Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Naik - Turun Sutanto

Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Polisi Sutanto me-ngejar janji: memberantas pembalakan liar, narkotik dan obat-obat terlarang, judi, korupsi, terorisme, dan memperbaiki citra korps. Tempo melakukan penilaian kinerja jenderal bintang empat itu setelah setahun menjadi Tri Brata I.

28 Agustus 2006 | 00.00 WIB

head0927.jpg
Perbesar
head0927.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adegan ini berlangsung di Mesuji—sebuah titik di jalan raya lintas timur Lampung—Palembang:

Sabtu, dua pekan lalu. Di tengah lalu-lintas yang padat, seorang lelaki melompat dari mobil. Pening kepalanya menyaksikan para sopir truk yang takzim menyalami seorang polisi di kelokan jalan.

Rupanya ada razia ganja dan pe-ngecekan muatan. Setiap sopir di-minta melambatkan kendaraan. Terjadi percakapan singkat. Lalu mereka meng-ulurkan tangan, menyalami si po-lisi. Sembari, slup, slup..., lembar Rp 50 ribuan berpindah tangan. ”Razia” -se-lesai....

Pak polisi kemudian mengaso di mobil dinas yang diparkir di tikungan jalan. Saat itulah lelaki yang pening tadi menyergahnya.

Ilham Suhada namanya (nama asli nya kami samarkan—Red.). Bertubuh tegap, berkulit cokelat, dengan garis wajah yang tak mudah digertak. Toh gertakan segera datang. Polisi tikungan memaksa dia ”bersalaman”. Ilham menyahut de-ngan hardikan. Polisi tikungan terpe-rangah, ada sopir berani melawan. Dosis gertakan pun ditingkatkan.

Saat itulah, Ajun Komisaris (Kapten) Ilham Suhada buka kartu. Dalam seketika, tamtama—pangkat terendah dalam Kepolisian RI—pelaku ”razia” tadi, bersikap sempurna.

Dia menghormat lalu berteriak: ”Siap salah, Dan! Habis piket, cari tambahan daripada nganggur!” Ilham menirukan dengan sedih hati ucapan si tamtama di kantor redaksi Tempo, Kamis pekan lalu.

l l l

Ilham Suhada dan Sutanto terpaut jauh dalam hal usia maupun pangkat. Ilham, 30 tahun, ajun komisaris dan pengajar di sebuah lembaga pendidikan Polri. Sutanto, jenderal dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), 56 tahun.

Keduanya baru tiga kali bertemu se-jak Sutanto memimpin Polri. Tapi dua po-lisi dan dua generasi ini dipertautkan oleh hal yang sama: esprit de corps, -sema-ngat membela citra korps yang bersih.

Jenderal Sutanto naik podium Ka-polri pada 8 Juli 2005. Empat hari sebe-lumnya, di hadapan Komisi H-ukum Dewan Perwakilan Rakyat yang meng-ujinya sebagai calon Kepala Polri, dia berjanji membersihkan perjudian, memberantas peredaran narkotik serta obat terlarang. Dia menguraikan tekadnya meng-hentikan pembalakan liar. Dan mengaku siap memerangi terorisme. ”Jangan sampai terorisme terjadi di mana pun,” ujarnya ketika itu. Dia terlihat keras berupaya membersihkan citra polisi, setidak-nya dalam tahun pertamanya sebagai -Kapolri.

Insiden tamtama yang memalak dalam baju seragam polisi di Mesuji ada-lah ceritera lawas dalam Kepolisian In-donesia—kini 60 tahun. Ilham Suhada paham akan hal itu. Sutanto, yang jam terbangnya jauh lebih tinggi, lebih paham lagi.

Maka media massa dan publik menyaksikan satu-dua babak menarik dalam sepak terjang Sutanto sejak Juli 2005. Bak jagoan kungfu, dia bisa menyikat ”rekan seperguruan”. Sejumlah kolega dia masukkan ke tahanan. Penyandang bintang bisa tumbang jika memburamkan brevet polisi: Kapolda Sulawesi Tenggara Brigadir Jende-ral Edhy Soesilo dicopot tiga pekan lalu akibat kasus pelecehan.

Sutanto membuka babak kepemim-pinannya dengan menggertak dunia perjudian. Olok-olok pun terucap di kalang-an bandar dan toke-toke judi. ”Seperti pendekar yang baru turun gunung. Tak kenal Medan dia, bah!” sergah seorang pemain judi di Medan kala itu kepada Tempo.

Tapi ancaman Sutanto mencopot para Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) yang tidak becus membersihkan judi lama-lama membikin ciut nyali para pelaku. Apalagi anak-anak buah Kapolri aktif menggerebek lokasi-lokasi perjudian.

Para bandar pun mulai melempar handuk putih: sejumlah kawasan yang ingar-bingar oleh bisnis judi tiba-tiba senyap. Para toke besar di Jakarta, Me-dan, Batam, memilih tiarap (lihat Ketua Besar pun Banting Setir).

Merangsek dunia judi, harus diakui, adalah pilihan berani. Sebab, sudah jadi rahasia umum, judi menjadi salah satu sumber peti kas kepolisian. Uang meng-alir dalam nama ”dana operasional” bagi unit-unit organisasi di lembaga penyidik itu.

Inspektur Jenderal (Purn) Ronny Lihawa, anggota Komisi Kepolisian Nasional, menuturkan kepada Tempo, ba-nyak perwira yang menentang. Menurut Ronny, me-reka khawatir kegiatan polisi bakal macet tanpa uang ju-di. ”Tapi, setelah setahun, mi-salnya, tak ada Polres yang berhenti gara-gara judi ditutup,” ujarnya.

Dari judi, Sutanto, teman seangkatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Akademi Angkatan Bersenjata RI 1973, bergerak ke narkotik. Pabrik ekstasi nomor tiga di dunia digerebek di daerah Serang, Banten. Polisi aktif menyatroni tempat-tempat hiburan. Razia narkotik digelar hampir setiap malam (lihat infografik ular tangga).

Tongkat Sutanto kemudian menjulur ke hutan belantara yang meriah oleh pembalakan liar—sebagian dibeking oleh polisi. Cukong-cukong kayu gelap mulai ditangkap. Pada April lalu, Sutanto pun bersabda: ”Tidak ada lagi pencurian kayu tahun ini.”

Ada yang menilai, Kapolri terlalu percaya diri dengan janji itu. Karena pembalakan masih terus berlangsung de-ngan jaya hingga laporan ini ditulis. Di Papua. Di Sulawesi, ranah ”baru” yang ranum dalam dunia kayu gelap. Kalimantan? Inilah medan perang terpanas jika Sutanto ingin beradu nyali dengan para cukong kayu gelap.

Selama 2005, polisi menuntaskan 985 kasus pembalakan liar yang melibatkan 1.229 tersangka di seluruh Indonesia. Lebih dari 85 ribu kayu gelondongan dan 27 ribu meter kubik kayu olahan disita. Ada penyitaan 117 unit kapal yang meng-angkut kayu tak sah, 363 truk, 73 alat berat, dan 37 set mesin pemotong kayu.

Dalam dua bulan pertama 2006, me-nurut laporan Sutanto kepada DPR, le-bih dari 500 orang yang terlibat ke-giat-an pembalakan liar ditangkap. Di antara mereka terdapat tiga cukong yang diduga membiayai dan memerintahkan penebangan hutan.

Kegiatan penebangan hutan secara liar adalah kejahatan berskala besar. Menurut organisasi penyelidikan lingkungan hidup yang berbasis di London, EIA, Indonesia kehilangan lahan hutan dengan nilai yang diperkirakan lebih dari US$ 3 miliar atau Rp 27 triliun per tahun.

Aksi Sutanto melawan penebangan liar belakangan menyasar sejumlah anak buahnya. Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, lembaga pengawasan internal Polri, kini sedang meneliti beberapa Kapolda yang dicurigai turut ”bermain kayu”.

Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Inspektur Jenderal Alexius Gordon Mogot, membentuk lima tim satuan tugas untuk menelisik perwira bermasalah itu. Setiap tim terdiri dari tujuh orang, tiga di antaranya berpangkat komisaris besar (kolonel). Menurut sumber Tempo, tiga satuan tugas pembalakan anak buah Gordon kini diterjunkan ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.

Beberapa jenderal dan perwira po-lisi dipangkas karena macam-macam soal. Umpama, Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Komisaris Jenderal Su-yitno Landung. Bawahan Landung, Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, sudah meringkuk di tahanan sejak akhir tahun lalu.

Menurut Gordon, Divisi Profesi dan Pengamanan sejak Juni lalu memeriksa tiga orang perwira tinggi dan belasan perwira menengah. Kasusnya? ”Ada pembalakan liar, pelecehan seksual, sampai korupsi,” katanya.

Bukan berarti rapor Sutanto sepenuhnya gemilang. Dia dinilai belum berhasil di level konseptual selama setahun kepemimpinannya.

Salah satunya datang dari Bambang Widodo Umar, staf pengajar Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia. Menurut Bambang, Sutanto terkesan membangun citra baik polisi hanya dengan mengejar prestasi. ”Padahal,” kata pensiunan kolonel polisi itu, ”perubahan mestinya dibuat secara melembaga.”

Bambang juga melihat Sutanto belum mendapatkan pembantu-pembantu yang bisa diandalkan, karena masih banyak perwira tinggi di lapisan kedua yang merupakan ”orang-orang lama”.

Polisi sekaligus doktor ilmu sosiologi ini menyatakan hanya ada beberapa perwira tinggi yang kini diandalkan Sutanto dalam pembenahan internal. Mi-salnya, Inspektur Pengawasan Umum Komisaris Jenderal Yusuf Manggabarani, Deputi Sumber Daya Manusia Inspektur Jenderal Ahmad Barmawi, dan Irjen Gordon Mogot.

Neta S. Pane, Ketua Presidium Indonesia Police Watch, sependapat dengan Bambang. Menurut dia, banyak jende-ral di markas besar Polri sebenarnya tak menyukai Sutanto. Mereka adalah perwira yang diangkat oleh Jenderal Da’i Bachtiar, Kepala Polri sebelumnya.

Sutanto punya jawaban sendiri. -”Nggak adalah itu! Siapa (yang tak suka)?” ujarnya kepada Tempo, usai aca-ra pertemuan dengan para purna-wirawan TNI dan Polri, Sabtu siang pekan lalu di Bogor.

Tapi Pane punya alasan sendiri. Me-nurut dia, Sutanto terlalu lama di-singkirkan dari lingkaran elite kepolisi-an. Akibatnya, mantan Kepala Polda Jawa Timur itu tidak mengetahui peta ter-akhir kekuatan perwira. Jadilah Su-tanto lone ranger dari Jalan Trunojoyo—Markas Besar Kepolisian RI.

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Paulus Purwoko, menyatakan ke-pada Tempo, tidak ada pertentangan an-tara ”orang-orang Da’i” dan Sutanto di Markas Besar Polri. Dia mengakui, si-kap tegas Sutanto memang membuat ba-nyak pihak gerah. Tapi dia menganggap hal itu risiko wajar pemimpin yang ber-upaya mengubah budaya lama yang te-lah berakar di tubuh Polri. ”Kapolri memilih mengambil risiko itu,” katanya.

Pembenahan Sutanto juga dinilai ba-ru menjangkau level-level atas. Ronny Lihawa mencontohkan, preman jalan-an yang sama sekali belum disentuh. ”Ini kejahat-an kecil tapi amat mengganggu rasa aman masyarakat,” kata staf ahli Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia yang dipimpin mantan Kapolri Jende-ral Da’i Bachtiar itu. Neta S. Pane berpendapat serupa. Dia menunjuk aksi pu-ngutan liar di semua wilayah yang tetap marak.

Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Nursjahbani Katjasung-kana, yang hadir dalam diskusi internal mengenai citra polisi di Tempo pada pekan lalu, meminta Sutanto lebih cekat-an dalam membenahi organisasi Polri. Misalnya, dengan mempercepat pelibat-an masyarakat dalam membantu tugas polisi melalui program Perpolisian Masyarakat (Polmas).

Rapor Sutanto dalam setahun yang disampaikan sejumlah tokoh masyarakat kepada Tempo tampaknya berkisar di antara nilai biru dan merah. Kapolri sendiri menolak ketika wartawan ming-guan ini menawarkan kepadanya untuk menilai kinerjanya dalam skala 0 sampai 10. Ia menjawab dengan tenang, ”Saya tidak bisa menilai diri saya sen-diri. Biarkan masyarakat yang melakukannya.”

Nursjahbani, salah satu anggota masyarakat yang banyak mengamati sepak terjang Sutanto, memberikan angka biru untuk beberapa langkah Kapolri. Tapi, secara keseluruhan, pengacara sekaligus anggota Partai Kebangkitan Bangsa itu memutuskan: ”Pada tahun pertama, nilai Pak Tanto masih merah.”

Budi Setyarso, Purnomo G. Ridho, Ramidi, Wahyu Dhyatmika, Erwin Daryanto, Sutarto, HYK

Jejak Setahun

2005

8 Juli Sutanto menerima jabatan Kepala Polri dari pendahulunya, Jenderal Da’i Bachtiar.

21 Juli Kepala Polres Tebing Tinggi, Sumatera Utara, dicopot karena kasus penyelundupan gula.

29 Juli Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan melaporkan 15 rekening perwira tinggi Polri bermasalah. Kasus ini tak diselesaikan.

1 Oktober Bom meledak di Jimbaran dan Kuta, Bali.

9 November Tim Antiteror Polri menembak mati Dr Azahari di Batu, Jawa Timur. Warga negara Malaysia ini menjadi tersangka berbagai pengeboman di Indonesia.

27 Oktober Mantan Direktur Ekonomi Khusus Brigadir Jenderal Samuel Ismoko ditahan karena dituduh menerima suap dalam kasus pembobolan BNI.

11 November Polisi menggerebek pabrik ekstasi yang disebut-sebut terbesar ketiga sedunia di Serang, Banten.

25 November Kapolri Jenderal Sutanto menyetujui permintaan mundur Komisaris Jenderal Binarto, Inspektur Pengawasan Umum Markas Besar Polri, yang dianggap terlibat pelepasan tersangka penyelundupan solar di Jawa Timur.

22 Desember Mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Suyitno Landung ditahan sebagai tersangka kasus suap dalam kasus pembobolan Bank BNI.

2006

6 Februari Empat tersangka korupsi dana bantuan likuiditas Bank Indonesia diantarkan ke kantor Presiden—populer dengan sebutan ”skandal karpet merah koruptor”.

8 Februari Intel polisi diketahui mematai-matai aktivitas anggota DPR penggagas hak angket impor beras.

29 April Dua tersangka teroris, Jabir dan Abdul Hadi, tewas saat digerebek di tempat tinggal mereka di Wonosobo, Jawa Tengah.

22 Mei Prajogo Pangestu dan Henry Pribadi, dua taipan yang berseteru, dipertemukan di Markas Besar Polri di Jakarta Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus