Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Naptu 25, gawat!

Dr. suwandi dalam ceramahnya di yogya menyimpulkan pasangan yang mempunyai jumlah naptu pasaran 13, 14 & 25 paling sering mengalami perselisihan. hasil studi adaptasi ilmiah dengan masyarakat tradisioanal.

14 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH tangga Anda pecah? Jangan terburu nafsu menuding si dia yang salah. Coba usut, siapa tahu, cuma lantaran harinya yang salah. Pengalaman khas Jawa ini diuraikan oleh dr. Suwandi, M.P.H., 46 tahun, dalam ceramah rutin yang diselenggarakan Javanologi, Yogyakarta, akhir Maret lalu. Dosen FK-UGM itu menampilkan serangkaian hasil penelitiannya yang sampai pada kesimpulan: Pasangan perkawinan yang mempunyai jumlah angka naptu pasaran 13 dan 14 merupakan yang mengalami banyak perselisihan. Ini sama nasibnya dengan mereka yang memiliki angka naptu hari kelahiran dan pasaran 25. "Mereka paling sering bertengkar, bahkan sebagian besar diakhiri dengan perceraian," ujar psikiater kondang di Kota Gudeg itu. Supaya jelas bagi pembaca umum, yang dimaksud dengan naptu (orang Jawa menyebutnya neptu) adalah jumlah atau besarnya angka yang diberikan pada hari maupun pada pasarnya. Menurut primbon Betaljemur Adammakna yang dihimpun Soemodidjojo, nama hari diberi angka begini: Senin, naptunya 4, Selasa 3, Rabu 7, Kamis 8, Jumat 6, Sabtu 9, Minggu 5. Lalu, berdasarkan pasaran, Pahing 9, Pon 7, Wage 4, Kliwon 8, dan Legi 5. Kitab primbon tadi mengungkapkan, naptu kelahiran ataupun naptu pasaran ada kaitannya dengan watak seseorang. Dan bila sampai dua watak yang berbeda bergabung, kata Suwandi, itulah yang menyebabkan perselisihan. "Tapi, ini baru dugaan. Penelitian lebih dalam belum saya lakukan," ujarnya. Suwandi terpikat mengamati pola kepercayaan itu karena, dalam pengalaman sebagai anggota BP-4 DIY, ia sering mendengar alasan naptu disebut-sebut oleh pasangan cekcok yang datang di kantornya. Dan selama delapan bulan -- sejak awal 1988 melakukan studi di Kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, dan Kota Madya Yogyakarta, ia menemukan 70 kasus. Studi kasus yang dilakukan itu adalah suatu langkah adaptasi ilmiah pada pola pikir masyarakat tradisional. "Ternyata, perhitungan orang Jawa tentang naptu ada benarnya juga," kata Suwandi. Kendati demikian, ia tetap berpendapat bahwa masalah jodoh adalah urusan Tuhan. Karena itu, ia menyarankan: Kalau dihadapkan pada banyak pilihan, lebih baik memilih yang tidak mengandung risiko. Menanggapi penelitian Suwandi, budayawan Karkono Partokusumo menyatakan, hasil itu tidak mustahil. Cuma diingatkan, "Jangan sampai kepercayaan terhadap primbon melebihi kepercayaan kepada kehendak Tuhan Yang Maha Esa." Dan soal naptu, menurut Karkono, masih dijadikan pedoman untuk memulai suatu pekerjaan, yang bukan melulu monopoli masyarakat tradisional Jawa di pedesaan. Baik itu untuk membangun rumah, urusan jodoh, sampai pada rencana perjalanan jauh. Juga orang intelek kota masih percaya. Ada buktinya. "Saya sering menerima surat berisi pertanyaan soal primbon dari para cendekiawan yang hidup di kota," ungkap Ketua Javanologi itu, tanpa menyebut nama si intelek tadi. Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus