Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerbang pabrik PT Kertas Leces (Persero) di Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, tertutup rapat, Selasa siang pertengahan Oktober lalu. Beberapa lembar seng dipasang untuk menutup pintu pagar besi yang bercelah. Diintip dari lubang seng, suasana senyap menyelimuti area pabrik kertas tertua di Indonesia itu. Tak ada deru mesin dan kesibukan layaknya pabrik.
Hanya sejumlah petugas keamanan yang terlihat di pos jaga, tak jauh dari gerbang. “Tidak ada kegiatan di dalam pabrik,” salah satu di antaranya menjawab pertanyaan Tempo. Badan usaha milik negara di sektor industri kertas itu sudah gulung tikar. Perusahaan yang tengah dalam “penyehatan” PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) itu menyetop operasi pada 2014 karena kehabisan modal.
Tapi PPA ingin pabrik tersebut beroperasi kembali meski majelis hakim pengadilan niaga di Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan vonis pailit pada 25 September lalu. PPA telah membuat kajian yang menunjukkan peluang menghidupkannya lagi. “Leces akan masuk ke segmen kertas cokelat. Harganya sedang bagus,” kata Direktur Utama PPA Henry Sihotang kepada Tempo. Kertas cokelat banyak digunakan sebagai kemasan produk, seperti kardus dan kertas pembungkus.
Menurut Henry, produsen sekaligus pasar kertas cokelat terbesar dunia di Cina tengah kekurangan pasokan. Penyebabnya: pemerintah Negeri Panda mengeluarkan regulasi yang membatasi masuknya kertas bekas—bahan baku kertas cokelat—karena alasan lingkungan. Selama ini, pabrik kertas cokelat Cina mengimpor bahan baku berupa limbah kertas yang tercampur logam, kaca, dan plastik dari Amerika Serikat, Australia, serta Eropa.
Dalam aturan baru, kertas bekas harus disortir lebih dulu dengan batas toleransi kontaminan maksimal 0,5 persen. Sebelumnya, kandungan kontaminan masih diizinkan hingga 2,5 persen. Perang dagang Amerika Serikat-Cina juga menghambat masuknya bahan baku. Bahkan Cina menyetop impor barang daur ulang itu sejak Januari lalu. Sedangkan negara-negara Asia lain yang biasa menerima bahan tersebut menurunkan harga beli dari US$ 150 per ton pada tahun lalu menjadi hanya US$ 5 per ton. Akibatnya, limbah menggunung di sentra-sentra di Amerika.
Dampak kebijakan baru juga terasa di Cina. Henry bercerita, ribuan produsen kertas cokelat di negara itu sulit mendapatkan bahan baku. Walhasil, kebutuhan kertas kemasan tidak terpenuhi. Hal itulah yang mendorong harga produk tersebut terkerek naik. “Ada peluang buat Leces,” ujarnya.
Ia menambahkan, Indonesia pun masih mengimpor kertas cokelat sekitar 400 ribu ton per tahun, dengan perkiraan pertumbuhan 3 persen. Meningkatnya aktivitas perdagangan online diyakini juga akan mendongkrak permintaan jenis kertas kemasan ini. “Kebutuhan meningkat, suplai berkurang, jadi menarik.”
Berbekal hasil studi yang menunjukkan gairah segmen pasar kertas cokelat, PPA bergerak mencari calon investor bagi Leces. Targetnya: calon mitra menyuntikkan dana segar sebagai modal pengoperasian pabrik. Sebagian keuntungan yang dihasilkan nantinya digunakan untuk membayar berbagai tunggakan alias utang.
Tak mudah mencarikan “jodoh” bagi Leces. Tapi, akhirnya, pengujung Oktober lalu, ditandatangani nota kesepahaman untuk merancang pengoperasian kembali pabrik kertas di Probolinggo itu. Kerja sama dijalin melalui sinergi BUMN. Sekretaris Perusahaan PPA Edi Winarto menyebutkan dua perusahaan negara akan mendukung upaya menyalakan kembali mesin-mesin produksi pabrik. Tapi Edi menolak menyebutkan kedua BUMN yang ia maksudkan dengan alasan kerahasiaan perjanjian. Saat ini beberapa BUMN tercatat sebagai kreditor Leces. Selain PPA, ada PT Waskita Karya (Persero), PT PGN (Persero), dan PT Mega Eltra—anak usaha PT Pupuk Indonesia.
MANAJEMEN Kertas Leces menyampaikan materi tambahan untuk melengkapi proposal peninjauan kembali atas putusan pailit. Berkas disampaikan kepada Mahkamah Agung, melalui pengadilan niaga di Surabaya, akhir Oktober lalu. Pelaksana tugas Direktur Utama Leces, Syarif Hidayat, mengatakan materi tambahan itu akan melengkapi dokumen kasasi yang telah diajukan pada 4 Oktober.
Ia menjelaskan, materi tambahan antara lain memuat perihal calon investor yang siap menjalankan kembali pabrik. Tak bersedia menyebutkan nama, Syarif meyakinkan bahwa calon mitra itu berkomitmen menyuntikkan dana untuk modal kerja. Mereka juga menyatakan kesediaan memenuhi seluruh kewajiban keuangan Leces. Untuk mengoperasikan kembali pabrik yang telah bertahun-tahun “tidur”, kata Syarif, diperlukan dana Rp 250-300 miliar.
Dengan adanya calon mitra itu, Syarif berharap Mahkamah Agung membatalkan putusan pailit dan mengizinkan perusahaan hidup kembali. Apalagi, dia melanjutkan, banyak karyawan yang ingin pabrik berjalan sehingga mereka bisa bekerja lagi.
Ketua Serikat Buruh PT Kertas Leces Suyono mengatakan para pekerja berharap negara berperan agar pabrik Leces tidak mati begitu saja. Ia juga ingin perusahaan memenuhi semua hak karyawan yang selama ini tertunggak. “Pesangon agar segera diselesaikan dan dibayar, serta diharapkan bisa bangkit kembali. Ini harapan dari bawah,” ujarnya. Ia menyebutkan dampak penutupan pabrik begitu besar terhadap sektor pertanian, pendidikan, perdagangan dan lainnya. “Semua terkena imbas.”
Sekretaris Jenderal Serikat Karyawan dan Sekretaris Jenderal Paguyuban Karyawan, Arham, yang terlibat mempailitkan Leces, mengatakan putusan pailit ini bukan sesuatu yang menyenangkan, tapi justru memprihatinkan. “Sebenarnya ironis. Kami puluhan tahun di Leces, kemudian mempailitkannya,” tuturnya.
Ia menambahkan, upaya pemailitan Leces adalah langkah terakhir. “Hanya dengan ini hak-hak karyawan bisa terpenuhi melalui aset-aset yang terjual. Pemerintah tidak bertanggung jawab dalam hal ini,” ucapnya. Arham mengatakan hak-hak karyawan sekitar Rp 104 miliar.
Dalam proposal perdamaian, nilai tagihan Leces akan direstrukturisasi hampir separuhnya sehingga tersisa sekitar Rp 1,3 triliun. Berbagai skema penyelesaian diajukan, seperti mengangsur dalam jangka panjang serta melunasi dalam periode sembilan bulan dengan pemotongan utang (haircut).
Rencana perdamaian (homologasi) itu adalah hasil sidang penundaan kewajiban pembayaran utang Leces pada 18 Mei 2015. Perusahaan wajib merestrukturisasi utang yang totalnya sekitar Rp 2 triliun. Tapi rencana berdamai bubar begitu pengadilan menolak proposal homologasi sehingga Leces berstatus pailit.
Henry Sihotang menjelaskan, kondisi Leces saat itu memang berat. Pabrik yang baru giling kembali pada 2012 itu tak mampu bangkit setelah mendapat modal Rp 50 miliar dari PPA. PPA mengidentifikasi masalah utamanya adalah produk Leces tidak kompetitif. Perusahaan masuk ke segmen kertas putih atau HVS dan bersaing dengan dua pemain besar, yakni PT Riau Andalan Pulp and Paper (grup Raja Garuda Mas milik Sukanto Tanoto) dan PT Indah Kiat Pulp & Paper (Sinar Mas Group milik Eka Tjipta Widjaja). Kedua perusahaan itu memiliki bisnis kertas dari hulu hingga hilir. Sebaliknya, Leces membeli bahan baku dari mereka. “Jadi tidak bisa bersaing.”
Ke depan, Henry optimistis bisnis kertas cokelat akan membuat pabrik Leces hidup kembali. “Kebutuhan pasar besar dan harga sedang bagus,” katanya. Tapi, ia menegaskan, pabrik akan dioperasikan kembali hanya bila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali dan Kertas Leces tidak dinyatakan pailit.
RETNO SULISTYOWATI, DAVID PRIYASIDHARTA (PROBOLINGGO)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo