POERNOMO REKSOPRODJO POER, begitu ia biasa dipanggil, berangkat ke CekoSlowakia menjelang meletusnya G30S/PKI. Di Praha, ia belajar di sebuah universitas pertanian, dan menggondol gelar sarjana pada tahun 1971. Tujuh tahun kemudian, ia mendapat gelar doktor di bidang ekonomi pertanian. Poernomo Reksoprodjo, kini 48 tahun, kemudian menikah dengan wanita Ceko. Ia dikaruniai dua putra. Tapi, kemudian mereka bercerai, dan kini Poer tinggal seatap dengan seorang wanita Belanda, di Nijmegen, Belanda. Ia bekerja di sebuah pabrik industri pertanian di sana. Dua tahun silam, lelaki kelahiran Yogyakarta ini memperoleh kewarganegaraan Belanda. Ketika ditemui TEMPO di rumahnya, yang berkebun luas itu, Poer tak membantah daftar Rude Kravo itu. Di situ, namanya tercantum dengan nomor induk StB 36011 dan 16729. Nama sandinya Rexo. Bagaimana ia sampai terlibat StB? Menurut Poer, setahun setelah meraih gelar doktor, ia bekerja sebagai sopir pribadi Duta Besar Burma di Praha. Memang di Praha, gaji sopir termasuk tinggi, tapi dengan gelar yang disandangnya, pekerjaan yang dipilihnya ini menjadi tanda tanya. Kok menjadi sopir? Kepada TEMPO, Poer cuma angkat bahu. Hanya, ia ceritakan bahwa anak duta besar itu adalah bekas teman kuliahnya. "Duta besar itu minta izin ke kementerian luar negeri Ceko-Slowakia, untuk mempekerjakan saya," katanya. Tak berapa lama bekerja, menurut Poer, ia didatangi seorang anggota polisi rahasia dari kementerian luar negeri. Ia diajak minum ke sebuah cafe. Dengan sangat halus petugas itu menanyakan banyak hal, misalnya, tentang apa yang dilihatnya dan apa saja yang didengarnya selama berdekat-dekat dengan dubes. Dari sini hubungan pun berlanjut. Secara terus-menerus petugas itu -- ternyata dari StB -- menghubungi Poer. Malah kalau seorang petugas dipindah-tugaskan, akan ada petugas lain yang menggantikan. Ia pernah dibawa ke sebuah rumah kosong dan ditanyai macam-macam oleh seseorang yang ternyata komandan StB. Ia tahu bahwa ia punya nomer registrasi StB dan punya nama samaran Rexo. Tapi, ia tak pernah disuruh menandatangani dokumen apa pun, tak pernah digaji atau diberi uang. Suatu kali, agen StB itu bilang akan memindahkannya ke Kedutaan Besar Indonesia. "Maksudnya jelas, ia ingin saya memata-matai kegiatan Kedutaan Besar Indonesia di Praha," Kata Poer. Tapi rupanya, upaya itu gagal. Karena itu, ia pun tetap saja menjadi sopir duta besar Birma. Menurut Poer, ia tak pernah dimintai informasi yang berhubungan dengan Indonesia. "Yang mereka perlukan adalah informasi yang mengancam keamanan negara Ceko-Slowakia, termasuk masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya," katanya. Poer juga mengaku tak pernah memberikan informasi yang memuaskan. "Saya kan cuma sopir, yang tak punya hubungan langsung dengan sumber informasi yang dibutuhkan. Kalau dubes itu bertemu orang, saya tak tahu apa yang mereka bicarakan. Saya kan cuma nunggu di mobil," katanya. Ia mengaku pernah bertemu dubes Indonesia di sana. Ketika itu Poer mengantar majikannya. Tapi katanya, "Saya cuma bisa bilang selamat siang sama Pak Dubes. Apakah informasi begitu penting?" Entahlah, yang pasti setelah tiga tahun Poer menjadi "sopir" dubes itu, suatu hari sang dubes ketimpa bala. StB membongkar penyelundupan orang-orang Ceko ke luar negeri. Pelaku utamanya adalah anaknya Dubes Burma itu. Rupanya, orang Ceko yang ingin menghirup udara bebas di Barat menggunakan jasa anak dubes itu. Mereka dimasukkan ke dalam koper diplomatik, karena itu kebal pemeriksaan, lalu diseberangkan ke Jerman Barat. Menurut Poer kepada TEMPO, untuk tiap kepala yang berhasil diselundupkan, putra sang dubes dapat imbalan US# 10.000. Karena kesalahan ini, anak dubes itu dihukum penjara empat tahun di Praha. Apakah terbongkarnya kasus ini oleh hasil kerja Poer? Poer membantah. Justru setelah peristiwa itu, katanya, ia didamprat StB karena dianggap kebobolan. Tapi anehnya, menurut pengakuan Poer pula, setelah peristiwa itu, ia semakin sering disatroni StB. Ia ditugasi mencari bukti-bukti di dalam kamar putra dubes. Itu ia lakukan. Tapi, entah mengapa pula, tiga paspor Burma yang ia temukan di kamar itu, menurut pengakuannya, ia serahkan kepada staf kedutaan besar Burma, bukannya kepada agen StB yang memesannya. Dan Ijazah temannya itu disimpannya. Untuk StB, dia hanya menyampaikan laporan-laporan yang tak berarti. Karena itu, lanjut Poer, ia didepak StB. Lalu, setelah peristiwa itu, Poer pindah kerja di sebuah koperasi pertanian. Aneh lagi, kini ia kembali dihubungi StB. Ia diminta menyelidiki orang asing yang datang ke koperasi itu. Menurut Poer, hubungannya dengan StB bisa ia putuskan, setelah ia pindah ke Belanda, 1985. Soalnya, lama-kelamaan ia kesal, didesak terus oleh StB agar menjadi warga negara Ceko-Slowakia, serta menentang pemerintah Indonesia. "Soal menentang atau tidak menentang Pemerintah, itu kan urusan saya sendiri," kata Poer, yang mengaku seorang Soekarnois, tapi bukan komunis. Karena terus didesak, akhirnya ia terbang ke Belanda. Didi Suwandhi "Demi Allah, itu fitnah. Kurang ajar sekali mereka berani mendiskreditkan nama saya," ujar Didi Suwandhi, 58 tahun, salah seorang staf senior di Departemen Pekerjaan Umum (PU). Ketika TEMPO menemui Didi di rumahnya di Jakarta, dan menanyakan soal namanya yang tercantum dalam daftar agen StB, yang disiarkan Rude Kravo, Didi terpekur sejenak, lalu meledaklah marahnya itu. Rude Kravo menuliskan nama lengkap dan tanggal lahir Didi Suwandhi. Nomor registrasinya ada tiga: 16614, 23039, dan 561401. Dan nama sandinya adalah Javan. Kenapa ia marah? Sejak kecil Didi mengaku mendapat pendidikan agama yang baik. Ayahnya, Kepala Desa Sindanglaut, Cirebon, yang dikenal sebagai santri yang dermawan. "Tak logis kalau saya tertarik komunisme yang tak bertuhan itu," kata Didi yang sudah haji ini. Didi kulias setahun di Universitas Indonesia. Lalu datang kesempatan belajar ke luar negeri. Maka, April 1960, Didi bersama 11 calon mahasiswa lain berangkat dengan kapal laut ke Ceko-Slowakia. Ia memilih jurusan teknik sipil di Ceske Vysoke Uceni Technich, sebuah sekolah tinggi teknik di Praha. Setelah lulus, 1966, ia menikah dengan gadis Praha, Dagmar namanya. Kedua anaknya, semua perempuan, lahir di Praha. Didi pernah bekerja di NATO, organisasi pertahanan Atlantik Utara. Tugasnya, membangun perumahan pejabat-pejabat tinggi NATO di Jerman Barat. Gajinya kala itu 4.000 mark sebulan. Selama ia bekerja di NATO -- musuh Pakta Warsawa, kelompok pertahanan blok komunis -- ia mengaku tak pernah dihubungi StB. Kepada TEMPO ia mengungkapkan niatnya untuk mencari "surat bersih StB" ke Praha. Didi merasa ia dibenci komunis, karena keluarga istrinya termasuk pembangkang. Kakak iparnya lari ke Kanada, lalu Dagmar kawin dengan orang bukan Ceko yang bekerja di NATO pula. Dua hal itu menyebabkan mertuanya disingkirkan dari rumah yang telah dihuninya 40 tahun. Ia dipindahkan di sebuah flat di lantai sembilan dengan lift yang sering ngadat. Adik iparnya tak boleh bekerja. Bahkan, Didi sendiri mengaku pernah diinterogasi StB, gara-gara ia memberi uang kepada kakak iparnya yang melarikan diri ke Kanada itu. Didi kembali ke Indonesia tahun 1975 dan bekerja di Departemen PU. Ia termasuk salah satu konseptor perumahan nasional (Perumnas). Jabatan terakhirnya di sana adalah Kepala Cabang III Jabotabek. Sekarang, ia menjabat Staf Biro Sarana Perusahaan PU, membawahkan proyek-proyek BUMN. Mas Koeswandi Wasito Seperti Didi Suwandhi, Mas Koeswandi Wasito juga mengaku tak tahu menahu soal StB. "Untuk mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di kampus saja tak sempat karena kuliah padat. Apalagi ikut-ikutan jadi agen segala," ujar ahli fisika nuklir yang kini bekerja di BPPT itu. Koeswandi betul-betul kaget ketika tahu bahwa namanya tercantum di Rude Kravo. Nomor registrasinya 12310 dan 231088, dan nama samarannya, Mas. Ia menduga-duga, StB mencantumkan namanya, karena ia pernah bekerja di pusat reaktor nuklir yang strategis. Pada 1965, ia memang bekerja di pusat reaktor nuklir di Kota Rez, Ceko-Slowakia. Dia merupakan orang Indonesia satu-satunya yang pernah bekerja di tempat gawat itu. Memang, kata Koes lagi, StB banyak mengincar intelektual untuk membantu kegiatan matamata. Apalagi, ia pernah menjadi redaktur majalah Persatuan Pelajar Indonesia, yang sering ke luar Ceko. Maka, kloplah syaratnya untuk direkrut menjadi mata-mata. "Tapi, jangan mengira saya pernah dihubungi StB untuk dijadikan agen. Tak pernah itu," ujarnya. Koeswandi kemudian mengajak TEMPO main logika: kalau ia terlibat sebagai agen, untuk apa ia kembali ke Indonesia? "Anda tahu banyak orang Indonesia yang memilih tinggal di Ceko? Di Jakarta saya punya apa? Dan jangan lupa, situasi dalam negeri saat saya kembali ke Indonesia kacau sekali. Toh, saya memaksa pulang," katanya. Koeswandi pulang ke Indonesia, dua bulan setelah peristiwa G30S/PKI, dengan memboyong istrinya, wanita asal Praha, dan dua anaknya. Lelaki kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur, itu mendapat beasiswa ke Ceko-Slawakia pada tahun 1958. Di sana, ia belajar fisika nuklir, ilmu dasar untuk membuat bom atom itu. Sebetulnya, menurut Koewandi, ia bisa masuk sekolah itu dengan susah payah. Soalnya, selain harus berotak "nuklir", pemerintah Ceko-Slowakia sendiri tak memberi kesempatan orang asing belajar nuklir di negerinya, kecuali orang Rusia. Tapi Koes ngotot. "Kalau tak diizinkan, saya memilih pulang ke Indonesia," kisahnya. Entah bagaimana, akhirnya izin itu ke luar. ...... Alfie Goerojo Nymburk, kota kecil 40 kilometer di sebelah timur Praha. Di kota itu R. Alfie D. Goerojo tinggal bersama istrinya dan dua orang anak laki-lakinya. Sebagai insinyur teknik mesin, lulusan Vysoke Ocemi Technika di Brno, Alfie kini bekerja di bengkel terbesar kereta api di kota itu. Pria kelahiran Seram 53 tahun yang lalu itu, meski bukan warga negara Ceko, tapi tak lagi berpaspor Indonesia. Ia meninggalkan Indonesia dan mulai kuliah di Ceko, 1964, dan menyelesaikannya pada 1969. Setahun sebelum menggondol gelar insinyur, bekas ketua Persatuan Pelajar Indonesia Cabang Brno ini menikah dengan gadis Ceko. Alfie terkejut ketika TEMPO menanyakan soal namanya yang tercantum di Rude Kravo sebagai agen StB. Apalagi namanya di situ dilengkapi dengan nomor induk 332506, dan nama samaran Sanger. Ia mengaku tak mengerti kenapa namanya terdaftar sebagai StB. Karena, ia merasa tak pernah dihubungi organisasi intel itu. Kemudian Alfie bercerita bahwa ia dan beberapa temannya pernah mengikuti festival pemuda di Berlin. Sepulang dari Berlin mereka diminta menulis semacam makalah yang ternyata tak pernah dimuat di koran. "Saya tak tahu makalah itu dikemanakan. Apakah itu menjadi laporan kepada StB, saya tak tahu," katanya. Setijarto Mangunkusumo Ia tampak tak terlalu kaget namanya dihubungkan dengan StB. "Ada benarnya, ada tidaknya," ujar pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur, yang kini bermukim di Praha itu. Setijarto Mangunkusumo, 54 tahun, yang menginjakkan kaki di bumi Ceko pada tahun 1960 itu, mengaku pernah dipanggil ke kantor polisi pada 1971. Itu bukan panggilan pertama bagi dokter ahli bedah umum lulusan Universitas Karel, Praha. Berkalikali Setijarto, yang tak lagi memiliki paspor Indonesia itu, diminta datang ke kantor polisi untuk urusan orangorang asing di Praha. "Anda tahu, Anda dapat tinggal di Ceko-Slowakia karena kebaikan hati kami. Kami minta Anda bisa bekerja sama dengan kami," kata Setijarto menirukan ucapan polisi itu. Setijarto diminta melaporkan orang-orang yang memperjualbelikan obat terlarang atau opium. Merasa tak punya pilihan, ahli bedah yang memilih praktek sebagai dokter umum ini pun mengiyakan saja. Keadaan pria beristri wanita Ceko itu tampaknya memang tak menguntungkan. Sebagai mahasiswa Indonesia yang belajar dengan beasiswa pemerintah Ceko, Setijarto mengaku tak bisa kembali ke Indonesia karena peristiwa G30S/PKI. Sebenarnya, menurut Setijarto, meskipun di mulut ia mengatakan ya, perasaan hatinya amat berat untuk melakukannya. Karena itu, menurut Setijarto, ia tak pernah memberi laporan apa pun. Padahal, setiap bulan ia harus apel ke kantor polisi. Meski demikian, setahun kemudian Setijarto mengaku didatangi dua orang berpakaian preman. Mereka mengundang Setijarto ke kantor mereka yang ternyata adalah kantor dinas militer. Kembali ia diminta bekerja sama, tapi dengan tugas yang lebih berat: mengawasi bangunan militer dalam negeri dan melaporkan orangorang yang berminat pada pangkalan Rusia di Mlada Boleslav, tak jauh dari tempat kerjanya. Karena harus melakukan kontra spionase, dan harus melapor setiap minggu pula, Setijarto mengaku menolak permintaan yang hanya menambah beban kerjanya itu. Pada 1974 ia didatangi lagi oleh petugas militer itu. Pada pertemuan kali ini Setijarto dihubungi dengan nama samaran yang mereka berikan kepadanya: Mohamed dan Jawa. Ia berjumpa dengan seorang perwira yang ditaksir berpangkat kolonel. Ia dipaksa mendatangi teman-temannya sendiri dan melaporkannya ke sang kolonel. Setijarto menolak. "Akhirnya saya bilang, kalau mau usir saya, usir saja. Tapi, berilah saya surat dengan alasan apa saja. Saya akan ke Barat," cerita Setijarto kepada TEMPO. Setelah itu, Setijarto mengaku masih didatangi seorang penghubung pada 1976. Kali ini, ternyata si penghubung datang hanya untuk minta obat. "Jadi, praktis saya tak melaporkan apaapa," katanya. Karena itu, ia menolak disebut sebagai agen StB, sekalipun di Rude Kravo ditulis bahwa ia punya empat nomor registrasi: 36851, 685101, 14762, dan 476288.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini