Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semuanya bermula di Washing-ton. Marcellina Tanuhan-daru ber-temu seorang lelaki Ohio dalam sebuah konferensi internasio-nal di ibu kota Amerika Serikat itu. Keduanya jatuh cinta, lalu menikah di Ohio, Juni 2001. Keluarga baru ini ber-tabur mesra, dirahmati buah hati: Sonia dan Julian. Tapi bahagia itu ber-umur pendek. Sang suami mulai berlaku kasar, hampir saban hari pula.
Tak kuat menanggung lara, Marcellina memilih kabur. Tengah malam di ujung April 2003, diantar tetangga ia meluncur ke penampungan anak dan perempuan korban kekerasan. Sonia yang berumur satu setengah tahun dan Julian yang baru berumur lima bulan dibawa serta. Dua bulan di situ, ia me-rasa nyaman.
Tapi lama-kelamaan dia bosan juga. Risikonya pun tinggi. Setiap waktu suaminya bisa datang mengambil anak-anaknya. Marcellina lalu mengatur siasat agar bisa kabur jauh ke kampung ha-laman di Jakarta. Tekadnya sudah bulat, Sonia dan Julian akan dibawa pula. Ini bukan pekerjaan mudah. Bila ketahuan, ia bisa dituduh menyelundupkan anak ke luar negeri. Dan kamar penjara sudah menunggu.
Pada Desember 2003, ibu muda ini benar-benar berjudi dengan nasib: kabur ke Indonesia dengan membawa dua anaknya. Ia memilih pesawat Kore-an Airlines, maskapai penerbangan dari Korea Selatan. ”Kalau memakai pesa-wat Eropa saya masih bisa ditangkap.” Mujur. Keluarga ini selamat tiba di J-akarta.
Hanya, kecemasan lain sudah me-nunggu di Tanah Air. Dua anaknya tidak diakui sebagai warga negara Indonesia. Menurut Undang-Undang No.- 52/1958, anak hasil kawin campur mengikuti kewarganegaraan sang ayah. Marcellina tentu saja ciut nyalinya. Bila tak mau diekstradisi, ia harus segera mengurus paspor buat Sonia dan Julian di Kedutaan Amerika Serikat.
Sang ibu tentu saja puyeng. Bila da-tang mengurus paspor ke kedutaan, ma-ka akan ketahuan ia membawa dua bocah warga Amerika secara tak sah. ”Di Amerika itu kriminal,” kata Marcellina. Sejumlah handai taulan memberi usul agar menempuh risiko itu ke-timbang nantinya diekstradisi. Toh me-reka sudah di Indonesia.
Marcelina memilih jalannya sendiri, tak mau mengurus paspor dua anaknya. Agar aman ia menetap di sebuah hu-ni-an yang dijaga sangat ketat di Ci-bubur, Jawa Barat. ”Kalau ada tamu, mereka ha-rus melewati sejumlah pos keamanan dan identitasnya diperiksa,” ujarnya. Toh, Marcelina tetap cemas, jangan-ja-ngan suami-nya membuntuti mereka ke Jakarta.
Senin pekan lalu, barulah ke-cemasan itu berakhir. Hari itu, Dewan Perwa-kilan Rakyat menerbitkan UndangUndang Kewarganegaraan baru, menggantikan Undang-Undang Nomor 62/1958. Aturan baru ini membolehkan anak hasil perkawinan dengan orang asing memegang dua kewarganegaraan sekali-gus. Negara ibu dan negara ayah. Arti-nya Sonia dan Julian diakui se-bagai warga Indonesia. Pada usia 18 tahun me-reka bisa menentukan mau ikut kewarganegaraan ayah atau ibu.
Wanita yang bernasib seperti Marcellina cukup banyak di negeri ini. Mereka mendirikan sebuah organisasi bernama Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KPC-Melati). Setahun terakhir, ibu-ibu ini rajin mendatangi sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan legislatif mendorong terbitnya aturan baru itu.
Undang-undang yang baru itu memang mencatat sejumlah kemajuan ke-timbang UU No. 62/1958. Aturan yang lama dinilai diskriminatif terhadap pe-rempuan. Yang paling sering diributkan, ya, kewarganegaraan anak hasil kawin campur itu. Bila seorang wanita Indonesia menikah dengan pria asing, anaknya mengikuti kewarganegaraan sang ayah.
Kalaupun menetap di Indonesia, si anak tidak akan mendapatkan sejumlah fasilitas pemerintah. Ia sulit masuk se-kolah negeri karena pemerintah menda-hulukan anak Indonesia. Orang tua me-reka terpaksa mengirim sang anak ke se-kolah internasional yang biayanya sela-ngit. Padahal, banyak sekali ibu-ibu yang kesulitan ekonomi setelah ditinggal pulang suaminya.
Enggie Holt, Ketua KPC Melati, me-nutur-kan, banyak anggotanya yang ber-keluh kesah soal biaya pendidikan bagi anak-nya. Dia sendiri mengaku mengu-ras sedikitnya US$ 960 saban empat bulan untuk anaknya yang belajar di Se-kolah Menengah Pertama British Inter-national School. Dengan undang-undang baru itu, anak-anak hasil perka-win-an dengan orang asing bisa belajar di sekolah negeri.
Undang-undang baru itu juga di-sam-but gembira oleh warga keturunan Tiong-hoa. Mereka otomatis menjadi w-arga ne-gara Indonesia tanpa harus menunjukkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). ”SBKRI sudah tidak perlu lagi, dibakar saja,” kata Murdaya Widyawirmata, anggota Dewan dari Fraksi Partai Demokrasi In-donesia Perjuangan, yang ikut meng-godok undang-undang baru ini.
Ketentuan bukti kewarganega-raan sesungguhnya sudah lama dihapus. Pa-da 8 Juli 1996, Presiden Soeharto sudah mencabutnya. Artinya SBKRI tidak diperlukan lagi dalam pengurusan a-dministrasi. Repotnya, pejabat di lapangan kerap kali mempersoalkan surat kewarganegaraan ini.
Lihatlah apa yang terjadi dengan kaum Tionghoa di Jempatan Simpang Lima, Seglasari, Tangerang, yang kerap disebut Cina Benteng. Di daerah itu ba-nyak warga yang belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), sebab untuk mengurusnya warga mengaku diminta menunjukkan SBKRI. Padahal, banyak warga di sana yang buta huruf dan tak paham soal surat itu.
Kesulitan mengurus KTP dituturkan- Shinta yang bersuamikan buruh ba-ngun-an dan tinggal di Seglasari. Hi-dup me-reka susah. Bersama dua anaknya me-reka mengontrak rumah berdinding a-nyaman bambu, beratap genting yang bocor di sana-sini jika hujan. H-ingga kini ke-luarga ini belum mempunyai KTP. -”Sudah bolak-balik ngurus, tapi tetap saja susah,” kata Shinta. Setiap kali meng-urus kartu penduduk, petugas selalu bertanya soal SBKRI. Padahal, me-reka sudah turun-temurun menetap di situ.
Karena tak punya kartu penduduk, Shinta dan puluhan Cina Benteng lainnya tidak berhak menerima bantuan tunai langsung sebesar Rp 300 ribu yang diberikan pemerintah. Jika para tetangga terima bantuan itu, keluarga Shinta cuma bisa menelan ludah.
Kisah seperti Shinta ini banyak juga ditemui di daerah lain. Anyian, seorang warga Glodok, Jakarta Barat, punya kisah lain. Tahun lalu, ketika me-ng-urus paspor anaknya yang bernama Ri-zal, SBKRI itu tetap saja ditanya-kan. Pada akta kelahiran sang anak juga masih terdapat catatan golongan Tionghoa, padahal Rizal lahir saat Anyian sudah memiliki SBKRI. Artinya, ia lahir ketika orang t-ua-nya telah sah sebagai warga n-egara Indonesia.
Begitu juga yang dialami Lew Yang, pemilik kedai makan di Glodok. Ia warga negara Indonesia karena ibunya punya darah penduduk asli. Itu sebabnya keluarga ini sama sekali tidak punya bukti kewarganegaraan selain kartu penduduk.
Tahun lalu, ketika seorang anaknya mengurus paspor, petugas meminta surat bukti kewarganegaraan dan diwa-wan-carai sekitar dua jam. Itu pun pas-por masih sulit didapat. Lew, yang pernah aktif di sebuah partai politik, akhir-nya nekat menemui petinggi kantor imigrasi dan berdebat panjang soal kewargane-garaan. Walhasil, paspor itu akhirnya terbit. Dengan adanya ketegasan dalam UU Kewarganegaraan yang baru, kerepotan semacam itu tak perlu terjadi lagi.
Hanya, undang-undang itu dinilai kurang melindungi pekerja Indonesia yang mencari penghidupan di negara lain. Soal-nya, Pasal 23 undang-undang itu menyebutkan: seseorang bakal kehi-langan kewarganegaraan bila tinggal di luar negeri lima tahun terus-menerus dan tidak mengajukan keinginan untuk te-tap jadi warga Indonesia.
Para buruh migran bakal kerepotan karena kurang liku-liku keimigrasian. Apalagi paspor mereka sering ditahan oleh majikannya. Namun, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin menja-wab kecemasan itu dengan enteng. Bila paspor disandera, katanya, ”Telepon saja kedutaan. Beres.” Semudah itukah?
Wakil rakyat di Senayan berjanji keli-li-ng negeri untuk mensosialisasi undang-undang baru itu. ”Kami akan keliling ber-sama pemerintah,” kata Murdaya Wi-dya-wirmata. Mereka pun akan bertemu banyak kalangan, termasuk warga keturunan Tionghoa di sejumlah kota untuk menjelaskan pula soal SBKRI.
Yang pasti, Marcellina dan sejumlah ka-wan senasib menyambutnya dengan su-ka cita. Mereka menangis histeris di ruang paripurna DPR begitu undang-undang itu disahkan pekan lalu. Mereka terharu. ”Perjuangan panjang kami ter-nyata ada hasilnya,” kata Marcellina sembari menitikkan air mata.
Wenseslaus Manggut, Kurie Suditomo, Danto, Ayu Cipta (Tangerang)
Tonggak-tonggak Kewarganegaraan
Sepanjang sejarah Indonesia, datang silih berganti aturan mengenai kewarganegaraan, mengikuti perubahan konstitusi.
18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar 1945 disahkan. Dinyatakan dalam pasal 26: warga negara Indonesia adalah bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang ditentukan dengan undang-undang.
10 April 1946 Undang-Undang Nomor 3/1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara disahkan. Asas kewarganegaraan yang dianut adalah ius soli (tempat kelahiran) dengan stelsel pasif. Seluruh penduduk yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia.
27 Desember 1949 Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Pemerintah RIS mengeluarkan Keputusan Presiden RIS Nomor 33 Tahun 50 yang mengakui sistem dwikewarganegaraan, yakni kebangsaan Indonesia dan kebangsaan Belanda.
3 Juni 1955 Pemerintah Tiongkok dan Indonesia sepakat untuk menyelesaikan masalah dwikewarganegaraan warga keturunan Cina. Kesepakatan ini diratifikasi lewat UU No. 2 Tahun 1958.
3 Mei 1956 Pemerintah Republik Indonesia membatalkan hasil persetujuan KMB. Aturan kewarganegaraan RIS dinyatakan tidak berlaku.
29 Juli 1958 Pemerintah menerbitkan UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. Undang-undang ini menggunakan asas ius sanguinis dan tidak mengakui bipatride (dwikewarganegaraan) dan apatride (tak berkewarganegaraan).
10 April 1969 Dikeluarkan UU No. 4 Tahun 1969 tentang Pembatalan UU No. 2 Tahun 1958 tentang Perjanjian Dwikewarganegaraan antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa anak yang belum dewasa pada saat UU Nomor 2 Tahun 1958 diundangkan tidak memiliki hak untuk memilih kewarganegaraan Indonesia.
8 Juli 1996 Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996 tentang Penghapusan Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Warga keturunan Tionghoa yang sudah menjadi WNI tidak lagi diharuskan membawa surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) untuk mengurus segala keperluan administrasi.
10 Juli 2006 UU Kewarganegaraan baru disahkan DPR. Undang-undang ini dinilai lebih memberikan perlindungan kepada wanita dan anak-anak Indonesia dari perkawinan campuran.
UU Kewarganegaraan 2006
Inilah aturan-aturan pokok yang disarikan dari Undang-undang Kewarganegaraan Tahun 2006 yang baru disahkan oleh parlemen.
Siapa warga negara Indonesia?
- Anak dan penduduk yang sudah berstatus warga negara Indonesia.
- Anak dari ayah atau ibu warga negara Indonesia dengan atau tanpa perkawinan yang sah.
- Anak yang lahir di Indonesia, meski ayah dan ibunya tidak jelas kewarganegaraannya.
- Anak orang asing yang lahir di Indonesia tetapi ayah dan ibunya meninggal sebelum mengucapkan sumpah.
- Warga negara asing yang mengajukan naturalisasi.
- Orang asing yang berjasa kepada negara dan mendapat kewarganegaraan Indonesia.
- Anak warga negara asing yang diangkat anak oleh orang Indonesia sebelum berumur lima tahun.
Dalam UU Nomor 62 Tahun 1958, kewarganegaraan tidak bisa diberikan kepada anak dan istri yang memiliki hubungan perkawinan dengan warga negara lain, kecuali ia menyatakan menolak status kewarganegaraan yang didapat dari suami.
Perkawinan Campuran
- Orang asing yang menikah sah dengan warga Indonesia bisa menjadi warga negara setelah lima tahun berdomisili terus-menerus.
- Perempuan atau laki-laki yang menikah dengan orang asing bisa tetap menjadi warga negara Indonesia dengan memberitahukan keinginannya kepada pejabat atau kantor perwakilan terdekat dalam tiga tahun sejak perkawinannya.
- Anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa berkebangsaan ganda. Tapi saat mencapai umur 18 tahun atau sudah kawin, ia harus memilih salah satu kewarganegaraan. Pernyataan bisa diberikan paling lambat tiga tahun sesudahnya.
Dalam UU Nomor 62 Tahun 1958, seorang anak yang belum dewasa otomatis mengikuti kewarganegaraan asing yang dimiliki ayahnya. Wanita warga negara Indonesia tidak bisa mengajukan naturalisi untuk anaknya selama masih terikat perkawinan dengan warga asing.
Kehilangan kewarganegaraan
- Mengganti kewarganegaraan atas keinginan sendiri.
- Dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh presiden.
- Masuk dinas atau jabatan militer asing.
- Bertempat tinggal di luar negeri lima tahun berturut-turut atau lebih dan tidak menyatakan ingin menjadi warga negara Indonesia.
Dalam UU Kewarganegaraan yang lama, ayah atau suami asing yang melepas kewarganegaraan Indonesia bisa menyebabkan hilangnya kewarganegaraan untuk istri dan anak-anaknya yang belum dewasa. Seorang ibu asing yang melepas kewarganegaraan Indonesia juga bisa menyebabkan hilangnya kewarganegaraan untuk anak-anaknya.
Sumber : Dokumen UU Kewarganegaraan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo