Pemerintah akhirnya menunda pelaksanaan UULLAJ hingga 17 September 1993. UULLAJ itu perlu direvisi? SELASA sering dikaitkan orang-orang tua sebagai hari ketidakberuntungan. Tapi, Selasa pekan lalu, paling tidak bagi pengusaha angkutan umum maupun sopirsopir mereka, justru hari melegakan. Betapa tidak. Hari itu Presiden Soeharto menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) sehubungan dengan penundaan pelaksanaan UndangUndang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ). Tak aneh bila sore itu, lebihlebih esoknya, keputusan Pemerintah tersebut merupakan topik utama pembicaraan sopirsopir angkutan umum -- mulai dari pengemudi bajaj sampai sopir bus kota. Ucok, sopir Kopaja jurusan LebakbuluswSenen, misalnya, seusai membaca berita penundaan UULLAJ di Pos Kota Rabu pekan silam langsung berkomentar, "Ternyata suara awak didengar juga oleh Pak Harto." Sejak diumumkannya penundaan pelaksanaan UULLAJ, yang semula akan diberlakukan mulai 17 September depan, tak terlihat lagi pria yang sering membagi-bagikan selebaran berisi imbauan mogok kepada sopir-sopir bus Kopaja di halte dekat terminal Lebakbulus, Jakarta Selatan, seperti beberapa hari sebelumnya. Setelah selebaran disampaikan kepada sopir bersangkutan, pria itu (kabarnya "orang dalam" Kopaja) bahkan masih menambahkan pesan lisan, "Mohon partisipasi Anda untuk ikut mogok total," katanya. Hampir semua sopir menjawab: "Beresss...." Aksi mogok itu, menurut seorang sopir Kopaja yang tak mau disebutkan namanya, sedianya akan dilakukan pada 1 September depan. Pada hari pemogokan yang direncanakan tersebut, bertepatan dengan hari pembukaan KTT NonBlok di Balai Sidang Senayan, Jakarta, semua armada Kopaja tak keluar pool. Akibatnya, penumpang akan menumpuk di halte-halte, lalu marah, lalu mengadakan unjuk rasa. Bila semua berjalan sesuai denmgan rencana, aksi itu diharapkan perencananya mempermalukan Pemerintah di mata kepala-kepala negara peserta KTT NonBlok, sehingga akan ada "tekanan politis" untuk membatalkan UULLAJ tersebut. Sejak disahkan Maret lalu, UULLAJ itu memang disambut was-was di berbagai penjuru Tanah Air. Di Yogyakarta, misalnya, pertengahan Juli silam sekitar 30 mahasiswa Universitas Janabadra melakukan protes ke DPRD agar wakil-wakil rakyat itu mengimbau rekan-rekan mereka di DPR membatalkan UULLAJ. Di Salatiga, sopir-sopir angkutan umum bahkan sudah melakukan aksi mogok selama beberapa menit, tapi tak sampai mengganggu kegiatan rutin warga kota. Kini gelombang keresahan itu sudah reda. "Presiden sangat memperhatikan pandangan-pandangan, keluhan-keluhan, dan perasaan masyarakat," kata Menteri Sekretaris Negara Moerdiono di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa pekan lalu, mengenai dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 1992 tentang penundaan UULLAJ. Di samping itu, tambahnya, Kepala Negara menilai aparatur Pemerintah dan masyarakat belum siap melaksanakan undang-undang tersebut. Untuk itu Pemerintah memberi waktu sampai 17 September 1993. Keputusan Pemerintah mengeluarkan Perpu itu, bagi orang-orang di luar pemerintahan -- yang sejak awal tak sependapat dengan beberapa materi UULLAJ -- merupakan kesempatan untuk memperjuangkan lagi ide-ide mereka. "Penundaan satu tahun tidak ada artinya. Sebenarnya masyarakat menginginkan agar undang-undang itu direvisi," kata Zaim Saidi, Sekretaris Eksekutif Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. "Penundaan tanpa revisi hanyalah menunda pemogokan." Pasal mana dari UULLAJ yang perlu direvisi? Loebby Loqman, dosen hukum pidana pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, melihat sejumlah materi UULLAJ bertentangan dengan asas umum hukum pidana, seperti soal denda. Dalam rancangan KUHP baru, misalnya, ada penggolongan denda, yakni kategori I sampai IV. Untuk kasus korupsi, yang termasuk kategori IV, misalnya, disebutkan denda tertinggi Rp 30 juta. "UULLAJ belum mencantumkan ketentuan seperti itu," kata Loebby. Di mata Menteri Kehakiman Ismail Saleh, penundaan pelaksanaan UULLAJ merupakan kesempatan untuk membuat Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan undang-undang lalu lintas yang baru tersebut. Ia menegaskan, tak akan ada revisi dari UULLAJ itu. Bagi sebagian anggota DPR, Presiden sebetulnya tak perlu mengeluarkan Perpu hanya untuk UULLAJ. "Perpu hanya boleh lahir dalam keadaan genting. Masalah yang dihadapi UULLAJ sekarang ini terlalu kecil. Jadi tidak perlu diselesaikan dengan Perpu," kata seorang anggota DPR, yang entah kenapa takut ditulis namanya. Penilaian mengenai situasi antara aparat Pemerintah dan anggota DPR memang bisa beda. Keberatan sebagian wakil-wakil rakyat itu diduga karena Perpu mengandung makna "mengesampingkan" DPR sebagai badan yang ikut dalam pembentukan undang-undang. Tapi Perpu Nomor 1 Tahun 1992 itu masih perlu dibahas di DPR sebelum berlaku efektif. Menurut Muhammad Buang, Wakil Ketua Panitia Khusus yang dulu membahas rancangan UULLAJ, Perpu itu diperkirakan akan sampai ke DPR minggu ini. "Bila DPR tidak setuju, Perpu itu harus segera dicabut," tulis I Gde Pantja Astawa, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, di Kompas minggu lalu. Priyono B. Sumbogo, Andi Reza Rohadian, dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini