Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nihil Dendam di Ruang Penyidikan

Politikus PDI Perjuangan menuding Abraham Samad bermotif dendam ketika menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Prosedur penanganan perkara di KPK sangat ketat.

26 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMAKAI masker hijau dan topi hitam, Hasto Kristiyanto menyerang kredibilitas Abraham Samad sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia menuduh Samad bergerilya politik untuk menjadi calon wakil presiden pendamping Joko Widodo pada pemilihan tahun lalu.

"Dengan masker dan topi seperti ini dia bertemu saya di apartemen ini," kata pelaksana tugas Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan itu di Apartemen The Capital, Jakarta, pada Kamis pekan lalu.

Hasto menyebutkan masker dan topi dipakai Samad untuk "kamuflase" karena gerilya politik itu menyalahi kode etik di KPK, yang melarang komisioner bertemu dengan pihak lain di luar kantor. Ia juga menuduh, dalam pertemuan tersebut, Samad menyatakan bersedia "membantu meringankan hukuman yang menjerat politikus PDI Perjuangan".

Pernyataan Hasto dikeluarkan sepekan lebih setelah Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengumumkan penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang telah dicalonkan Presiden Jokowi menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Konferensi pers sebelumnya dilakukan di Menteng, Jakarta Pusat, tempat tim pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla bermarkas pada saat pemilihan presiden. Hasto kemudian membawa para jurnalis ke Apartemen The Capital di kawasan Sudirman Central Business District, Jakarta Selatan.

Menurut Hasto, ada enam pertemuan antara Samad dan elite PDI Perjuangan. Salah satunya, yang terdokumentasi media massa, pertemuan Samad di Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, pada 3 Mei 2014. Menurut dia, pertemuan tersebut bukan tak disengaja, melainkan didesain untuk "mengetes dukungan publik apakah Samad diterima sebagai pendamping Jokowi".

Samad ketika itu santer disebut sebagai salah satu calon pendamping Jokowi. Sepekan sebelum pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum, ia bahkan bersaing ketat dengan Jusuf Kalla. Dari sekian banyak nama yang dijaring Tim Sebelas—tim yang membantu Jokowi merumuskan langkah-langkah politiknya—Samad menduduki peringkat kedua, setelah Kalla.

Seorang mantan anggota tim sukses Jokowi mengatakan inisiatif sebenarnya justru bukan dari Samad. Ia menyatakan, bersama anggota tim lain, pernah mendatangi Samad agar bersedia jika dipilih mendampingi Jokowi.

Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengakui timnya memasukkan Samad sebagai salah satu kandidat pendamping Jokowi. Namun, kata dia, dengan statusnya sebagai Ketua KPK yang terikat kode etik, sulit bagi timnya menemui Samad. "Akhirnya, kami hanya membahas data tentang dia dari media publik," ujarnya.

Waktu itu, para politikus PDI Perjuangan, termasuk Hasto, menyebut Samad sebagai kandidat kuat karena citra antikorupsinya, muda, dan berasal dari Indonesia timur, yakni Makassar. Dalam matriks Tim Sebelas, ia mengungguli calon lain, seperti Mahfud Md. dan Ryamizard Ryacudu. Namun Tim akhirnya memilih Jusuf Kalla dengan alasan memiliki basis politik lebih kuat.

Hasto menyimpulkan, batal menjadi pendamping Jokowi membuat Samad sakit hati. Ia mengatakan menyampaikan pemilihan Kalla kepada Samad pada pertemuan di The Capital pada 19 Mei 2014. Ketika itu, kata dia, dengan sorot mata tajam Samad berkata, "Saya tahu siapa yang menggagalkan saya. Saya berjanji akan menghabisi orang itu."

Menurut Hasto, orang yang dimaksud Samad adalah Komisaris Jenderal Budi Gunawan, kini Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan Markas Besar Polri. Dia ajudan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri ketika menjadi presiden pada 2001-2004. Meski berstatus aktif, para politikus partai itu membenarkan, Budi banyak membantu tim pemenangan Jokowi.

Hasto meyakinkan bahwa ia memiliki rekaman, foto, dan bukti lain yang menunjukkan pertemuan Samad dengan tim sukses Jokowi. Ia berencana menyerahkan semua bukti itu kepada komite etik yang ia harapkan dibentuk KPK untuk memeriksa Samad. Karena itu, Hasto tak terlalu mendetail mengungkapkan waktu pertemuan. "Detail bukti nanti saya serahkan ke komite etik," katanya.

Setelah Hasto melancarkan serangan politiknya, pemimpin KPK yang lain memanggil Samad untuk meminta konfirmasi. Menurut Deputi Pencegahan Johan Budi Sapto Prabowo, Samad ditanyai soal kebenaran tuduhan-tuduhan Hasto dan pertemuan politik sebelum pemilihan presiden. "Dengan tegas dia menyangkal ada pertemuan-pertemuan itu," ujar Johan, yang pekan lalu kembali diminta menjadi juru bicara KPK.

Menurut Johan, Samad tak akan repot menyiapkan alibi karena keterangan Hasto juga tak mendetail dan tak disertai bukti-bukti. Menanggapi tuduhan Hasto bahwa Samad bermotif dendam dalam penetapan tersangka Budi Gunawan, Johan mengatakan, "Penetapan tersangka itu keputusan semua komisioner, bukan hanya Samad."

Pernyataan Johan dikuatkan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi 2005-2013, Abdullah Hehamahua. Menurut dia, tak ada ruang bagi kepentingan pribadi komisioner dalam keputusan-keputusan genting dan penting di lembaga itu. "Saya penyusun standar operasional KPK," ujarnya. "Seorang Ketua KPK tak bisa seorang diri mengenakan status tersangka kepada seseorang, termasuk Pak Budi Gunawan."

Hehamahua mencontohkan keputusan menetapkan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana talangan Rp 6,4 triliun Bank Century pada 2012. Ia menghadiri dua kali gelar perkara kasus yang menjerat Budi Mulya karena menerima Rp 1 miliar dari pemilik saham bank itu. Dalam gelar perkara, lima pemimpin Komisi bulat sepakat menaikkan status Budi Mulya dari saksi menjadi tersangka.

Semua penyelidik dan penyidik dari semua unit, kata Hehamahua, hadir di ruang gelar perkara di lantai tujuh gedung KPK, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Penyelidik yang menangani kasus tersebut mempresentasikan bukti-bukti hasil penyelidikan yang mengarah pada dugaan kuat Budi Mulya melakukan korupsi. Samad dan empat komisioner lain setuju Budi Mulya ditetapkan sebagai tersangka.

Ketika keputusan akan diketuk, peserta rapat baru menyadari bahwa Direktur Penuntutan Ranu Mihardja tak ada di kursinya. Seorang anggota staf kemudian memanggil Ranu. "Pimpinan tak menanyakan apa sikap Ranu, tapi meminta dia menyimak penjelasan penyelidik yang diulang dari awal lagi," ujar Hehamahua.

Setelah presentasi selesai, kata Hehamahua, Ranu menyatakan bukti-bukti untuk Budi Mulya belum kuat. Ranu meminta penyelidik mencari satu bukti lagi sehingga ketika Budi Mulya menjadi tersangka tak bisa mengelak lagi. Penyidikan juga tak memakan waktu lama untuk sampai ke penuntutan. "Meski forum sebelumnya setuju Budi Mulya tersangka, karena ada pendapat Direktur Penuntutan, keputusan dibatalkan pada hari itu," ujar Hehamahua.

Menurut Hehamahua, prosedur di KPK mengharuskan setiap keputusan diketuk secara bulat oleh peserta forum yang wajib dihadiri semua penyelidik dan penyidik. Forum ini, kata dia, adalah forum tertinggi keputusan Komisi dalam setiap kasus. "Jabatan dan kepentingan pimpinan KPK tak ada harganya di forum itu," ujarnya.

Bagja Hidayat, Indri Maulidar, Muhammad Rizki

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus