Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Monster di Langit Kita

Jalur pesawat dihadang awan kumulonimbus aktif sepanjang ratusan kilometer. Pilot berupaya menghindari cuaca buruk sebelum mengalami kecelakaan.

5 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awan kumulonimbus dikenal sangat berbahaya bagi dunia penerbangan. "Menghindari kumulonimbus itu sudah biasa dalam dunia penerbangan," ujar Andi Eka Sakya, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Kumulonimbus—berasal dari bahasa Latin cumulus (berarti kumpulan) dan nimbus (berarti hujan badai)—adalah awan vertikal menjulang padat yang menunjukkan adanya badai dan ketidakstabilan atmosfer. Dasar awan ini terentang dari ketinggian 1.800 kaki (500 meter) hingga puncaknya pada ketinggian 40 ribu kaki (13 ribu meter), atau lebih tinggi lagi pada kasus yang ekstrem.

Awan itu, menurut Mustari Heru Jatmika, Kepala Bidang Meteorologi Penerbangan BMKG, banyak terkonsentrasi di Selat Karimata, Laut Jawa, dan Laut Cina Selatan pada musim hujan ini. Di jalur yang dilalui pesawat AirAsia QZ8501, kata dia, awan kumulonimbus membentang sepanjang 4 derajat atau sekitar 450 kilometer. Memanjang dari utara Laut Jawa ke selatan Kalimantan, membujur ke timur, membelok ke Selat Karimata, membelok ke barat Kalimantan, hingga timur Pulau Bangka Belitung. Selain QZ8501, ada tujuh pesawat yang terbang di rute yang sama saat itu.

Di atas laut, awan kumulonimbus terbentuk oleh dua hal. Pertama karena proses konveksi akibat pemanasan permukaan bumi oleh radiasi matahari dan kondisi atmosfer yang tidak stabil. Di daerah tropis sangat mudah terbentuk kumulonimbus, karena proses konveksinya sangat kuat.

Pembentuk kedua adalah karena pertemuan dua massa udara di Intertropical Convergence Zone. Massa udara dari belahan bumi utara dan belahan bumi selatan bergerak ke khatulistiwa, kemudian naik ke atas membentuk awan.

Menurut Heru, yang kedua itulah yang terjadi di Selat Karimata saat jatuhnya pesawat AirAsia. Berbeda dengan proses pembentukan awan karena konveksi yang berlangsung cepat, sekitar 30 menit, proses pembentukan awan kumulonimbus karena pertemuan dua massa berlangsung lebih lama, yakni empat-enam jam.

Pembentukan awan kumulonimbus melalui tiga fase: fase pertumbuhan, fase matang, dan fase mati. Pesawat QZ8501 bertemu dengan kumulonimbus yang sudah memasuki fase aktif atau matang. "Itu harus dihindari," ujar Heru.

Pada kumulonimbus matang, terjadi pergerakan angin kencang dengan kecepatan 13-20 knot ke atas (updraft) dan ke bawah (downdraft), yang menyebabkan guncangan. Fenomena lain adalah kilat dan guntur yang terjadi karena pertemuan dua massa listrik.

Selain itu, terjadi icing (pembentukan es). Sampai lapisan dengan suhu minus 40 derajat Celsius, tercipta butiran yang sangat dingin (super cold water), tapi belum membeku. Ketika butiran ini bertemu dengan pesawat, ia pun membeku. Karena itu, pesawat dilengkapi instrumen deicing. Sedangkan di suhu yang lebih dingin, hingga minus 60 derajat Celsius, tercipta kristal es. Fenomena hujan es (hail), ketika kristal-kristal es terpental dari kumpulan awan, juga terjadi pada saat ini. Butiran-butiran es bisa masuk ke mesin dan menyebabkan mesin mati.

Sebelum terbang, maskapai penerbangan menyiapkan flight plan. Pilot akan menggunakan informasi cuaca yang dipasok stasiun meteorologi di bandar udara. Di antaranya informasi ketinggian awan, puncak, dasar, dan jumlahnya di sepanjang titik perjalanan. Dua jam sebelum berangkat, ada informasi tentang arah angin, kecepatan angin, posisi abu vulkanis letusan gunung berapi, bandara asal, tujuan dan alternatif. "Informasi berupa prediksi dan citra satelit," ucap Heru.

Menurut pilot senior Garuda, Stephanus Gerardus Setitit, selain mendapatkan info dari BMKG, pesawat Airbus dilengkapi radar yang memberikan informasi status awan lebih rinci. Airbus dilengkapi teknologi terakhir yang mampu mendeteksi kondisi awan, dengan warna hijau, kuning, merah, dan magenta. "Merah tidak boleh dimasuki pilot, apalagi magenta," ujar mantan Ketua Asosiasi Pilot Garuda itu.

Sistem radar Airbus juga bisa melihat kondisi awan di depan dan di belakang pesawat: apakah ia aktif atau tidak, tipis atau tebal. "Airbus 330 menggunakan sistem radar teknologi terakhir. Saya rasa itu standar di Airbus," kata kapten Airbus 330 itu.

Stephanus membenarkan bahwa pilot biasanya menghindari awan kumulonimbus ke kiri, ke kanan, atau ke atas. Tapi, untuk itu, harus ada izin pengawas. Biasanya untuk ke kiri dan ke kanan diizinkan, sedangkan untuk ke atas menunggu pengecekan pengawas. "Tentunya ada waktu jeda dan bisa diterima atau tidak," ujarnya.

Meski kumulonimbus terdeteksi oleh radar, jika awan terlalu besar, kadang sampai 100 mil (300 kilometer), pilot sulit menghindar sehingga ia terjebak masuk. Kadang yang di depannya awan tipis, tapi ternyata di belakangnya tebal. "Pilot harus menembus dengan memilih lapisan tertipis dan terpendek yang memiliki risiko terkecil."

Sesuai dengan pedoman pabrikan pesawat, pada saat memasuki awan, pilot memantik busi untuk mencegah mesin mati. Sistem anti-es di dalam mesin dihidupkan untuk pemanasan. "Jangan sampai es masuk ke sayap. Bisa stall kalau es masuk," ujarnya. Stall adalah kondisi pesawat hilang kendali, tak lagi mempunyai daya angkat. Keberadaan kristal es akibat suhu yang mencapai minus 60 derajat Celsius di sana juga bisa membanting pesawat. "Kalau awan membanting pesawat ke atas, kita ikut ke atas, jangan dilawan."

Kasus serupa QZ8501 terjadi pada pesawat Air France Flight 447, yang mengalami kecelakaan karena masuk ke awan aktif pada 1 Juni 2009. Dalam laporan finalnya pada 5 Juli 2012, Biro Investigasi dan Analisis Prancis menyebutkan serangkaian kesalahan pilot dan kegagalan untuk bereaksi secara efektif terhadap masalah teknis yang akhirnya menyebabkan kecelakaan itu. Pesawat dari Rio de Janeiro ke Paris itu jatuh di Samudra Atlantik, menewaskan 228 orang.

Ketika kristal es memblokir tabung pitot pesawat (bagian dari sistem yang digunakan untuk menentukan kecepatan udara), sistem autopilot terputus dan pilot tidak tahu bagaimana bereaksi terhadap apa yang terjadi. Para kru menanggapi dengan salah penanganan, yang mengacaukan jalur penerbangan dan menyebabkan pembacaan lebih membingungkan.

Airbus A330 itu berada dalam kondisi stall—ditandai oleh adanya pesan peringatan dan entakan kuat pesawat. "Meskipun gejala-gejala ini terus-menerus, awak tidak pernah mengerti mereka berada dalam situasi stall dan karena itu tidak pernah melakukan manuver pemulihan," ucap ketua penyidik Alain Bouillard, sebagaimana dikutip CNN.

Meskipun ada kemiripan, Stephanus enggan membandingkan penyebab kedua kecelakaan itu. "Keduanya belum bisa dibandingkan apple to apple sebelum black box QZ8501 ditemukan," ujarnya.

Banyak kemungkinan yang bisa terjadi pada QZ8501: listrik mati, mesin mati, atau pesawat menghunjam. Stephanus berharap black box yang berisi rekaman suara (CVR) dan rekaman data penerbangan (FDR) dapat ditemukan. Black box mencatat kejadian 30 menit terakhir. "Hal itu bisa menjawab prosedur yang salah atau alat yang tidak benar untuk mencegah agar tidak terulang terjadi," katanya.

Erwin Zachri, Dimas Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus