Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bukan musiknya yang cacat

Pemusik cacat, mulai dari cacat buta, polio. ada yang sebenarnya berbakat besar & umumnya tak mau dikomersialkan. banyak anak-anak orang mampu. (ms)

9 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TATIK Tito, bekas penyiar televisi itu, sejak tahun lalu rajin mengumpulkan orang cacat -- khususnya yang bisa main musik. Untuk menghibur orang-orang yang makan siang di Presiden Hotel, Jakarta, tiap tengah bulan. Tujuannya bagus juga cari dana bagi para cacat. Hasilnya setiap main bisa terkumpul Rp 350 - Rp 400 ribu - yang lantas disalurkan ke Badan Pembina Koordinasi Kegiatan Sosial (BPKKS) pimpinan Ny. A.EI. Nasution. "Mula-mula," ujar Tatik, "acara itu sulit diterima. Tak mengenakkan makan mereka. Tapi akhirnya pengunjung yang teharu itu tergugah merogoh kocek. "Bahkan sering ada yang mengeluarkan cek khusus," lanjut Direktris PT Tatra Enterprise itu. Mungkin karena, betapa pun, bukan musiknya yang cacat. Pemusik cacat -- apa lagi yang 'hanya' buta -- memang bukan hal baru. Tersohor di manca negara misalnya Stevie Wonder, Ray Charles, Jose Feliciano. Di Bandung juga ada: Supeno, pemain kecapi dan harmonika yang terkenal dengan nama 'Braga Stone' itu. Grup Tongkat Putih dari Jakarta juga sudah lama dikenal, bahkan sudah punya kaset rekaman. Di televisi, Zulkarnaen beberapa kali muncul dengan gitar dan mulutnya yang mahir memainkan berbaai bunyi. Tapi grup 'Rock 'n Chair' dari Wisma Cheshire, Cilandak, Jakarta Selatan bukan golongan mereka. Dipimpin Jajang Lukman, 27 tahun, grup itu didirikan 1977. Beranggotakan -- di samping Jajang pada gitar bas --Cliff Hutagalung (gitar melodi), Sunarto (dram -- tanpa pedal kaki), Suparno (organ. Penyanyinya Wiwik Jainun -- pernah jadi Bintang Radio Padang. Pemusik Kursi Roda Mereka adalah 'pemusik kursi roda'. Sejak muncul di televisi 1979, diminta main di banyak tempat -- antara lain Hotel Hilton dan Presiden llotel. "Kami menyukai musik jazz," tutur Jajang --selain lagu-lagu ciptaan sendiri. Sekali main mereka dibayar Rp 50 100 ribu. Jumlah 40% dari situ dipakai untuk kas dan pemeliharaan peralatan -- yang disediakan Rehabilitasi Center Rumah Sakit Fatmawati. Jajang sendiri karyawan RS Fatmawati. Juga Sunarto dan Suparno. Sedang Cliff di Bangkok Bank. Wiwik di Hotel Hilton. Dan semuanya menginap di Wisma Cheshire, yang disediakan RS Fatmawati bagi para cacat berkursi roda. Seperti grup Rock 'n Chair, grup Orff Gamelan Therapi Musik YPAC (Yayasan Pemeliharaan Anak Cacat) juga pernah diajak main Tatik Tito. Bedanya, yan ini beranotakan kanak-kanak. Instrumen yang digunakan adalah yang disebut 'gamelan Barat'. Grup itu didirikan 1967 oleh Ruth Bardach, anggota staf Kedubes AS. Orff adalah nama keluarga Karel Orff, penemu therapi musik melalui instrumen pentatonis yang mirip kolintan itu. Alat-alat itu semula hanya pinjaman Goethe Institut. YPAC kemudian mengumpulkan uang selama setahun 1978 - 1979. Kini, dengan Rp 6 juta grup itu sudah memiliki alat-alat terse but, berjumlah 17 buah: melodi rhythm dan bas. Juga satu set dram seharga Rp 1 juta. Semuanya merk Suzuki "Itu satu-satunya di Indonesia," ujar Andik Sumarno, 28 tahun. Ia pelatih musik anak-anak itu -- bersama'Slamet Riadi, 30 tahun. Di Gedung YPAC di Jalan Hang Lekiu Kebayoran Baru itu, ditampung anak-anak hampir dari semua bentuk cacat. Tentu saja tak semuanya bisa diajari main. Latihan menabuh -- meski diakui Andik berguna untuk merangsang aktivitas organ tubuh yang kurang sempurna -- juga tak bisa diselenggarakan tiap hari. "Takut mengganggu pelajaran lainnya," katanya. Musik Polio Grup mereka, kata Andik, "sama sekali tidak komersial." Orangtua mereka tak akan rela anaknya dikomersialkan. Bisa dimaklumi, hampir semuanya berasal dari keluarga mampu. Di Rehabilitasi Centrum Sala -- yang merupakan RC (untuk orang dewasa) pertama di negeri ini, dan jadi Pusat YPAC -- ternyata tak ada grup musik. Tapi di YPAC-nya, yang merawat anak-anak, ada. Yakni Grup Musik Kolintang SLBD YPAC Surakarta, dipimpin Darmadi, 46 tahun, guru P & K yang diperbantukan di sana. Grup itu didirikan 1977, beranggotakan 15 orang, terdiri dari anak 12-18 tahun. "Bagi anak-anak di sini, musik sangat diperlukan," kata Darmadi yang telah menulis buku tentang musik sebagai therapi. Semua anggotanya penderita sakit polio. Rata-rata cacat kakinya, sehingga kedua tangannya masih bisa bekerja. Pipil, yang memegang alto mengatakan, "Main kulintang merupakan kegemaran pokok." Sementara, menurut Turiyah, penyanyinya, "bernyanyi bisa menghilangkan susah." Dl YPAC Surabaya, yang ikut grup kulintang, karawitan dan paduan suara juga anak-anak polio. Selebihnya, para penderita kerusakan otak, memang "mustahil dapat dibina dalam bidang musik," seperti kata Yusak, guru musiknya. Menurut rencana, bulan ini akan dibentuk sebuah grup band. Kulintang nya sendiri beberapa kali nongol di TVRI Stasiun Surabaya. Dan berkat penampilan tersebut, mengalir banyak sumbangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus