun mulai berubah. Kehadiran sang istri tak membuatnya nyaman, ter-utama karena kota kecil yang mereka ting-gali didominasi warga kulit putih. ”Saya orang Jawa, kulit saya cokelat. Setiap ke su-per-market ada yang membuntuti,” kata Rani.

Dia sebenarnya ingin mengajak anak dan suaminya tinggal di Indonesia, tapi David tak mau. Sang suami juga t-idak mengizinkan anaknya dibawa oleh istri-nya. Setiap Rani membicarakan hal itu selalu berakhir dengan pertengkaran. Sang istri juga tidak bisa tinggal berlama-lama di Amerika karena izin ting-galnya telah dicabut. Dia hanya memakai visa turis.

Pada September 1999, Rani sekali lagi menjejak Amerika. Angin musim gugur New Hampshire menggigit kulit ketika ia sampai di rumah David, tapi malam itu si suami tidak mengizinkan ia masuk dengan alasan anaknya sudah t-idur. Karena Rani ngotot ingin masuk rumah untuk menengok anaknya, David memanggil polisi. Esoknya, Rani cuma diperkenankan bertemu setengah jam. Ia sempat berteriak tak mau pergi kalau tak bersama anaknya. Polisi lantas menangkap Rani dan memasukkannya ke penjara dengan tuduhan melanggar wilayah privat (trespassing).

Sendirian, Rani tak berdaya di penja-ra. Barulah pada beberapa hari kemudian, ia dihadirkan dalam sidang peng-adilan. Sang hakim akhirnya membebaskannya dengan alasan salah tangkap.

Rani akhirnya pulang ke Tanah Air tanpa pernah bertemu lagi d-engan anak-nya. Pada Juni 2000, ia sempat mengajukan permohonan hak asuh. Tapi karena uangnya mepet, Rani tak bisa menyewa pengacara. Dia juga tak bisa mengikuti semua sidang. Akhirnya sang ibu kalah. Pengadilan memutuskan ia harus membayar tunjangan anak sebesar US$ 520 per bulan dan asuransi anak minimal US$ 100 ribu. Di awal Januari 2001, Rani juga menerima salinan akta cerai yang dikirim melalui faksimile.

Hidup dari mengajar les piano di Ma-lang, Jawa Timur, Rani sekarang tak berani pergi lagi ke Amerika. Ia takut ditangkap sebagai pelaku kriminal karena tak membayar tunjangan anak. ”Itu kejahatan besar di Amerika,” katanya. Kini dia hanya bisa menghubungi put-ranya lewat telepon, dan kini Internet. Ia pernah mengontak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta, yang kemudian meneruskan suratnya ke Menteri Luar Negeri dan Kedutaan Besar Amerika, tapi tak ada tanggapan.

Menurut Prof Dr Zulfa Djoko Basuki, guru besar hukum perdata internasio-nal Universitas Indonesia, Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru cu-kup meng-untungkan bagi Rani. Anaknya bi-sa menjadi warga negara Indonesia, asal ia mau pulang ke sini.

Hal itu merupakan kabar baik bagi sang ibu. ”Sampai kapan pun aku ada-lah ibunya,” kata Rani. Ucapan ini juga akan disampaikan ke putranya pada ulang tahunnya yang ke-12 pada 26 Juli nanti.

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus