Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara
Yusuf Islam:

Berita Tempo Plus

Yang Terjadi Sekarang Bukan Hukuman

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Yang Terjadi Sekarang Bukan Hukuman
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ia pergi begitu saja. Menjelang usia 30 tahun, Cat Stevens meninggalkan sebuah dunia yang memungkinkan segalanya, kecuali spiritualitas. Ya, bintang itu, di usianya yang baru 27 tahun, telah memantapkan hatinya untuk menempuh jalan tak biasa.

Ia masuk Islam. Dan itu rupanya punya konsekuensi panjang baginya: mengganti namanya menjadi Yusuf Islam, atau membiarkan jenggot meranggas lebat di pipi dan dagunya, dan masih banyak lagi. Ia seolah menutup masa lalunya, membuka diri lebar-lebar pada dunianya yang baru. Sebuah dunia yang diyakininya tak larut dalam kecenderungan meterialistis dan hedonistis.

Tapi kita tahu, toko rekaman masih menawarkan karya-karyanya, para penggemar masih setia menyimpan rekaman karyanya. Morning Has Broken yang dipetiknya dari sebuah himne bernada gaelic, bersama nomor seperti Moonshadow, Wild World, atau The First Cut is The Deepest, telah menjadi klasik, dan tidak mungkin lenyap dari peredaran dalam waktu singkat.

Sang artis dan karyanya adalah dua hal yang berbeda. Tapi Yusuf Islam yang kini sibuk mendalami Islam dan bahasa Arab itu sesungguhnya tidak meninggalkan musik sama sekali. Dalam wawancaranya dengan majalah ini ia menunjukkan bahwa musik tidak cuma berhenti pada musik, melainkan membawa pesan-pesan yang lebih universal, lebih hakiki. Dan kita tahu, Cat Stevens yang tidak lagi bintang musik pop ini mendirikan tiga sekolah Islam di distrik Brent, London: Islamia Primary, Islamia Girl's Secondary, dan Brondesbury College.

Lelaki terkenal yang lahir dari ayah Siprus-Yunani dan ibu Swedia ini memiliki dunia yang luas, dunia yang penuh aneka kepentingan. Ia mendirikan Yayasan Small Kindness yang bergerak di bidang sosial, memperoleh World Social Award, penghargaan yang juga diterima Paus Yohanes Paulus II, Steven Spielberg, dan Paul McCartney. Tapi juga menuai bermacam protes.

Sandungan pertamanya, dua dekade lalu. Saat ia diberitakan media massa menyetujui fatwa Ayatullah Khomeini: vonis mati terhadap Salman Rushdie, penulis Ayat-ayat Setan—sesuatu yang disangkalnya. Sandungan keduanya, saat ia dideportasi dari Amerika Serikat akhir tahun lalu. Ia diperkirakan terlibat terorisme—sesuatu yang juga sangat keras ditolaknya.

Yusuf Islam kini di antara kita, membawa pesan perdamaian, kemanusiaan, dan toleransi. Ia terbang ke Aceh bersama Small Kindness, organisasi nirlaba yang didirikan di Inggris dan berasosiasi dengan PBB. Tsunami yang menggulung Aceh dan Sumatera Utara membuat ia tersentak, pedih, sekaligus terpesona pada solidaritas dunia yang luar biasa. Steven Demetre Georgiou atau Yusuf Islam berbicara tentang kemanusiaan, tentang musik yang bisa menyembuhkan. Jumat pekan lalu, setelah magrib, seusai konferensi pers dan wawancara round table dengan beberapa wartawan media massa, Yusuf Islam menjawab pertanyaan Rommy Fibry, Idrus F. Shahab, dan fotografer Rully Kesuma dari Tempo, di Hotel Borobudur, Jakarta. Berikut petikan wawancaranya.


Sepertinya Anda meminta supaya kita bisa menahan diri dari memberikan tafsir atau kesimpulan religius dari bencana ini. Benarkah?

Pesan yang paling penting dalam peristiwa menggetarkan ini: hal itu sudah terjadi, dan tak ada yang mampu men-cegahnya. Seperti ini: kalau Tuhan menginginkannya, maka terjadilah. Sejumlah orang menganggap ini gejala alam semata, tapi tiada yang terjadi di jagat raya ini tanpa izin Allah. Itulah yang saya yakini. Dan saya langsung berpikir, apa yang kita lakukan setelah ini. Tidak mundur atau menyalahkan sesuatu. Kita ini manusia, dan harus bahu-membahu memecahkan masalah dan menolong mereka yang tengah menderita.

Menurut Anda, dunia internasional cukup memberikan perhatian dan solidaritas untuk korban tsunami ini?

Hebat sekali. Reaksi datang dari setiap orang, ya setiap orang. Itulah yang saya yakini dan menyediakan alasan kenapa peristiwa itu sampai terjadi. Itu menunjukkan bagaimana kita bereaksi sebagai manusia di masa tragedi. Lihat solidaritas itu, orang-orang yang datang dari segala penjuru dunia untuk menolong. Dan itu simbol yang istimewa.

Saat bencana terjadi, 26 Desember silam, di mana Anda berada?

Saya sedang liburan keluarga di Dubai, Uni Arab Emirat. Kita punya kantor perwakilan di sana.

Ketika melihat dahsyatnya bencana tsunami, apa yang terlintas di pikiran Anda?

Saya teringat kecelakaan laut yang saya alami pada 1974 di Samudra Pasifik. Ketika tenggelam, saya kehilangan seluruh daya hidup. Dalam hati saya segera berteriak, Tuhan, tolonglah aku. Tiba-tiba datang gelombang kecil, dan seperti mendapat mukjizat, akhirnya saya kuat berenang hingga daratan. Itu adalah kuasa Ilahi. Kadang kita selamat, kadang kita tenggelam. Tapi, jika kamu selamat, pasti merasa punya tugas berat untuk menolong mereka yang tertimpa bencana.

Pribadi sekali. Tapi Anda bergerak ke Aceh bukannya tanpa pengalaman. Bagaimana keterlibatan Anda dalam aksi sosial di Kosovo dulu?

Pertama sekali kita mengumpulkan data anak korban perang di Kosovo. Berikutnya, kita memberi mereka uang US$ 10-20 per bulan. Hal itu pula yang kita lakukan di Albania dan negara-negara Balkan lain. Betapa mencengangkannya negara Albania. Dia tepat berada di tengah negeri Eropa, tapi menjadi negeri termiskin yang pernah ada.

Pada saat perang dan pertumpahan darah terjadi, ini jelas sangat menyayat. Selama setahun kami memberikan bantuan keuangan, setelah itu kita bantu pengembangan pendidikannya. Kita upayakan agar mereka bisa masuk sekolah, ikut kursus, termasuk kursus bahasa, agar mudah memperoleh pekerjaan.

Saat tragedi terjadi, saya selalu melihat pada korban anak-anak. Di situ kita bisa melihat betapa masa depan ada di tangan mereka. Dan masa depan itu bakal suram tanpa uluran bantuan kita semua. Program yang konsisten dibutuhkan: Kita tidak datang hanya untuk setahun. Kita membuat program pendidikan untuk anak-anak perempuan. Menolong mereka hingga memperoleh gelar sarjana, menyediakan latihan ekstra dalam manajemen dan teknologi informasi.

Apa yang akan Anda lakukan di Aceh?

Di sini, tempat skala tragedi sedemikian besar, kita juga akan mencari anak-anak yang kehilangan orang tua. Saya mempunyai organisasi, Small Kindness. Kita tak tahu persis hasilnya. Tapi kita tak akan pergi cepat-cepat, dengan demikian kita bisa berharap menolong anak-anak.

Mengapa Anda menaruh perhatian khusus terhadap anak-anak?

Lirik lagu saya banyak menyadur soal anak-anak. Dan itu sudah terjadi sejak bertahun-tahun lampau. Coba tengok lirik saya pada 1970-an, pasti ada cerita tentang anak. Saya tidak tahu kenapa bisa demikian. Yang jelas anak-anak mewakili sosok tanpa dosa dan kemurnian jiwa manusia. Sepanjang kita dapat mempertahankan kasih akan anak-anak itu dan memberikan proteksi kepada mereka, kemanusiaan itu masih punya masa depan. Kalau kita menolak, rasa kemanusiaan kita dalam bahaya.

Bahkan lagu terakhir Anda, Indian Ocean, memperlakukan anak sebagai representasi surga. Mengapa sampai sejauh itu?

Itu ada dalam hadis Nabi Muhammad. Nabi mengatakan barang siapa berbuat baik terhadap anak-anak, dia akan berdampingan denganku di surga. Itulah hubungan antara jalan baik yang saya tempuh dan tema tentang anak-anak.

Anda memiliki Yayasan Small Kindness yang berasosiasi dengan PBB, juga memiliki musik. Apa arti musik bagi Anda?

Sebagai seorang muslim saya hanya berkata, silakan pergunakan kapasitas yang kita miliki. Dan musik memang diperbolehkan. Tapi kita harus menggunakan musik dengan benar. Jangan sampai musik digunakan untuk tujuan-tujuan materialistis dan hedonistis. Kita juga bakal melihat banyak korupsi tumbuh dari dunia seni. Dan seni dapat mengontrol seniman, tapi seniman tak punya kontrol. Jalan Islam mengajari saya tentang kontrol itu. Kita harus mampu memanfaatkan musik demi tujuan mulia. Musik bisa menyembuhkan dunia dari penyakit. Bisa menyatukan dan mendamaikan hati.

Dulu Anda tidak menggunakan instrumen dalam bermusik, tapi kini mulai berubah. Kenapa bisa demikian?

Pada awalnya memang begitu. Tapi belakangan saya juga mencipta karya yang ada instrumennya. Dalam Islam, kalau ada yang tak begitu jelas, muncul bermacam pendapat. Ini juga terjadi dalam musik. Saya memilih musik dengan instrumen dengan satu alasan. Pada akhirnya kita harus menghasilkan pencapaian terbaik dari kemampuan kita. Dan kita tak mungkin memperoleh itu jika tangan ini masih terikat. Dalam musik, jika ingin mencapai yang terbaik, kita harus bebas.

Ada sosok ulama yang menyuruh Anda berubah?

Saya harus bertanya pada diri sendiri. Dan jawaban itu ada pada diri saya sendiri. Saya tidak akan bergantung pada pendapat Anda, pendapat orang lain, atau siapa pun. Saya yang harus menjawabnya. Nabi juga pernah mengatakan, berapa banyak ulama memberikan fatwa, tapi keputusan ada di tanganmu sendiri. Fatwa adalah opini yang tidak mengikat. Dia harus diterjemahkan dan diterima secara rasional oleh kita sendiri.

Di Iran akhir 1970-an dan awal 1980-an, Ayatullah Khomeini pernah mengharamkan musik pop Barat, tapi menghalalkan musik klasik Barat. Di mana posisi Anda dalam hal ini?

Kalau sudah sampai sini, seorang ulama akan menafsirkan segala sesuatu dengan logika hukum. Dan itu bergantung pada pengalaman dan impresi yang mengiringinya. Tapi saya setuju dengan hal ini, karena musik Barat sangat berasosiasi dengan sikap hedonistis dan konsumerisme. Dalam sekejap bisa muncul banyak grup musik, kemudian mereka pecah dan membentuk grup lain, begitu seterusnya. Di sini mereka bersentuhan dengan dunia bisnis, yang hanya mementingkan duit.

Sebelum industri musik marak, kita bisa menikmati karya yang tak lekang dimakan waktu. Tapi coba lihat sekarang, mereka begitu dikejar-kejar tenggat, harus berurusan dengan humas (hubungan masyarakat), dan segala macam. Musik akan lebih indah jika tidak dikekang adanya industri. Jadi, yang ditolak adalah eksesnya.

Jika kriteria musik Barat adalah yang datang dari dataran Eropa atau Amerika, Anda termasuk di dalamnya?

Jangan terjebak dengan kriteria. Gaya bermusik saya tercampur-campur budaya Yunani, Swedia, dan Inggris. Saya berada di antara semua budaya tersebut. Ini positif dan saya tidak suka memberikan cap pada sesuatu.

Anda tumbuh dan besar sebagai bagian dari generasi bunga pada tahun 1970-an. Bagaimana Anda menilai generasi Anda sekarang?

Menua, sebagian dari mereka sukses, ada pula yang kehilangan pandangan serta semangat terhadap apa yang telah diperjuangkan dan diyakininya.

Kenapa?

Karena mereka berkubang di dunia korporasi, yang mendorong orang untuk terus-menerus menghasilkan uang.

Bagaimana rasanya menjadi seseorang berumur 57 tahun, juga muslim, seperti Anda?

Saya merasa bugar. Saya mendapat masalah lebih banyak dalam bepergian, meski sering kecapekan. Tapi, bagi orang-orang dengan usia segini, memang sudah waktunya menuai kebijaksanaan. Kita tahu, kebijaksanaan tidak bisa diraih dalam masa muda.

Anda ingin menyampaikan sesuatu kepada masyarakat di utara Pulau Sumatera yang sedang sengsara itu?

Kita harus mengacu pada sikap Nabi Muhammad. Beliau mengatakan agar kita tidak selalu melihat ke atas, melainkan ke bawah. Dengan begitu, kita tidak akan bersedih atas apa yang menimpa kita. Apa yang terjadi sekarang hanyalah cobaan dari Tuhan, bukan hukuman.


Yusuf Islam atau Cat Stevens

Lahir:

  • London, 21 Juli 1948

Pendidikan:

  • Art College, London

Karier:

  • Album Matthew & Son, Moonshadow, Wild World dan Father & Son terjual lebih 50 juta kopi (1960-1970-an)
  • Memeluk Islam, Desember 1977
  • Konser pertama di Sarajevo, 1997, setelah 20 tahun absen
  • Menerima World Social Award, 2003 Man of Peace dari Nobel Peace Laurete, November 2004
  • Ke Banda Aceh, 29 Januari 2005
  • Artis tamu dalam Aceh Loung Sayang, Jakarta, 31 Januari 2005

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus