Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Joko Widodo mencopot pejabat Pertamina.
Berawal dari keluhan asosiasi kepada tim Luhut tentang tingginya penggunaan barang impor di proyek pemerintah dan BUMN.
Pertamina menegaskan pengadaan pipa baja selama ini mengutakan produk dalam negeri.
GRUP percakapan di layanan pesan instan WhatsApp yang berisi sejumlah pelaku industri besi dan baja riuh pada awal Februari lalu. Seorang eksekutif pabrik baja bercerita, beberapa waktu sebelumnya, ada peringatan dari pejabat Pertamina yang tidak mau proyeknya tertunda gara-gara pemaksaan penggunaan produk dalam negeri. Seorang pengusaha lain, juga anggota grup itu, mengungkapkan hasil studi bahwa pasokan besi dan baja dalam negeri tak beranjak naik meski permintaan terus melonjak lima tahun terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa hari kemudian, keriuhan terjadi ketika beredar kabar bahwa Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir membongkar susunan direksi dan Dewan Komisaris PT Pertamina (Persero) dalam rapat umum pemegang saham (RUPS), 5 Februari lalu. Perombakan juga dilakukan terhadap jajaran manajemen anak usaha Pertamina. Salah satu yang dicopot adalah Ignatius Tallulembang. Posisi Lette—begitu Ignatius Tallulembang biasa dipanggil—sebagai Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional diisi Djoko Priyono. Lette adalah pejabat Pertamina yang diperbincangkan di grup WhatsApp tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar pencopotan Lette ini mulai gamblang ketika Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan membeberkan bahwa seorang pejabat perusahaan negara telah membuat Presiden Joko Widodo geram. “Ada pejabat tinggi Pertamina itu kemarin dipecat Presiden langsung,” ucap Luhut dalam Rapat Koordinasi Nasional Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi 2021 pada 9 Maret lalu.
Menurut Luhut, Jokowi kesal karena si pejabat tidak bisa mengikuti regulasi penggunaan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dalam pengadaan pipa perusahaan. “Bikin pipa. Pertamina itu ngawurnya minta ampun. Masih impor pipa, padahal bisa dibuat di Indonesia. Bagaimana itu?” ujarnya. Luhut adalah Ketua Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) yang secara berkala melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi tim kepada Presiden.
Beberapa hari sebelumnya, Jokowi sebenarnya sudah membicarakan kekesalannya dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional Himpunan Pengusaha Muda Indonesia 2021, 5 Maret lalu. Ia menyinggung pengadaan pipa proyek yang terus didatangkan dari luar negeri. Padahal, kata Jokowi, Indonesia sudah dapat memproduksinya. “Pipa sudah bisa produksi banyak, masih impor, untuk apa itu? Dipakai di proyek pemerintah, proyek BUMN. Saya ngomong, tidak boleh!” tuturnya. “Kalau bisa dikunci itu, bisa menaikkan permintaan (lokal) yang tidak kecil, gede banget.”
Rupanya, Jokowi menindaklanjuti laporan Tim Nasional P3DN. Wakil Ketua Kelompok Kerja Pemantauan Tim Nasional P3DN Bobby Gafur Umar mengungkapkan, timnya menemukan banyak proyek pemerintah dan perusahaan negara yang menggunakan produk impor. Bukan hanya pipa, seperti yang ditemukan di Pertamina, yang diimpor, tapi juga pompa dan alat konstruksi lain. Dia menyayangkan tingginya angka impor ketika tingkat utilisasi pabrik pipa dalam negeri di Batam, Bekasi, dan Surabaya masih rendah. “Pipa yang seharusnya bisa diproduksi di dalam negeri kok masih impor dari Cina dan sebagainya. Itu yang bikin marah. Ya itulah, diambil suatu posisi yang tegas,” ucap Bobby, Rabu, 17 Maret lalu.
Bobby mengatakan pemantauan Tim Nasional P3DN bermula dari data dan informasi dari asosiasi dan para pelaku usaha. Ketua Harian Tim Nasional P3DN, yakni Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kemudian mengeluarkan surat keputusan yang meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengaudit beberapa proyek.
Salah satu yang diperiksa adalah perluasan Kilang Balikpapan, megaproyek milik Pertamina. Audit yang digeber mulai triwulan III 2020 itu menemukan banyak proyek yang tak optimal menggunakan produk lokal.
Menurut Bobby, sejumlah proyek Pertamina sekilas cukup bagus. Kilang Balikpapan, misalnya, dilaporkan memiliki TKDN di atas 40 persen. Tapi, ketika Tim Nasional P3DN membedah lebih lanjut, sebagian besar TKDN yang dimaksudkan berupa jasa dan engineering, yakni sebesar 82 persen. Sedangkan tingkat penggunaan produk dalam negeri hanya 18 persen.
Ekspansi Kilang Balikpapan memang menyertakan dua BUMN lain, yakni PT Rekayasa Industri dan PT Pembangunan Perumahan atau PP (Persero) Tbk. Keduanya menggarap rancangan konstruksi (engineering, procurement, and construction/EPC). Mereka juga bekerja di ruang lingkup pembangunan kilang, baik inside battery limit (IBL) maupun outside battery limit (OSBL), bersama SK Engineering & Construction Co Ltd dan Hyundai Engineering Co Ltd. “Sinergi antar-BUMN ini akan meningkatkan TKDN di mana akan mengutamakan peran serta SDM dan komponen lokal,” tutur juru bicara Pertamina, Adiatma Sardjito, dalam keterangannya, 10 Desember 2018.
Ternyata, Bobby mengungkapkan, Tim Nasional P3DN menemukan proyek ini banyak menggunakan produk Korea. Sedangkan PT Rekayasa Industri dan PT PP terlibat dalam pekerjaan jasa dan konstruksi saja. “Sumber daya manusia, kalau dihitung Indonesia, jadi TKDN,” kata mantan Direktur Utama PT Bakrie & Brothers Tbk.
Kementerian Perindustrian mencatat pipa yang dibutuhkan proyek Pertamina banyak tersedia di dalam negeri dan telah bersertifikat TKDN. Tapi sebagian besar di antaranya belum masuk kategori produk wajib—harus digunakan dalam proyek pemerintah atau perusahaan negara. “Sehingga dalam tender harus bersaing dengan produk impor yang mayoritas lebih murah, meski produk lokal telah mendapat preferensi harga maksimal 25 persen,” ucap Feby Setyo Hariyono, pelaksana tugas Kepala Pusat Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Kementerian Perindustrian, Kamis, 18 Maret lalu.
•••
REVITALISASI Kilang Balikpapan merupakan bagian dari program pengembangan empat infrastruktur pengolahan minyak yang digagas sejak 2013. Kini proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan pembangunan dua fasilitas baru (New Grass Root Refinery) itu dijalankan oleh PT Kilang Pertamina Internasional, subholding PT Pertamina (Persero).
Selain RDMP Balikpapan, ada RDMP Cilacap & Biorefinery, RDMP Balongan Phase 1, 2, dan 3, serta RDMP Plaju & Green Refine (Biorefinery). Adapun fasilitas kilang baru akan dibangun di Tuban, Jawa Timur; dan Bontang, Kalimantan Timur. Pengembangan dilakukan untuk meningkatkan kapasitas produksi bahan bakar minyak Pertamina dari sekitar 1 juta barel menjadi kira-kira 2 juta barel per hari.
Perluasan Kilang Balikpapan akan menambah kapasitas dari 260 ribu menjadi 360 ribu barel per hari. Fasilitas ini digadang-gadang ditujukan untuk mengurangi impor solar. Sebab, produksi solar di kilang ini diperkirakan bertambah 23 persen, yakni 30 ribu barel per hari. Selain itu, kilang ini akan menghasilkan produk lain berupa propilena sebanyak 230 ribu ton per tahun. Pada akhir Januari lalu, Sekretaris Korporat PT Kilang Pertamina Internasional Ifki Sukarya mengatakan kemajuan pembangunan fisik proyek RDMP Kilang Balikpapan telah mencapai 27,99 persen.
RDMP Kilang Balikpapan akan berfokus meningkatkan produksi bahan bakar minyak berkualitas dan ramah lingkungan sesuai dengan standar Euro V. Kontrak EPC, IBL, dan OSBL ekspansi Kilang Balikpapan diteken pada Desember 2018. Nilai kontrak mencapai Rp 57,8 triliun. Pertamina mengantongi pembiayaan dari Korea Eximbank senilai US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 21,7 triliun. Kesepakatan kerangka kerja samanya diteken di sela pertemuan “2019 Partnership Forum - Oil and Gas Downstream Indonesia” di Seoul, Korea Selatan, 2 Juli 2019. Secara keseluruhan, proyek ini bernilai US$ 6,5 miliar atau sekitar Rp 94 triliun.
Seusai audit dan evaluasi, Bobby Gafur Umar mengatakan, Pertamina sebenarnya telah membenahi masalah impor ini. Pertamina, misalnya, menyesuaikan komponen, struktur, serta kontraktor proyek. Pertamina kini bahkan memiliki direktorat yang khusus mengurus TKDN. “Jadi setiap proyek sekarang mesti melewati direktorat itu,” ujarnya.
Persoalannya, menurut Bobby, spesifikasi produk kebutuhan proyek tetap rentan diatur sehingga tak bisa dipenuhi oleh produsen dalam negeri. Karena itu, dia melanjutkan, Tim Nasional P3DN akan mengawal proyek pemerintah dan perusahaan negara sejak tahap perencanaan. “Supaya tidak kadung. Proyek sudah jalan terus diaudit, disuruh ganti, kan, jadi tertunda. Pembiayaan pun bisa berantakan,” tuturnya.
Djoko Priyono, Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional yang baru, menegaskan bahwa proyek perluasan Kilang Balikpapan dilaksanakan melalui kontrak lump sum kepada kontraktor. Pengadaan material dikerjakan oleh kontraktor, mengacu pada dokumen approved brand/vendor list (AB/VL) di dalam kontrak. Dokumen itu berisi daftar merek dan pemasok, termasuk 136 penyedia barang dalam negeri, yang disetujui pemilik proyek dan harus diikuti kontraktor.
Saat dokumen AB/VL disusun pada 2017, Djoko menjelaskan, beberapa penyedia barang lokal belum memenuhi syarat. Mereka baru memenuhinya seusai contract awarding kepada kontraktor EPC pada akhir 2018.
Djoko memastikan RDMP Balikpapan mengutamakan penggunaan pipa dalam negeri yang memenuhi spesifikasi. Pemilihan spesifikasi mempertimbangkan kondisi proses, aspek lingkungan, dan lokasi proyek, misalnya onshore atau offshore. Dia mencontohkan, pengadaan pipa 20 inci onshore dan offshore selama ini menggunakan produk PT KHI Pipe Industries (anak perusahaan PT Krakatau Steel) dan PT Bakrie Pipe Industries. Selain itu, ada pipa 52 inci onshore dari PT Indal Steel Pipe dan pipa 52 inci offshore buatan PT Dwi Sumber Arca Waja. “Pipa impor digunakan bila tidak diproduksi pabrik dalam negeri, sesuai dengan daftar di Buku Apresiasi Produk Dalam Negeri,” ucapnya, Sabtu, 20 Maret lalu.
Djoko membenarkan kabar bahwa pelaku industri yang terhimpun dalam Gabungan Usaha Penunjang Energi dan Migas (Guspenmigas) mengeluhkan proyek RDMP Balikpapan kepada Kementerian Koordinator Kemaritiman pada April 2020. Pertamina, kata dia, telah menindaklanjuti keluhan itu lewat koordinasi dengan asosiasi, kementerian, dan lembaga terkait. “Kami mengakomodasi keluhan Guspenmigas dengan menambahkan manufaktur dalam negeri ke AB/VL,” ujarnya.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo