Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boleh saja Jenderal Sutanto mengangkat kapak perang ter-hadap berbagai kenakalan polisi. Sejak diangkat menjadi Kepala Polri tahun lalu, ia berjanji akan melenyapkan pembalakan liar hutan, judi, narkoba, dan jaringan teroris. Masyarakat sudah tentu senang. Telah sekian lama mereka menanti pember-sihan penyakit kronis yang menggerogoti citra polisi itu. Tapi, sabar dulu, janji seperti ini bisa terlaksana atau bakal manis di bibir saja?
Mari kita bedah dulu tubuh polisi. Dari sekitar 300 ribu personel baju cokelat ini, komposisinya terbesar ada di bagian prajurit yang mengisi hampir 30 persen dari total anggota kepolisian, lalu terjadi penggelembungan lagi pada tingkat perwira menengah. Mereka saling berebut untuk jadi perwira tinggi yang kini dipegang hanya oleh 147 orang.
Komposisi yang tak imbang ini membuat persaingan menjadi tak sehat. Di-tambah lagi, di dalam tubuh polisi masih bercokol sistem yang tak genah. Me-nurut pensiunan polisi, Komisaris Be-sar Dr Bambang Widodo Umar, cara yang dipakai dalam memilih anggota kepolisian untuk menduduki jabatan yang tepat di kepolisian masih sangat lemah. "Ibaratnya, orang lewat depan jendela bisa dipanggil untuk menduduki jabatan penting," katanya dalam diskusi tentang kinerja polisi di Tempo, Kamis pekan lalu.
Bambang melihat kelemahan itu akibat tidak adanya merit system di kepolisian. Harusnya, setiap polisi memiliki rapor lengkap sejak dia masuk kepolisi-an hingga saat ini. Akibatnya, ketika seseorang akan menduduki jabatan tertentu hanya dilihat dalam rentang waktu yang sangat pendek. "Jadi, naik-turun atau kesalahan yang pernah dibuat orang itu bisa hilang begitu saja," kata pengajar Program Pascasarjana Universitas Indonesia ini.
Yang lebih parah adalah kualitas sumber daya manusianya. Menurut Bambang yang 12 tahun karier polisinya dihabiskan untuk mengajar, tiga aspek terpenting penilaian dalam pendidikan polisi berturut-turut adalah mental, fisik, dan terakhir inteligensi. "Inteligensi memang bukan faktor penting menjadi anggota polisi," kata Bambang.
Lalu, bagaimana institusi bisa men-cetak polisi yang bisa berdialog dengan masyarakat bila Mabes Polri menetapkan batas nilai ebtanas murni (NEM) lulusan sekolah menengah umum yang bisa mendaftar menjadi polisi hanya angka merah 5,5. Syarat itu pun sulit dipenuhi oleh para pelamar, khususnya di luar Pulau Jawa.
Sebut saja patokan nilai yang dipa-kai Polda Sulawesi Tenggara tahun lalu. Saat itu Polda berniat merekrut 300 calon bintara. Ternyata, hanya 30 orang yang mendaftar hingga hari terakhir. Tak tertarikkah pemuda-pemuda menjadi polisi? Amat tertarik. Sayang, NEM mereka tidak mencukupi. Maka, batas itu pun diturunkan menjadi 4,5. Jumlah pelamar masih belum banyak. "Akhir-nya, kami menurunkan lagi hingga angka 3,5," kata Kepala Biro Personel Polda Sulawesi Tenggara, Komisaris Besar Didie S., saat itu. Barulah jumlah pen-daftar membludak hingga 1.500 orang.
Nilai superminim itu juga berlaku di Polda Kalimantan Barat tahun ini. Menurut Kapolda Kalimantan Barat Brigjen Polisi Nanan Sukarna, pemangkasan itu memberi kesempatan kepada putra daerah agar bisa menjadi polisi. Diskriminasi nilai dilakukan antara putra daerah dan pendatang. Pendatang yang mendaftar tetap dikenakan batas minimal sesuai dengan standar Mabes Polri, yaitu 5,5. "Kalau tidak dibedakan, nanti hanya diisi lulusan dari Pulau Jawa," kata Nanan.
Tentu, penurunan batas NEM ini tak membuat polisi jadi gembira. Karena itu, untuk mempertahankan mutu, Polda di Pulau Jawa tetap memakai batasan minimal nilai rata-rata 5,5. Menurut Kepala Subbidang Publikasi Polda Jatim, Ajun Komisaris Besar Polisi Hartoyo, nilai ebtanas hanya prasyarat selain sejumlah seleksi lainnya.
Beberapa aturan main yang lebih ke-tat pun, menurut Hartoyo, sudah dite-rapkan Polda sejak tahun lalu, misalnya panitia seleksi akan menelusuri catatan mental dan ideologi calon bintara sejak dari tingkat kelurahan atau desa asal pendaftar hingga ke kepolisian sektor setempat. Seleksi selanjutnya meliputi pemeriksaan administrasi, tes psikologi, prestasi akademik, dan kesehatan. "Kalau ada satu item yang tidak memenuhi syarat, ya gugur," kata Hartoyo.
Polda juga melibatkan pihak di luar kepolisian untuk ikut dalam proses seleksi, sehingga mempersempit kemungkin-an adanya penyuapan. Salah satunya, perguruan tinggi yang diminta untuk membuat naskah tes seleksi bersama Polda Jawa Timur. "Jika ada yang me-ngetahui pendaftar yang nyogok petugas, mereka bisa merekomendasikan untuk langsung membatalkan pendaf-tarannya," ujar Hartoyo.
Kepala Biro Personel Polda Jawa Ti-mur, Komisaris Besar Syafaruddin, me-ngatakan tidak akan memberi toleransi kepada polisi yang membantu meluluskan calon bintara. Dia mengaku telah memecat dua anggota polisi karena meminta uang kepada keluarga korban.
Psikolog pendidikan Seto Mulyadi menilai batasan nilai calon anggota polisi terlalu rendah. "Kalau sistem penilaian ebtanas benar, harusnya nilai minimal yang bisa diterima 6," katanya. Sebab, siswa yang nilainya 3,5, selain kesulitan memahami perintah yang bersifat abstrak, juga sangat terbatas kemampuannya dalam memahami angka.
Kritik seperti ini tak membuat polisi berdiam diri saja. Di berbagai level pangkat, mereka membuat sekolah dan kursus untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Namun, menurut Bambang, jenjang pendidikan kepolisian lebih banyak dipakai personel itu untuk memenuhi syarat meraih pang-kat. "Mereka lebih banyak mengejar ijazah, bukan ilmunya," kata Bambang.
Dengan pelbagai kelemahan itu, Jenderal Sutanto perlu melakukan pembenahan keras agar gerbong polisi bisa mengikuti iramanya.
Agung Rulianto, Hary Daya, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo