Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sumpah Perang 20 Tahun

27 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESEMBER 2001, tiga bulan setelah Menara Kembar World Trade Center di New York rontok dihantam teroris. Ketika memimpin anak buahnya keluar dari Kabul, panglima puncak Taliban, Mullah Omar, berjanji akan mengubah Afganistan menjadi ladang perang 20 tahun.

”Kami tahu, kami tidak akan mungkin memenangi pertempuran ini dalam hitungan bulan, bahkan tahun, tapi kita akan melihat siapa yang paling lama bertahan,” kata juru bicara Taliban, Yousuf Ahmadi.

Hidup dalam buruan pasukan Amerika dan sekutunya, NATO, Omar tidak ciut nyali. Meski kekuatan personel dan dana mereka tidak sekuat ketika berkuasa, terutama karena tewasnya personel militer mereka dalam jumlah signifikan dalam banyak pertempuran, Taliban masih punya kekuatan militer yang membikin repot militer Amerika. Selain itu, dalam lima tahun terakhir, serangan yang dilancarkan Taliban kian brutal dan mematikan.

Dalam beberapa tahun terakhir, serangan Taliban lebih berpusat di selatan dan timur Afganistan. Namun, belakangan, mereka juga menyebarkan serangan ke seluruh wilayah. Ini pula yang membuat pemerintah pusat tetap memasang pengamanan ekstraketat di Kabul dan sejumlah wilayah di sekitarnya.

Taliban menguasai Afganistan pada pertengahan musim gugur 1994. Pemimpin mereka adalah Mullah Mohammad Omar, ulama yang kehilangan mata kanannya dalam pertempuran melawan pasukan Uni Soviet pada 1980-an.

Target awal Taliban pada saat berkuasa adalah membersihkan sisa-sisa kaum Mujahidin yang berhasil mendepak Soviet dari Afganistan. Mereka bersumpah akan menjaga perdamaian dan keamanan serta akan menerapkan pemerintah berbasis syariah ketika berkuasa.

Afganistan, yang berada dalam cengkeraman ketakutan setelah kaum Mujahidin mengambil alih kekuasaan, segera menyambut gembira kedatangan Taliban.

Pada tahun-tahun awal kekuasaannya, Taliban berhasil meraih simpati lewat kebijakan memberantas korupsi, menegakkan hukum, dan membersihkan jalan-jalan dari aksi kejahatan.

Dari pusat kekuasaannya di Kandahar, Taliban, yang sebagian besar terdiri atas unsur suku Pashtun, kemudian memperluas kekuasaannya ke Provinsi Herat, di perbatasan Iran, pada September 2005.

Setahun kemudian, mereka mengambil alih Kabul dan mendongkel rezim Presiden Burhanuddin Rabbani dan menteri pertahanannya, Ahmed Shah Masood. Pada 1998, kekuasaan Taliban sudah mencakup 90 persen wilayah Afganistan.

Dukungan juga datang dari Pakistan, yang diam-diam memberikan bantuan dan pelatihan militer bagi pasukan Taliban. Apalagi sebagian besar pasukan berdiam di wilayah provinsi perbatasan barat daya dan Baluchistan, yang berdekatan dengan Pakistan.

Saat berkuasa, Taliban lama-kelamaan menampakkan wajah asli pemimpinnya. Mereka menerapkan politik otoriter dan tidak memberikan ruang bagi oposan. Penerapan hukum Islam, seperti hukuman mati di depan umum dan potong tangan bagi pencuri, menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat. Mereka juga melarang siaran televisi, musik, dan film. Rezim Taliban juga melarang anak gadis masuk sekolah dan memaksa perempuan tinggal di rumah.

Polisi Taliban yang bertugas mengawasi keamanan acap berlaku sewenang-wenang dan membuat nama Taliban makin buruk di dunia internasional.

Namun puncak persoalan sebenarnya adalah masuknya pengaruh Usamah bin Ladin dan gerakan Al-Qaidah ke dalam tubuh Taliban. Serangan 11 September 2001 membuat Taliban terlibat kesulitan karena dianggap memberikan tempat tumbuh dan berlindung Al-Qaidah. Mereka juga menolak menyerahkan Bin Ladin, yang berujung pada kegusaran Amerika, yang mengerahkan serangan misil ke kamp Bin Ladin di selatan Afganistan.

Dukungan Taliban ini berbuah sanksi dan penolakan terhadap Afganistan di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka juga harus menghadapi isolasi politik dan diplomasi internasional.

Ketika pasukan Amerika menginvasi Afganistan pada Oktober 2001, cuma butuh dua bulan untuk mendongkel Taliban. Mullah Omar dan kaki tangannya berhasil menyelamatkan diri dan hidup dalam persembunyian hingga kini.

Selama hampir sewindu kehilangan kekuasaan di Afganistan, Taliban mengalami banyak persoalan dalam tubuhnya. Sebagian bergabung dengan pemerintah Afganistan kini, dan ini membuat pandangan mereka lebih moderat. Sebagian berhenti karena ingin hidup damai, meninggalkan senjata dan kekerasan. Namun masalah yang paling besar adalah banyaknya personel Taliban yang tewas dalam pertempuran.

Toh, seperti sumpah Mullah Omar, perang gerilya adalah jalan satu-satunya untuk bertahan. Siapa yang paling lama bertahan, dialah yang akan berkuasa. Ini berarti pemerintah Amerika dan sekutunya harus punya napas panjang dan dana tak sedikit untuk memenangi pertempuran ini.

Angela (AFP, AP, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus