Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - PT Freeport Indonesia merencanakan tambang bawah tanah (Grasberg Block Cave) mulai menyumbang produksi pada tahun depan. Perusahaan menargetkan kontribusinya akan mencapai 240 ribu ton per hari. Tahun lalu, produksi bijih Freeport hanya mencapai 140 ribu ton per hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun kenaikan produksi akan dibayangi risiko kenaikan limbah pertambangan (tailings). Menurut Direktur Center for Indonesia Resources Strategic Studies Budi Santoso, hal tersebut tak dapat dielakkan. "Kenaikan produksi pasti akan berbuntut pada kenaikan volume limbah," ujar Budi kepada Tempo, Selasa, 8 Mei 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi mengatakan kandungan tembaga yang diperoleh dari bijih yang dikeruk biasanya hanya 2-3 persen per ton. Jika dihitung berbasis asumsi tersebut, produksi tambang bawah tanah Freeport akan mencapai sekitar 233 ribu ton per hari. Saat ini, produksi limbah dari tambang Grasberg mencapai 240 ribu ton per hari. Juru bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama, enggan berkomentar terkait dengan taksiran tersebut.
Budi mendesak Freeport segera memperbarui izin lingkungan untuk memperbaiki pengelolaan limbah. Saat ini, limbah Freeport dari tambang Grasberg dialiri melalui Sungai Aghawagon ke Sungai Otomona, lalu berakhir di kolam penampungan Sungai Ajkwa (Ajkwa Deposition Area/ADA). Menurut dia, kolam saat ini tidak akan kuat menampung lonjakan debit limbah.
Freeport sebenarnya sudah mengajukan perubahan pengelolaan limbah dalam proposal Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup pada 2015. Setahun berselang, perusahaan juga mengajukan perubahan analisis dampak mengenai lingkungan hidup (Amdal).
Namun, sebelum izin terbit, Freeport malah menambah luas kolam dari 230 ke 450 kilometer persegi pada 2015. Freeport juga memundurkan titik penataan limbah sejauh 2 kilometer.
Aksi ilegal ini dipermasalahkan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu yang terbit tahun lalu. Auditor juga menemukan limbah Freeport meluber hingga mencemari daratan, sungai, muara, hingga laut. Kejadian tersebut, menurut BPK, salah satunya disebabkan oleh kolam penampungan yang tidak layak.
Kepala Eksekutif Freeport McMoran, induk usaha Freeport Indonesia, menyatakan perusahaan terpaksa memperluas kolam karena izin dari pemerintah tidak kunjung terbit. "Banyak perkara yang termuat dalam laporan itu sudah kami ajukan dalam proposal revisi DELH," tutur Adkerson dalam suratnya ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, April lalu. Dia juga berkukuh skema penampungan limbah tidak mungkin diubah hingga 2041.
Ketua Tim Pengendalian Penyelesaian Permasalahan Lingkungan Freeport Indonesia Ilyas Asaad meminta Freeport tidak ngotot. Saat ini, pemerintah tengah mencari opsi terbaik dalam pengelolaan limbah melalui penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Studi bakal rampung pada Juli mendatang.
"Seharusnya ada jalan keluar," katanya kepada Tempo, pekan lalu.