LAHIR DI TENGAH puncak nyala, dan mati di tengah puncak kegelapan". Itulah jalan ninja. Ajaran lisan yang diturunkan dari mulut ke mulut itu memperkenalkan dasar filsafat ninja. Kurang jelas kapan pandangan hidup yang menyeramkan itu dibuat. Diperkirakan pada masa yang amat tragis seperti zaman sengoku -- perang saudara misalnya pada tahun 1467 ketika terjadi Perang Onin. Di abad ke-15 itu, muncul banyak pimpinan kelompok samurai di pelbagai daerah di Jepang, untuk meneruskan perang saudara selama 100 tahun lebih hingga terbentuk pemerintah keshogunan pada 1605 di Edo (kini Tokyo) oleh Tokugawa Iyeyasu. Ninjutsu -- seni ninja -- menurut ahli sejarah Jepang, telah sempurna sebagai seni bela diri dan menyerang sekitar abad ke-6 ketika agama Budha masuk ke Jepang melalui Cina dan Korea. Bahkan menurut Hichichiro Okuse, 79 tahun -- bekas wali kota Iga-Ueno yang menyelidiki ninja dan ninjutsu selama 43 tahun -- ninja tidak orisinal Jepang. Itu barang impor dari negeri Cina yang datang pada pertengahan abad ke-6, bersamaan dengan masuknya agama Budha, di zaman Asuka. "Seorang ahli kemiliteran bernama Zhongwu -- 403-221 SM -- menulis buku ilmu strategi berjudul Zhongzi. Dalam buku itu, Zhongwu memperkenalkan teori "Seratus Perang Seratus Kemenangan'. Teorinya sangat sederhana: "Berperanglah jika yakin mengalahkan musuh, dan jangan berperang dengan musuh yang lebih kuat". Orang yang memenangkan "Perang Perdamaian" adalah pemenang sebenarnya. Perang Perdamaian, menurut Zhongzi, adalah usaha membedakan musuh yang lemah dan yang kuat tanpa berperang. Di situlah sebenarnya terdapat falsafah dasar seni ninja. "Pendek kata, Zhongwu menunjuk penggunaan mata-mata untuk membedakan kekuatan militer milik musuh," kata Okuse, yang pernah menulis puluhan buku mengenai ninja. Ia boleh disebut sebagai "ninja" terakhir di Jepang pada zaman ini. Dalam jilid ke-13 (terakhir), Zhongzi menyimpulkan betapa pentingnya peranan mata-mata untuk mengorek kekuatan lawan. "Perlu diketahui kekuatan negara dan kekuatan militer musuh secara obyektif. Perlu senantiasa memperbandingkan daya gempurnya. Untuk itu harus menggunakan jiandie -- spion. Kalau musuh lebih kuat secara keseluruhan, lebih baik berdamai atau lebih baik menunggu diam-diam hingga siap menantang." Teori yang disusun sekitar 2.400 tahun lalu itu masih tetap berfungsi di zaman sekarang ini. Tak bisa disangkal, betapa pentingnya usaha mengumpulkan pelbagai data dan informasi tentang lawan. Buktinya, militer dari negara mana saja pasti punya badan intelijen. Bahkan raksasa seperti AS dan Uni Soviet punya ninja yang bernama CIA dan KGB, seperti ajaran Zhongwu. Ninja harus mengumpulan informasi dan membuat komplotan. Mereka harus menghancurkan. Tak berbeda dengan praktek CIA dan KGB sekarang. "Sayangnya, teori Zhongwu tak menunjukkan cara intelijen dan komplotan itu mencapai tujuan. Tapi nenek moyang Jepang berhasil mengembangkan, menciptakan cara praktek yang kongkret untuk merealisasikan usaha intelijen itu," ujar Okuse. Yang ikut mengembangkan praktek ninja, menurut Okuse, adalah para pemeluk agama Shinto dan Budha. "Perang saudara yang pertama dalam sejarah Jepang adalah serangkaian perang antara pemeluk agama Shinto dan pemeluk agama Budha yang terjadi pada abad ke-7, kira-kira 100 tahun setelah agama Budha masuk ke Jepang. Melalui perang itu, teori Zhongwu mulai diuji coba hingga kemudian hari membuahkan taktik gerilya, yakni mengalahkan pasukan besar dengan tenaga kecil," kata Okuse. Dari perang antar-agama itu, muncul seorang pertapa ternama yang mengimbau perlunya kombinasi agama Shinto dan Budha. Dialah En-No-Ozuno atawa En-No-Gyosha. Dia dianggap sebagai pendiri Shugendo --perkawinan Shinto-Budha -- yang membangun pertapaan di gunung. Sering konflik atau tabrakan dengan pihak pemerintah. Pemeluk agama Shugendo berangsur-angsur berhasil mengembangkan seni bela diri dan taktik ketentaraan. "Oleh sebab itu, boleh dikatakan pula bahwa ninjutsu bermula dari gerakan perlawanan oleh rakyat kecil terhadap pihak otorita," ujar Okuse. Agama Shugendo berkembang di sekitar Nara dan Kyoto -- keduanya ibu kota kuno Jepang pada Era Nara, antara tahun 710 dan 734. Daerah sekitar Iga dan Koka kemudian hari menjadi pusat ninja. Pada abad ke-8, ketika ibu kota ditempatkan di Kota Nara, kombinasi agama Shinto dan Budha ditentukan sebagai dasar negara. Pemeluk Shugendo pun ikut membantu membangun kedua kuil "Mikkyo" -- kuil Enryakuji yang dibangun oleh aliran Mikkyo yang bemama "Tendai-Shu" di bawah pimpinan biarawan besar Kukai pada tahun 816. Mereka lama-lama menjadi pengawal yang profesional di kedua kuil yang terletak di sekitar Kyoto dan Nara itu. Iga dan Koka terletak di lokasi strategis -- sekitar 50 km di arah timur Kyoto maupun Nara. Dipangku lembah yang dikelilingi bukit-bukit ideal sebagai tempat latihan, tak heran bila kedua daerah itu melahirkan banyak pemeluk agama Shugendo yang otomatis menjadi pabrik ninja, yang kelak melahirkan ninjutsu aliran Iga dan Koka. Kedua aliran yang menggetarkan Negeri Sakura. Pada era perang saudara, Ninja dari Koka maupun Iga diklasifikasi dengan tiga pangkat, yakni Jonin (Ninja atas), Chunin (Ninja menengah), dan Genin (Ninja bawah). Jonin merupakan orang nomor satu yang memimpin organisasi. Misalnya Hattori Hanzo alias Chigaji Hanzo, dan Momoji Tanbanokami, dan Fujibayashi Nagato semuanya yang berasal daerah Iga. Sementara itu, ke-53 keluarga yang mewakili ninja aliran Koka diklasifikasi sebagai Chunin. Sedang Genin adalah anak buah Jonin dan Chunin. Tapi di antara Genin ada tokoh ninja yang amat terkenal di dalam sejarah Jepang. Namanya Ishikawa Goemon, salah seorang anak buah Momoji Tanbanokami. Ishikawa Goemon diperintah Momoji agar membunuh Oda Nobunaga, seorang penguasa ternama dari zaman perang saudara, di samping mencuri uang dari pengusaha-pengusaha demi kepentingan organisasi Momoji. Ishikawa gagal membunuh Oda, tapi pencuriannya amat sukses, sehingga kemudian hari disebut dengan julukan "maling terbesar". Kata ninja sebenarnya terdiri dari dua huruf Kanji, yakni Nin dan Ja yang berarti "orang dalam". Ninja berarti orang Nin. Kata Nin mempunyai tiga arti. Pertama, ketahanan atau kesabaran. Kedua, kekejaman. Dan ketiga, sembunyi. Maka, Ninja secara harfiah boleh disebut sebagai "orang yang bergerak secara rahasia, yang selalu menahan diri, dan kejam". Tak jauh dari praktek ninja yang sebenarnya. Peran yang diwajibkan bagi ninja memang persis apa yang ditunjuk huruf "Nin". "Untuk menjadi seorang ninja, orang harus dapat menahan diri dari latihan-latihan yang berat sejak kecil. Apabila ia mengabdi seorang daimyo (penguasa di daerah pada zaman Samurai, semacam gubernur kini), ia harus berani mempertaruhkan jiwa. Apabila disandera musuh dan dipaksa menerima siksaan, ia pantang membuka mulut, apalagi membocorkan ilmu ninjutsu. Kalau sudah yakin akan disandera, harus membakar muka. Bila tak ada api, harus melukai muka dengan menggunakan pisau atau pedang, agar dapat menyembunyikan keterangan pribadi. Itulah jalan ninja sejati. Memang kata Nin memiliki arti yang mengerikan. Tapi ada juga pandangan lain mengenai kata "Nin". Kata "Nin" terdiri dari huruf "Yaiba" yang berarti pedang, dan huruf "Kokoro" yang berarti hati atau jiwa. "Nin" adalah jiwa pedang. Itulah nindo -- jalan ninja -- yang sebenarnya. Ninja melakukan pencurian atau pembunuhan sebagai tugas. Dari sudut itu, beralasan mengapa ninja disebut sebagai maling atau penjahat. Pedang kadang bisa menjadi pedang demi keadilan, atau pedang demi kejahatan. Siapa yang menentukan pedang itu akan adil atau jahat? Itu bergantung pada orang yang memegang pedang. Ketika seorang samurai membunuh lawan, ia selalu memperkenalkan diri sebelum bertindak, itu adalah upacara. Lain dengan ninja. Ninja diperbolehkan membunuh lawan tanpa memperkenalkan diri kendati samurai menuduhnya tidak jantan. Soalnya, tugas ninja memang begitu. "Bagi ninja yang tahu yaiba no kokoro -- hati pedang -- kendati cara pengunaan pedang dianggap orang lain terlalu kejam atau terlalu tak jantan, apabila mereka menggunakan pedang, itu langsung berarti pergunakan pedang demi keadilan," kata Shunichiro Yunoki, 39 tahun, penyelidik sejarah ninja, keturunan ninja aliran Koka. Yunokiu kini mengelola "kampung ninja" -- sejenis taman hiburan rakyat di kota-kota provinsi Shiga, sebelah timur Provinsi Kyoto. Pada abad ke-15 sampai dengan 16 ketika Jepang masuk era perang saudara, Koka (kini tergolong dalam Provinsi Shiga) menjadi pusat penyuplai kaum ninja bagi para daimyo. Di daerah Koka waktu itu, tercatat sebanyak 53 keluarga ninja ternama. Keluarga masing-masing mendirikan hubungan persekutuan sanak-saudara di bawah nama keluarga yang sama. Dan ninjutsu ke-53 kelompok itu diwariskan kepada keturunan berikut. Menurut buku sejarah kuno, 53 kelompok ninja Koka memiliki 50 ribu orang personel. "Karena ninjutsu adalah seni taktik yang amat konfidensial bagi kelompok, maka satu keturunan berikut diperbolehkan mewarisi teknik yang rahasia itu. Pada zaman perang saudara, banyak ninja dari daerah Koka dan Iga dikirim ke semua wilayah Jepang, disewa oleh para daimyo. "Demikianlah ninja, waktu itu berperan sebagai mata-mata sewaan," kata Heishichiro Okuse, bekas wali kota Ueno -- dulu Iga. Menurut Okuse, di Iga semula hanya tercatat satu keluarga ninja yang bernama Hattori alias Chigaji. Keluarga Hattori merupakan keluarga ninja yang paling ternama dalam sejarah Jepang. Keluarga itulah kemudian hari dipakai sebagai pucuk organisasi ninja resmi oleh Shogun Tokugawa Iyeyasu, pada zaman keshogunan Tokugawa (1603-18678) yang menempatkan ibu kota Jepang di Kota Edo, kini Tokyo. Sebelumnya, pada zaman Kamakura (1192-1333), ada dua keluarga ninja yang tersohor, yakni keluarga Momoji dan keluarga Fujibayashi. Ketiga keluarga ninja inilah, sepanjang zaman perang saudara, sebagai wakil aliran Iga. Kendati di daerah Koka ada 53 keluarga, apabila dilihat dari sejarah ninja Jepang, aliran Koka tak banyak melahirkan tokoh-tokoh terkemuka. Sebaliknya aliran Iga subur. Antara lainnya Hattori Hanzo dari keluarga Hattori yang kemudian diangkat sebagai pemimpin kelompok mata-mata oleh Shogun Tokugawa Iyeyasu. Juga Momoji Tanbanokami alias Momoji Sandayu dari keluarga Momoji, dan Fujibayashi Nagato dari keluarga Fujibayashi. Keduanya pernah disebut sebagai presiden kelompok ninja Iga. Kelompok masing-masing membangun kubu pertahanan besar di lembah Iga. Tapi keduanya tak pernah berselisih, tapi juga tak pernah bekerja sama untuk satu sasaran. Mereka dilarang bertempur oleh Momoji Tanbanokami dan Fujibayashi Nagato, meskipun boleh bersaing jasa tugas. Pada tahun 1570-an ketika Oda Nobunaga penguasa besar yang berhasil meruntuhkan pemerintahan Muromachi -- menantang pada agama Budha dan membakar Kuil Enryakuji, Momoji dan Fujibayashi memerintahkan anak buahnya bersaing untuk membunuh Oda Nobunaga. Gagasan kedua presiden organisasi ninja itu tak terwujud. Kalau dilihat dari sudut pimpinan, kompetisi kedua organisasi ninja klop dengan strategi ninja. Soalnya, Momoji Tanbanokami dan Fujibayashi Nagato, sebenarnya, orang yang sama. Momoji yang berasal Desa Hoojiro (sekitar 10 km ke arah timur dari Kota Iga Ueno), di samping membangun benteng besar di Desa Hoojiro, sekaligus mendirikan benteng besar di lembah Iga yang lain. Di situ, Momoji menyebut dirinya Fujibayashi Nagato. Baik anak buah Momoji maupun Fujibayashi tak dapat menyadari bahwa pimpinan mereka sebenarnya orangnya satu. Momoji alias Fujibayashi itu begitu pandai menyamar. Dan memang penyamaran merupakan salah satu seni ninja yang amat penting. Aliran Koka -- Koka-Ryu dan aliran Iga Iga Ryu, meski berdekatan -- cuma 10 km -- dipisahkan bukit-bukit. Satu-satunya konfrontasi kedua kelompok ninja ini, terjadi pada tahun 1581. Ketika pasukan Oda Nobunaga bersama kelompok aliran Koka menyerbu daerah Iga. Konon, organisasi aliran Iga melalui perang antarninja itu dihancurkan. Baik keluarga Momoji maupun keluarga Fujibayashi yang bergengsi itu terpaksa dibubarkan. Mereka lari ke Gunung Koya -- ke kuil Budha Shugenco yang bernama Kongoubuji. Aliran Iga -- Momoji dan Fujibayashi -- terpaksa menghilang dari sejarah. Aliran Koka juga akhirnya mengalami nasib sama. Soalnya, kelompok ninja yang dipimpin Hattori Hanzo dari aliran Iga, sebelum Momoji dan Fujibayashi dibubarkan pasukan Oda Nobunaga, ikut masuk payung Tokugawa Iyeyasu. Dan Tokugawa yang kemudian hari memerintah seluruh wilayah Jepang, menggunakan Hattori Hanzo untuk menguasai aliran Koka. "Tokugawa Iyeyasu membawahkan sebanyak 700-an ninja, 200 di antaranya dari aliran Koka, sisanya dari aliran Iga. Sementara daerah Iga ditunjuk Iyeyasu sebagai kantung ninja. Dengan terbentuknya organisasi mata-mata yang amat besar di dalam pemerintah keshogunan Tokugawa, Iyeyasu dapat menyingkapkan rencana komplotan para daimyo, sekaligus menghancurkannya. Iyeyasu memang pandai memanfaatkan kemampuan ninja. Boleh dikatakan keselamatan pemerintah keshogunan Tokugawa yang bertahan selama 300 tahun itu, berkat terbentuknya organisasi ninja," kata Heishichiro Okuse, yang awal November lalu genap berusia 79 tahun. Tugas ninja ada pada masa perang, atau pada masa keadaan politik dan masyarakat tak stabil. Ninja butuh kekacauan untuk eksis. Sebaliknya, penguasa butuh ninja demi keselamatan dan demi kestabilan pemerintahan. Apabila keadaan politik dan sosial masuk era stabil dan aman, apa nasib ninja? Jelas, tugasnya menghilang. Dan itu terjadi pada awal pemerintahan Tokugawa. Ketiga Shogun Tokugawa -- dari Tokugawa Iyeyasu sampai Tokugawa Iyemitsu -- memobilisasi jaringan ninja. Tapi setelah pemerintah keshogunan Tokugawa masuk ke era stabil, peranan dan jasa Ninja mendadak berkurang. Demikianlah para ninja akhirnya terpaksa masuk ke bawah payung organisasi kepolisian samurai. Di situ, mereka diberi tugas sebagai mata-mata polisi -- samurai. "Setelah pemerintahan Samurai Tokugawa runtuh dengan restorasi Meiji (tahun 1868), lucunya banyak keturunan ninja direkrut sebagai anggota polisi di bawah pemerintah Meiji. Maka, tak salah juga, kalau menyebut sang polisi kini sebagai keturunan ninja," ujar Okuse sambil tertawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini