Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tegak di atas bukit di kawasan Santo Domingo Savio di bagian utara Medellin, Parque Biblioteca España atau Taman Perpustakaan Spanyol tampak kontras menjulang di antara hamparan ratusan bangunan kubus dari bata merah. Sewarna dengan batu hitam yang mendominasinya, bangunan yang mirip benteng Spanyol abad pertengahan itu terbagi menjadi tiga blok utama: perpustakaan umum, pusat komunitas, dan pusat kebudayaan.
Karya arsitek Giancarlo Mazzanti ini merupakan salah satu simbol perubahan besar di Medellin. Berdiri di kawasan kumuh yang pernah menjadi pusat pertempuran antargeng pengedar narkotik, perpustakaan yang dibangun dari sumbangan Raja dan Ratu Spanyol serta Yayasan Bill dan Melinda Gates ini tak hanya terlihat mewah. Ruangan-ruangannya lengkap dengan ribuan buku, komputer mutakhir dengan sambungan Internet yang cepat, serta ruang pertemuan umum yang bisa digunakan warga sekitar untuk aneka keperluan, mulai acara ulang tahun hingga resepsi perkawinan.
Saat mengantar berkeliling kota, sopir mobil kami, Jorge Humberto Florez Ruiz, begitu bangga bercerita bahwa bangunan-bangunan megah, seperti perpustakaan di Santo Domingo itu, kini tersebar di banyak sudut kota yang masuk kategori comuna 1 atau kawasan termiskin—comuna 2, 3, dan selanjutnya menunjukkan kelas yang semakin elite. Sopir mobil sewaan yang memulai pekerjaan sebagai pengemudi taksi saat berumur 21 tahun ini menjadi saksi bagaimana Medellin berubah drastis seiring dengan munculnya gedung-gedung indah dan sekolah baru yang dibangun pemerintah.
Sambil menikmati keramaian Plaza Botero yang berhias patung-patung kontemporer, Jorge, yang kini berusia 41 tahun, mengatakan kotanya sudah jauh lebih aman. "Dulu jangan harap bisa jalan-jalan ke luar rumah begitu malam datang. Apalagi turis dan orang asing seperti Anda."
Berdasarkan catatan statistik, cerita Jorge tentang keamanan kota ini memang benar. Dengan penduduk lebih dari dua juta jiwa, pada 1980-an dan 1990-an awal, Medellin kondang sebagai kota paling berbahaya dan mematikan. Pada 1991 saja, tercatat tak kurang dari 6.359 pembunuhan dalam setahun atau rata-rata 381 per 100 ribu penduduk.
Pada 2007-2008, di ujung masa jabatan Sergio Fajardo Valderrama sebagai wali kota, angka pembunuhan itu turun menjadi 26 kasus per 100 ribu penduduk atau total 653 kasus sepanjang tahun.
Terpilih sebagai Wali Kota Medellin pada 2003, Fajardo mewarisi kota yang karut-marut oleh sisa pertempuran antargeng mafia obat terlarang dan milisi-milisi bersenjata, juga sistem politik yang korup. Anak-anak muda yang teler di jalanan sambil menenteng senjata merupakan pemandangan lumrah di banyak bagian kota selama bertahun-tahun. "Perdagangan obat seperti bom yang meledak di negeri ini 30 tahun lalu. Pusat ledakan itu ada di Medellin," kata Fajardo dalam sebuah wawancara dengan The Daily Beast tahun lalu.
Perang besar terhadap kartel obat bius, yang mencapai puncak dengan terbunuhnya Pablo Escobar pada Desember 1993, ternyata tak otomatis menghentikan perdagangan kokain di Medellin. Para pemain baru terus bermunculan. Organisasinya pun berubah dengan penopang baru dari kelompok paramiliter dan sayap bersenjata dari kelompok pemberontak, seperti Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) dan Tentara Pembebasan Nasional (Ejército de Liberación Nacional).
Bahkan, sampai awal 2000-an, masih banyak kasus penculikan dengan motif uang tebusan yang terjadi di kawasan ini. Begitu seringnya penculikan terjadi, FARC sampai punya program khusus mingguan di radio, yakni Las Voces del Secuestro, yang memungkinkan para kerabat korban yang diculik mengirim pesan secara langsung.
Situasi ini mulai berubah ketika pada 2002 Presiden Alvaro Uribe, yang berasal dari Medellin, yang masuk wilayah Provinsi Antioquia, mencanangkan program Democratic Security. Dengan sokongan penuh Amerika Serikat, ia gencar memerangi FARC dan melakukan demobilisasi besar-besaran dengan melucuti para anggota paramiliter. Ribuan eks kombatan dikembalikan ke tengah masyarakat dalam program-program reintegrasi.
Toh, luka besar itu masih menganga, dan boleh jadi diikuti oleh ledakan berikutnya. Sebab, masalah utama yang menyebabkan banyak anak muda terjerumus lubang hitam organisasi kejahatan dan bisnis kekerasan ini masih terbuka. Jurang antara kaum berpunya dan mereka yang papa terbentang begitu lebar.
"Sampai hari ini pun warisan kekerasan dan kemiskinan itu masih tampak di sana-sini," kata Pastor Agustinus Utomo Wijayanto, misionaris Serikat Xaverian asal Yogyakarta, yang empat tahun terakhir berkarya di Medellin dan kota-kota lain di Kolombia. Meski mengakui ada banyak kemajuan, padri yang kerap blusukan di perkampungan kumuh Medellin ini tak hendak buru-buru berpuas diri.
Fajardo pun sebenarnya tak menampik adanya kekhawatiran semacam itu. "Dalam soal ketidaksetaraan, Kolombia dan Brasil memimpin di kawasan Amerika Selatan," katanya. "Inilah gerbang menuju kejahatan dan kekerasan yang sesungguhnya."
Kemiskinan membuat pintu peluang seperti tertutup bagi anak-anak muda di kawasan kumuh, yang kebanyakan tersebar di bagian barat dan utara kota terbesar kedua di Kolombia ini. "Karena itu, kita perlu membuka pintu lain yang bisa memberi kesempatan bagi mereka, yakni pendidikan yang lebih baik," Fajardo menjelaskan visinya.
Daniel Mauricio Vasquez Bustamante, juru bicara pemerintah kota, saat kami temui memberi penjelasan tambahan. Menurut dia, visi Fajardo membuka akses pendidikan itu diwujudkan dengan menggelontorkan 40 persen dari seluruh anggaran tahunan kota, yang berjumlah US$ 900 juta (setara dengan sekitar Rp 8 triliun), untuk sektor ini. Sisanya untuk memperbaiki transportasi publik dan memberikan kredit mikro untuk usaha kecil.
"Apa yang Anda lihat hari ini di Medellin sangat berbeda situasinya dengan yang terjadi pada enam-tujuh tahun lalu," Daniel membandingkan. "Inisiatif Fajardo jelas punya banyak peran di sini."
Wali kota yang pernah menjadi wartawan dan mendapatkan gelar PhD di bidang matematika dari Universitas Wisconsin-Madison ini mulai membangun puluhan sekolah "kelas atas" di area-area kaum miskin kota. Pada saat bersamaan, arena bermain, taman-taman, dan perpustakaan megah ia dirikan. "Tentu saja orang-orang mengatakan kami gila," ujar Fajardo, yang biasa mendatangi warganya dengan mengenakan celana jins dan kaus oblong. Berbagai kelompok juga mengkritik dan menjulukinya sebagai Firaun-nya Medellin karena gemar mendirikan bangunan-bangunan mahal itu.
Tapi ia kukuh pada keyakinannya. Ia percaya, dengan sekolah berkualitas tinggi dan sarana publik modern itu, masyarakat miskin yang biasa terpinggirkan akan merasa percaya diri dan lebih terhormat. Sebab, yang sebelumnya hanya didapatkan orang dengan banyak uang kini bisa mereka peroleh.
"Arsitektur mengirim sebuah pesan politik yang penting," katanya, seperti dikutip Francis Fukuyama dan Seth Colby dalam artikel mereka di majalah Foreign Policy edisi Mei-Juni lalu. "Kalau Anda pergi ke lingkungan yang paling miskin dan membangun gedung paling cantik di kota ini, hal itu akan menumbuhkan rasa lebih bermartabat bagi mereka." Jika rasa tersisih sudah bisa dikikis, kita boleh berharap mereka akan punya mental yang cukup sebagai modal bersaing dengan warga kota lain yang lebih dulu maju.
Upaya lain yang juga penting untuk mempersempit jarak warga miskin di pinggiran dari pusat kota adalah penyediaan sistem transportasi umum yang bermutu tapi cukup terjangkau. Fajardo berhasil meyakinkan Dewan Kota Medellin untuk melakukan terobosan menarik dalam hal ini, yakni membangun jaringan metrocable. Ini adalah rangkaian gondola yang digerakkan roda bermotor elektrik dan kabel, yang menjangkau wilayah paling kumuh di wilayah Santo Domingo dan La Aurora.
Mulai dioperasikan pada 2006, metrocable bergerak dengan kecepatan 16 kilometer per jam. Jaringan ini menjadi pelengkap dan terkoneksi langsung dengan sistem transportasi metro kereta listrik dua jalur yang membelah Medellin dari utara ke selatan sejauh 32 kilometer.
Dengan membayar tiket 1.700 peso Kolombia atau sekitar Rp 8.500, kami naik sarana transportasi ini pada Rabu menjelang petang itu. Sangat nyaman, meskipun yang tak terbiasa mungkin akan sedikit ngeri karena titik tertinggi yang dilewati gondola ini 399 meter dari titik mula di stasiun kereta.
Sudah barang tentu semua perubahan model Fajardo ini perlu biaya tak sedikit. Tapi, untungnya, Medellin punya perangkat untuk menyokongnya, yaitu Empresas Publicas de Medellin (EPM). Ini adalah perusahaan milik pemerintah kota yang bergerak di bidang pelayanan publik, mulai kebutuhan energi, listrik, air bersih, sampai telekomunikasi.
Tak seperti kebanyakan perusahaan daerah di Indonesia, EPM dikelola berdasarkan standar tertinggi perusahaan internasional. Dengan ketentuan 30 persen keuntungan harus disetorkan kepada pemerintah sebagai investasi sosial, pada 2009 saja EPM memberikan pemasukan ke kas kota tak kurang dari US$ 587 juta.
Begitu majunya perkembangan yang bisa dicapai Medellin, Francis Fukuyama dan Seth Colby sampai menyebutnya "half a miracle".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo