Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tragedi di balai erasmus

Seminar tentang wanita berjudul "pandangan pria terhadap peran ganda wanita" di jakarta. ajang beda pendapat antara pria & wanita. sikap lunak menawarkan peran ganda, cuma jadi bulan-bulanan pria.

14 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"INI tragedi," kata Nursyah bani Katjasungkana mengekspresikan rasa kaget. Pengacara wanita terkemuka itu seperti tak percaya mendengar pernyataan para pria dalam seminar sehari tentang wanita yang diselenggarakan majalah Femina bersama Kelompok Studi Wanita Universitas Indonesia, Sabtu pekan lalu di Balai Erasmus, Jakarta. Dalam forum diskusi itu, hampir semua pria yang hadir bicara terus terang: tidak setuju kalau wanita bekerja di luar rumah. Pandangan stereotip, yang percaya sebaiknya wanita itu tinggal di rumah mengurusi rumah tangga, justru terdengar keras dalam forum. Dan itu di luar dugaan sekitar 200 peserta diskusi yang dihadiri 80% wanita. Padahal, penyelenggara seminar -- yang juga wanita -- berusaha bersikap lunak. Dengan judul seminar "Pandangan Pria Terhadap Peran Ganda Wanita" memang bukanlah mencari legitimasi bagi keinginan wanita yang bekerja di luar rumah, namun sekaligus memasalahkan peran wanita di lingkungan rumah tangga. Adakah peran ganda tersebut bisa diterima oleh pria? Makalah Dr. T.O. Ihromi, S.H. rupanya mencerminkan pandangan yang lunak. Kata guru besar wanita dari Fakultas Hukum UI ini, dalam masyarakat kita pandangan yang percaya bahwa peran utama wanita mengurus rumah tangga dan membimbing anak itu masih dominan. Ia mengutarakan sebuah hasil studi yang dilakukannya menunjukkan bahkan kaum remaja wanita masih percaya terhadap peran wanita terbatas hanya untuk menjadi istri dan ibu yang baik. Agaknya, Ihromi masih enggan menyoroti "peran tunggal" wanita yang bekerja di luar rumah. "Wanita kita, apakah bekerja atau tidak, cenderung mengutamakan kepentingan suami dan anak," katanya. Karena sikap luwes ini menurut Ihromi, tidak akan terdapat perubahan sikap yang bermakna dalam pandangan pria tentang peran ganda wanita. Artinya, ia yakin para suami tidak berkeberatan istrinya bekerja di luar rumah karena umumnya toh tidak akan meninggalkan tanggung jawab mengurusi rumah tangga. Benar? "Saya nggak begitu setuju dengan peran ganda wanita," kata Arswendo Atmowiloto. Pemimpin redaksi mingguan tabloid Monitor ini salah seorang pria yang diminta mengutarakan pandangan. "Nilai-nilai apa sih yang dikejar dalam peran ganda wanita?" ujarnya. Sastrawan ini malah merasa bahagia karena istrinya memutuskan tak bekerja di luar rumah. Kendati mengakui terkadang wanita harus berperan ganda, Arswendo masih percaya pada mitos, legenda, dan kenyataan: wanita akhirnya akan tetap dituntut mendampingi suami, mengurusi bayi, anak-anak, anjing, kucing, di samping mengandung dan meneteki anak. Arswendo barangkali bergurau. "Sebagian besar tanggung jawab keluarga terletak di pundak wanita," kata Dr. F.G Winarno. Ahli pangan dari Institut Pertanian Bogor yang ikut dalam seminar itu berpendapat pendidikan anak-anak akan terbengkalai kalau wanita bekerja di luar rumah. Sedangkan besarnya penghasilan wanita dari bekerja tidak bisa dibandingkan dengan kemuliaannya membesarkan anak. "Makin besar gajinya, ibu-ibu itu makin banyak keluyuran," ujarnya. "Lalu bagaimana mungkin seorang ibu yang jenuh dengan persoalan kantor masih bisa berkomunikasi dengan keluarga?" Reaksi keras terhadap komentar para pria itu muncul dari Nani Yamin. Menurut tokoh pembela hak-hak wanita ini, soal wanita yang bekerja tak bisa hanya diukur dari tugas dan kewajibannya. Keputusan ini selayaknya dilihat juga dari keinginan mereka. Wanita juga ingin bisa menentukan apakah ia mau bekerja atau tidak, dan ini adalah hak wanita. Sedangkan kedudukan serta kewajiban di luar dan di dalam rumah antara pria dan wanita sama. "Rumah tangga itu bukan rumah tangga bapak atau rumah tangga ibu, tapi rumah tangga bersama. Jadi, jelas tugas membereskan rumah tangga merupakan tugas bersama pula," kata Nani. Dalam pada itu, muncul pandangan Dr. Sarlito Wirawan Sarwono: masalah wanita bekerja merupakan bagian dari gerakan sosial memperjuangkan kepentingan mereka. Dan belakangan ini, gerakan semacam itu bermunculan dalam masyarakat kita. "Sebenarnya, apa yang mereka cari?" tanya ahli psikologi sosial itu. Menurut Sarlito, sekarang sudah tidak ada lagi hambatan bagi wanita untuk melakukan apa saja. "Mau kerja, mau karier, mau kawin, mau apa, silakan. Sekarang terserah pada perempuannya sendiri, jangan cuma bisa ngomong doang, tetapi tidak ada tindakan nyata," katanya. Dan sejauh mana terbukanya peluang dan tak ada lagi hambatan bagi wanita untuk bekerja? "Wanita belum memiliki kebebasan memilih ," komentar Yati Sugarda, juga salah seorang peserta seminar. Menurut eksekutif wanita ini, masalah wanita bekerja tidak terletak pada kesempatan kerja yang kini telah terbuka, melainkan pada sikap pria. "Sedangkan dalam hatinya, para suami itu tetap menolak istri mereka bekerja," katanya. "Barangkali itu bukan salah pria," tangkis Sarlito. Karena awalnya terjadi perbedaan fisik dan hasrat biologis, maka tersusunlah selama berabad-abad pembagian peran seksual, sistem kekerabatan dan kebudayaan yang melebihkan lelaki daripada perempuan. Karena itu. menurut Sarlito lagi, laki-laki lalu memandang "perbedaan" tersebut memang sudah harus begitu. Pandangan seperti yang dikemukakan Sarlito itulah yang membuat gerakan feminisme mencetuskan "Revolusi Wanita" beberapa dekade lalu. "Kesadaran wanita yang berkompromi dengan tata nilai pada citra pria tidak akan mampu mengubah kebudayaan," kata feminis Naomi Weisstein. Dan forum di Balai Erasmus hari itu sebuah bukti bahwa sikap lunak menawarkan peran ganda akhirnya cuma jadi bulan-bulanan para pria saja. Agaknya, memang sebuah tragedi. Jim Supangkat dan Sugrahetty Dyan K.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus