Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ZAMBRY Abdul Kadir belum genap dua minggu menikmati kursi Menteri Besar Perak, Malaysia. Sumpah yang ia ucapkan di depan Sultan Perak, Azlan Syah, juga masih ia ingat. Tapi tiba-tiba Dewan Undangan Negeri Perak—ini semacam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Perak—menjatuhkan skors padanya Rabu pekan lalu.
Sivakumar Varatharaju Naidu, juru bicara Dewan Undangan Negeri Perak, mengumumkan Zambry diskors tak boleh menghadiri sidang Dewan selama 18 bulan. Enam menterinya juga diskors selama 12 bulan. Urusan sanksi ini benar-benar gawat karena akan membuat Zambry kesulitan menjalankan pemerintahan negara bagian di Malaysia itu.
Sivakumar adalah anggota Partai Tindakan Demokratik (DAP), yang berkoalisi dengan oposisi yang dipimpin Anwar Ibrahim. Ia mengatakan Zambry telah lalai memberikan penjelasan kepada Komite Hak dan Keistimewaan soal tuduhan merendahkan Dewan. Tuduhan yang dialamatkan ke Zambry itu dilaporkan salah satu anggota Dewan dari Partai Tindakan Demokratik, Wong Kah Woh. Menurut Wong, penunjukan Zambry sebagai menteri besar melanggar konstitusi dan mengabaikan peran Dewan.
Tersengat oleh keputusan itu, Zambry tentu saja berang. Anggota Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) ini mengatakan skors itu menunjukkan Sivakumar ”tak menghargai kekuasaan Sultan Perak.” Ahmad Zahid Hamidi, Wakil Ketua Barisan Nasional, koalisi partai yang menyokong Zambry, juga berkomentar, ”Mereka durhaka terhadap Sultan, yang punya kuasa menunjuk menteri besar.”
Sengkarut politik di Negara Bagian Perak ini bermula dari ulah Nasarudin Hashim, yang ”loncat pagar” dari Barisan Nasional ke Partai Keadilan Rakyat pada 25 Januari lalu. Partai Keadilan Rakyat merupakan pilar utama koalisi Pakatan Rakyat, lawan politik Barisan Nasional. Menteri Besar Perak saat itu, Mohammad Nizar Jamaluddin, yang didukung koalisi Pakatan Rakyat, bahkan mengatakan ada beberapa orang lagi yang akan menyusul langkah Nasarudin.
Nasarudin ternyata begitu cepat berbalik arah. Setelah bertemu dengan Wakil Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak, dia berubah pikiran. ”Mulai saat ini, saya kembali ke Barisan Nasional dan UMNO,” katanya awal Februari lalu.
Langkah Nasarudin angkat kaki dari Pakatan diikuti tiga politikus Partai Keadilan Rakyat dan DAP. Berbeda dengan Nasarudin, Mohd. Osman Mohd. Jailu, Jamaluddin Mohd. Radzi, dan Hee Yit Foong memilih tak bergabung dalam koalisi, tapi independen. Ketiganya juga mengumumkan sikap setelah bertemu dengan Najib, yang juga Wakil Ketua Barisan Nasional. Kendati tak bergabung dengan Barisan, secara politik ketiganya akan menyokong lawan politik Pakatan tersebut.
Perimbangan politik di Dewan Undangan pun berubah total. Pakatan semula menguasai 31 kursi di Dewan, sedangkan Barisan hanya punya 28 kursi, tapi sekarang posisi berbalik. Pakatan tak lagi mayoritas di Dewan. Kursi Menteri Besar Nizar Jamaluddin goyah. Nizar mengusulkan ke Sultan Azlan supaya membekukan Dewan dan mempercepat pemilihan umum. Tapi rupanya Sultan punya pertimbangan lain. Dia mencopot Nizar dan memilih Zambry sebagai pengganti.
Pakatan sendiri tak segera melempar handuk putih. Mereka menggugat penunjukan Zambry ke pengadilan tinggi. ”Menyerah, tak akan, tak akan sedikit pun,” ujar Nizar. Meski sudah keluar dari rumah dinas menteri dan mengembalikan mobil negara, dia tak akan melunak. Ke mana-mana Nizar tetap menyebut dirinya menteri besar.
Karpal Singh, Ketua Umum Partai Tindakan Demokratik, bahkan berniat menggugat Sultan ke pengadilan. Sultan, kata dia, tak sepatutnya menunjuk menteri baru saat pejabat lama belum mengundurkan diri. Niat Karpal ini memancing keributan. Pemuda UMNO menuntut Karpal meminta maaf. ”Saya tak melakukan kesalahan, jadi tak akan minta maaf,” kata Karpal.
Kini, setelah Sivakumar ”menyerang balik” Barisan Nasional, belum jelas siapa yang berada di atas angin menjadi penguasa satu-satunya di Bangunan Perak Darul Ridzuan, kantor Menteri Besar Perak. Salah seorang anggota Pakatan malah menilai Sivakumar salah langkah. Menurut dia, tindakan itu bertentangan dengan kebijakan Pakatan, yang berniat menggunakan jalur konstitusional. ”Saya sangat kaget. Saya tak tahu siapa yang menasihati dia. Kami sekarang terjebak dengan perangkap yang kami buat sendiri,” ujarnya.
Sapto Pradityo (New Straits Times, Bernama, Star Malaysia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo