Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Total nilai iklan dari 200 lebih perusahaan besar yang mencabut iklannya dari Facebook dan Instagram mencapai US$ 50 miliar.
Bagian dari kampanye #StopHateforProfit yang menggugat pembiaran ujaran kebencian di Facebook.
Facebook kerap dituduh lamban merespons pengaduan soal ujaran kebencian.
MULANYA, sejumlah bekas karyawan Facebook melayangkan surat terbuka yang dimuat di surat kabar New York Times, 3 Juni lalu. Mereka menggugat sikap diam pemimpin perusahaan media sosial tersebut terhadap komentar Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang dituduh rasis. Dalam anggapan mereka, keputusan CEO Facebook Mark Zuckerberg dan para petinggi lain yang membiarkan komentar itu merupakan sikap “pengecut”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami sangat kecewa melihat sesuatu yang kami bangun dan kami yakini akan membuat dunia menjadi lebih baik telah kehilangan arah begitu jauh,” tulis orang-orang yang dulu paling awal bekerja di Facebook tersebut. Mereka antara lain Meredith Chin, mantan manajer komunikasi; Adam Conner, bekas manajer kebijakan publik; Natalie Ponte, eks manajer pemasaran; dan Jon Warman, bekas insinyur perangkat lunak di perusahaan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mei lalu, unjuk rasa besar meletus di seantero Negeri Abang Sam sebagai protes atas kekerasan polisi yang membuat pria kulit hitam, George Floyd, tewas di Minneapolis, Negara Bagian Minnesota. Dalam beberapa kasus, demonstrasi itu berujung pada perusakan dan penjarahan. Trump kemudian berteriak di Twitter: “(Saya) baru saja berbicara dengan Gubernur (Minnesota) Tim Walz dan bilang, militer ada di pihaknya. Sesulit apa pun akan kami kendalikan, tapi ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai.”
Trump dan Gedung Putih belakangan menjelaskan bahwa komentar itu tak dimaksudkan sebagai ancaman. Berbagai media, termasuk CNN dan NPR, justru menyatakan ungkapan “ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai” sebagai ungkapan rasis karena berhubungan dengan tindakan polisi kulit putih terhadap kaum kulit hitam dalam sejarah Amerika. Pada 1967, misalnya, kepala kepolisian Miami, Walter Headley, menggunakan ungkapan itu dalam dengar pendapat soal kejahatan di Florida dan memicu kemarahan para pemimpin gerakan hak-hak sipil.
Twitter menempelkan label cek fakta pada beberapa cuitan Trump, termasuk unggahan kontroversial itu. Sedangkan di Facebook komentar serupa dari Trump dibiarkan begitu saja. Inilah yang memicu kritik masyarakat terhadap Facebook dan Zuckerberg.
Awalnya, Zuckerberg membela pembiaran tersebut. “Saya telah berpikir keras sepanjang hari bagaimana menanggapi cuitan dan komentar presiden. Secara pribadi, saya bereaksi sangat negatif terhadap retorika yang memecah belah dan ‘mengompori’ semacam itu,” tulis jutawan kelahiran New York pada 1984 tersebut di Facebook. “Tapi saya bereaksi tidak hanya dalam kapasitas pribadi saya, tapi juga sebagai pemimpin sebuah institusi yang berkomitmen terhadap kebebasan berekspresi.” Belakangan, Zuckerberg berjanji akan meninjau kebijakan perusahaannya.
Platform dengan 2,6 miliar pengguna aktif per bulan itu sudah lama dikritik karena aturannya yang longgar dan tidak transparan soal apa yang boleh dan tidak boleh ditulis pengguna. Editor media sosial itu juga dituduh lamban merespons pengaduan publik. Akibatnya, antara lain, Facebook dianggap berkontribusi dalam kekerasan fisik terhadap kaum minoritas muslim di Sri Lanka pada 2018. Belakangan, Facebook memohon maaf atas kasus tersebut dan berupaya memperbaiki kebijakan konten dan algoritmanya. Baru-baru ini, perusahaan itu juga menggelontorkan dana besar untuk membentuk Dewan Pengawas Facebook, dewan independen yang menilai sejauh mana kontennya sesuai dengan norma hak-hak asasi manusia internasional.
Namun respons tersebut dinilai tidak cukup. Pada 17 Juni lalu, sejumlah organisasi nirlaba pemantau hak-hak sipil, seperti Liga Anti-Penistaan (ADL) dan Perhimpunan Nasional untuk Kemajuan Orang Kulit Berwarna (NAACP), berhimpun dan melansir #StopHateforProfit. Ini kampanye yang mendorong perusahaan-perusahaan mencabut iklannya dari Facebook dan Instagram.
Dalam beberapa hari, sejumlah perusahaan besar di Amerika Serikat, seperti Ford, Coca-Cola, Unilever, Honda, Verizon, The Hershey Company, dan The North Face, bergabung dalam gerakan itu. Beberapa perusahaan lain, seperti Adidas dan Clorox, tidak menyatakan dukungan, tapi menangguhkan iklannya. Starbucks, pengiklan keenam terbesar Facebook, juga akan menghentikan semua iklannya.
“Konten online yang rasis, diskriminatif, dan mengandung kebencian tak punya tempat di dalam merek kami atau di masyarakat,” tutur produsen sepatu Adidas dalam pernyataannya, Senin, 29 Juni lalu. Adidas dan anak usahanya, Reebok, menghentikan iklan mereka di Facebook dan Instagram secara global sepanjang Juli.
Coca-Cola menghentikan semua iklan media sosialnya, bukan cuma di Facebook, selama sekurang-kurangnya sebulan. “Kami akan menggunakan waktu ini untuk menilai kembali standar dan kebijakan iklan kami guna menentukan apakah revisi perlu dilakukan secara internal, dan apa lagi yang dapat kami harapkan dari mitra media sosial kami untuk membersihkan platformnya dari isi yang mengandung ujaran kebencian, kekerasan, dan hal yang tak pantas,” demikian pernyataan perusahaan itu pada Jumat, 26 Juni lalu.
Carolyn Everson, Wakil Presiden Pemasaran Global Facebook, menghormati keputusan perusahaan-perusahaan tersebut. “Kami sangat menghormati keputusan setiap merek dan tetap berfokus pada upaya penting untuk menghapus ujaran kebencian dan menyediakan ruang bagi suara kritis. Pembicaraan kami dengan bagian pemasaran dan organisasi hak-hak sipil adalah bagaimana kita secara bersama-sama dapat menjadi kekuatan yang mendorong kebaikan,” katanya kepada CNN.
World Federation of Advertisers, organisasi yang mewakili 90 persen pemasar iklan dunia, merilis hasil survei terhadap pemimpin 58 perusahaan yang nilai total iklan globalnya mencapai US$ 92 miliar atau sekitar Rp 1.327 triliun pada Rabu, 1 Juli lalu. Hasilnya, sepertiga atau 31 persen responden menyatakan sudah atau sangat mungkin menangguhkan iklannya di media sosial karena masalah ujaran kebencian. Sisanya masih menimbang untuk menangguhkan.
Nancy Smith, presiden konsultan periklanan Analytic Partners, menyatakan banyak perusahaan berpartisipasi dalam kampanye itu demi “keselamatan merek”. Bila kliennya berhenti beriklan di Facebook dan Instagram, Smith menyarankan mereka mengalihkan dana. “Merelokasi dananya ke media sosial lain yang potensial, penerbit digital lain, platform lain seperti (layanan video) Hulu,” ucapnya kepada CNN.
Hingga Jumat, 3 Juli lalu, hampir sepertiga atau lebih dari 200 perusahaan pengiklan terbesar di Facebook telah bergabung dalam #StopHateforProfit. Total nilai iklan mereka diperkirakan mencapai US$ 50 miliar. Angka ini lebih dari dua pertiga pendapatan Facebook dari iklan, yang sekitar US$ 70 miliar per tahun. Menurut Laura Martin, analis industri Needham & Co, kue iklan terbanyak datang dari perusahaan besar. Bagi Facebook, Laura mengungkapkan, saat ini merek-merek ternama itu menjadi sangat penting karena pengiklan yang lebih kecil sudah mengurangi atau berhenti beriklan akibat pandemi Covid-19.
Merespons situasi ini, Facebook menghubungi para pengiklan melalui telepon dan surat elektronik. Facebook menjelaskan usaha serius mereka dalam menangani “defisit kepercayaan” dan menjanjikan adanya perubahan. Pada 26 Juni lalu, Zuckerberg sendiri yang berpidato di depan publik tentang rencana perusahaannya melarang iklan yang mengandung ujaran kebencian dan memasang label pada komentar kontroversial para politikus. Tapi ia tak menyinggung sedikit pun soal kampanye boikot iklan.
IWAN KURNIAWAN (CNN, The Guardian, BBC)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo