Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Motor Gue, Gaya Gue

Di tangan pehobi, sepeda motor bukan hanya alat transportasi, tapi juga karya seni yang membanggakan pemiliknya.

26 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Motor Gue, Gaya Gue

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada Norton, Tiger pun jadi. Mungkin ungkapan ini cocok menggambarkan kisah Sandi Eko, 37 tahun, asal Pamulang, Tangerang Selatan. Ia berhasil "membangun" sepeda motor impiannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mulanya, Sandi begitu berhasrat untuk memiliki sebuah sepeda motor asal Inggris bermerek Norton gara-gara menonton film berjudul Motorcycle Diaries. Di film itu diceritakan tokoh utama bernama Che Guevarra-yang kemudian menjadi pemimpin revolusi Kuba-dan kawannya, Alberto Granado, membelah Amerika Selatan pada 1952 silam menggunakan sebuah sepeda motor. "Gue pengen banget punya motor kayak di film itu," ujar Sandi kepada Tempo, beberapa waktu lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria yang bekerja sebagai penulis lepas itu menyimpan obsesinya bertahun-tahun, sampai akhirnya sepeda motor kesayangannya, Honda Tiger buatan 2007, mulai sering rusak dan ngadat pada akhir 2017. "Mungkin karena usianya yang sudah tua," ujarnya. Tapi, alih-alih menjual sepeda motor itu dan membeli yang baru, Sandi teringat akan mimpinya memiliki Norton.

"Berhubung Norton mahal banget dan susah nyarinya, kenapa enggak gue ubah motor gue yang Tiger supaya sesuai dengan keinginan gue," ujarnya. Kebetulan, sejak terobsesi memiliki Norton, Sandi kerap mencari referensi model-model sepeda motor melalui Internet dan media sosial untuk memuaskan keinginannya itu.

Awal 2018, Sandi membulatkan tekadnya untuk merombak total si Tiger menjadi sepeda motor yang-meski tidak mirip Norton-memiliki tampilan sesuai dengan keinginan Sandi kala itu.

Ia lalu berkeliling Ibu Kota untuk mencari bengkel kustomisasi sepeda motor yang bisa merealisasi mimpinya. Pilihan jatuh pada bengkel bernama Moto Cafe yang terletak tak jauh dari rumah Sandi. Sepeda motor kesayangannya itu pun menjalani "opname" di bengkel selama empat bulan lebih. Semua bagian bodinya dilucuti, bahkan bagian belakang rangka sepeda motor dipotong menjadi lebih pendek, mengikuti konsep sepeda motor bergaya Brat Style yang diinginkan Sandi. "Gue habis sekitar Rp 12 juta untuk custom motor ini."

Setelah sabar menunggu, sepeda motor kesayangan pun keluar bengkel. Si Tiger, yang dulu tampak seperti sepeda motor buatan pabrik pada umumnya, jadi tampil beda. Tangki bahan bakarnya terlihat lebih gembung dan besar. Panel-panel plastik yang sebelumnya membungkus bodi sepeda motor disingkirkan, meninggalkan rangka-rangka besi yang dicat hitam dan dibiarkan telanjang. Ukuran rodanya jadi lebih besar dan bergerigi. Suara knalpotnya pun jadi lebih berat dan kencang. "Akhirnya gue bisa punya motor yang gayanya sesuai keinginan gue."

Custom Bike Exhibition di Lapangan Tennis Indoor gor Sidoarjo.

Apa yang dilakukan Sandi bukanlah modifikasi sepeda motor biasa, melainkan melakukan kustomisasi. Artinya, identitas asli sepeda motor lamanya benar-benar hilang dan digantikan oleh bentuk dan tampilan yang benar-benar baru.

Tren kustomisasi sepeda motor ini belakangan semakin kencang melaju di kota-kota besar. Peminatnya semakin banyak dan pasarnya semakin besar. Sejumlah kegiatan yang mempertemukan para pehobi ini juga sering diadakan. Terbaru, Custom Collaboration 2019 di Lippo Mall Kemang Village, Jakarta, 24-27 Oktober 2019.

Istilah seperti cafe racer, brat style, chopper, dan bobber makin fasih diucapkan para pencinta sepeda motor. Tak hanya menjadi tren di dunia otomotif, belakangan muncul istilah baru dalam dunia gaya hidup: custom culture atau kerap dilafalkan pelakunya kustom kulture.

Sama seperti fenomena dan gaya hidup lain yang diadopsi dari negara lain, custom culture sebetulnya bukan barang baru. Di Amerika Serikat dan Eropa, fenomena ini berkembang sejak 1950-an. Nama custom culture sendiri mengacu pada gaya hidup yang berkaitan dengan cara berpakaian, dandanan, karya seni, dan kendaraan yang dirancang dan dibangun sendiri oleh pengguna atau pemiliknya.

"Intinya sih orang-orang yang menjalani gaya hidup custom culture ingin tampil beda dari yang lain. Mereka tak mau menggunakan barang buatan massal ala pabrik," kata Dwi Prasetya, dosen seni rupa Universitas Adi Buana Surabaya yang mendalami fenomena ini.

Kebetulan Dwi termasuk "senior" di komunitas penggiat custom culture di Indonesia. Pada 2013, ia menggagas acara festival Customland di Surabaya, yang mengumpulkan para pehobi, seniman, dan pelaku usaha yang berkaitan dengan fenomena baru ini. "Di Indonesia memang baru ramai sepuluh tahun belakangan."

Gaya dan fenomena custom culture ini, ujar Pras-panggilan akrabnya-menjadi masif dan semakin dikenal banyak orang saat Presiden Joko Widodo membeli sebuah sepeda motor bergaya chopper karya kolaborasi pelaku kostumisasi Indonesia di bengkel custom sepeda motor KickAss Choppers dan Elders Garage, beberapa waktu lalu.

April tahun lalu, Jokowi bahkan mengendarai sepeda motor ini saat blusukan ke Sukabumi, Jawa Barat. Kabarnya, gara-gara dibeli Jokowi, KickAss Choppers dan Elders Garage hingga kini sudah bisa menjual selusin replika sepeda motor seharga Rp 150 juta itu.

Hobi Jokowi ini rupanya ditularkan oleh putranya, Gibran Rakabuming, yang juga menyenangi sepeda motor custom. Pengusaha katering tersebut kini punya tiga sepeda motor custom dengan konsep berbeda, yakni cafe racer, bobber, dan mini moto bike. Semuanya dibuat oleh builder atau seniman custom sepeda motor lokal.

Selain Gibran, banyak pesohor Tanah Air yang menyukai gaya hidup dan sepeda motor custom. Beberapa nama yang populer misalnya Tora Sudiro, Ananda Omesh, Surya Saputra, Indro Warkop, dan penyanyi yang menjadi Wakil Wali Kota Palu, Sigit Purnomo atau Pasha Ungu.

Meski banyak digemari oleh kalangan berduit, menurut Pras, custom culture tak hanya monopoli orang kaya. "Spiritnya adalah berkreasi, menciptakan sebuah karya melalui media sepeda motor, mobil, sepeda, atau produk busana," katanya. Khusus di dunia kustomisasi sepeda motor, Pras mengatakan tak ada batasan mengenai gaya, merek, atau bahkan harga sebuah karya. "Yang terpenting adalah hasil custom ini mewakili identitas pemiliknya."

Pras, yang sempat memiliki bengkel kustomisasi sepeda motor di Surabaya, mengaku bahwa sepeda motor custom kesayangannya hanyalah sebuah motor bergaya tracker yang berasal dari Honda CB 100 tua. Pras menjelaskan, di kalangan pehobi sepeda motor custom, ada berbagai aliran dan gaya. "Ada yang memang ingin sepeda motor hari-hari yang tampilannya berbeda dari motor pabrikan, tapi ada juga yang memang menjadikan sepeda motor sebagai kanvas untuk berkesenian," katanya.

Salah satu seniman sepeda motor custom terkenal asal Tanah Air adalah Komang Gede Sentana Putra alias Kedux asal Bali. Pria pemilik bengkel custom Kedux Garage ini langganan juara kontes sepeda motor custom, baik di dalam maupun di luar negeri. Terbaru, sepeda motor bergaya bobber karya Kedux berhasil menjadi sepeda motor terbaik dan meraih tujuh gelar juara dalam kontes sepeda motor custom internasional Kustomfest 2019 pada awal Oktober lalu di Yogyakarta.

Sepeda motor karya Kedux ini diberi nama Taksaka oleh pemiliknya. "Kami membangun motor ini selama dua tahun," kata Kedux kepada Tempo di Yogyakarta. "Bahan dasar" yang digunakan adalah sepeda motor Harley Davidson bermesin 1.600 cc dengan biaya custom mencapai Rp 600 juta. Berkat penghargaan yang diperoleh di Kustomfest, Taksaka mendapat kesempatan mengikuti kompetisi Custom Yokohama Hot Rod Custom Show di Jepang.

Ini bukan pertama kalinya sepeda motor custom karya seniman Tanah Air tampil di luar negeri. Di Yokohama Hot Rod Custom Show tahun lalu, ada delapan unit sepeda motor custom buatan dalam negeri yang ikut mejeng, salah satunya adalah chopper yang dibeli Presiden Jokowi. Pada tahun yang sama, empat builder atau seniman sepeda motor custom lain tampil di Custombike Show di Jerman. Lalu sepeda motor karya bengkel lokal Thrive Motorcycle terpilih untuk ikut berpameran di Petersen Automotive Museum, Los Angeles, Amerika Serikat.

Kehadiran Kustomfest, yang rutin digelar setiap tahun di Yogyakarta sejak 2011, adalah salah satu titik balik penting dunia custom culture di Tanah Air. Festival sepeda motor custom ini digagas oleh Lulut Wahyudi, seorang builder asal Yogyakarta. Beberapa sepeda motor karya Lulut pernah menjadi juara dalam beberapa acara di Jepang. "Lewat Kustomfest, saya ingin menunjukkan bahwa Indonesia bagian penting dari custom culture dunia."

Pada 2016, acara ini diakui secara internasional dengan hadirnya puluhan builder, juri, dan media massa dari negara lain.

Kencangnya tren sepeda motor custom dan gaya hidup custom culture ini mendatangkan berkah buat para anak muda yang mendirikan bisnis di bidang ini. Elders Garage, salah satu contoh kisah sukses di dalam dunia custom. Brand dan rumah produksi yang didirikan Heret Frasthio tersebut mulanya hanya berjualan helm asal Thailand pada 2014. Secara perlahan, Heret mengembangkan usahanya menjadi produsen pakaian dan aksesori berkendara sepeda motor serta membuka bengkel custom sepeda motor. "Kami fokus menggarap motor-motor bergaya chopper," kata Heret, Kamis lalu.

Elders kini memiliki sebuah gerai yang terletak di Lippo Mall Kemang. Di toko ini, aneka produk Elders, seperti kaus, kemeja, celana, sarung tangan, hingga aksesori sepeda motor, dijual kepada pasar yang lebih luas. "Untuk bertahan, brand custom culture harus bisa memasarkan produknya ke market yang lebih luas," ujar Heret, yang juga menjadi inisiator acara Custom Collaboration.

Kini Elders tengah mencoba membuat produk komponen custom sepeda motor yang diproduksi secara massal. "Setelah helm, kami mencoba memasarkan produk seperti setang motor, spion, dan panel-panel aksesori," ujar Heret. Hal ini, kata Heret, dilakukan karena ia melihat ke depan akan semakin banyak anak muda dan pehobi sepeda motor yang mencoba-coba melakukan kustomisasi pada kuda besi tunggangannya. "Prospeknya sangat bagus."

PRAGA UTAMA | PRIBADI WICAKSONO (YOGYAKARTA)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus