Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ketika Sita Bertanya Tentang Hasrat

Karya Garin Nugroho yang sebelum selesai pun sudah menggegerkan masyarakat.

7 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OPERA JAWASutradara: Garin NugrohoSkenario: Garin Nugroho dan ArmantonoPemain: Artika Sari Devi, Eko Supriyanto, Martinus Miroto, Retno Maruti, Slamet GundonoProduksi: SET Film Production dan New Crowned Hope

Sita menjelma menjadi sebuah hasrat; sebuah keinginan dan simbol berahi yang tetap memihak pada pemeliharaan gejolak api.

Nun di dalam benak sutradara Garin Nugroho beserta serombongan perupa dan pemusik terkemuka di negeri ini, Sita adalah Siti (diperankan oleh Artika Sari Devi), istri Setyo (Miroto). Mereka adalah pasangan yang hidup di sebuah desa dan mencari nafkah de-ngan berdagang gerabah. Rama adalah Setyo yang posesif, seorang pengusaha gerabah yang kalah oleh api cemburu. Rahwana adalah Ludiro, seorang peng-usaha kaya dari rumah jagal tiada akal budi, kecuali nafsu menguasai.

Garin memulai film yang disebutnya sebagai "Opera Jawa bernuansa Broadway" ini dengan nyanyian dalang Slamet Gundono dan tokoh adat Sumba Timur Preng Marapu-ahli baca hati babi untuk mengetahui nasib dan doa arwah-yang menjadi pembawa kisah bagi penonton: "Inilah kisah hari yang diperebutkan laki-laki seluruh dunia. Dari zaman Nabi Adam sampai Adam Smith...." Dengan lirik bahasa Jawa dan gaya nyeleneh itu, bertelanjang dada dan mengenakan topi koboi sembari duduk di atas televisi terbuat dari batu-karya perupa Teddy S.-Slamet kemudian berkisah tentang percintaan Siti dan Setyo yang suci yang dihadang kebangkrutan perusahaannya. Dukun Sumba Marapu menyusuri guratan hati itu, seolah membaca nasib cinta Setyo dan Siti. Rama dan Sita.

Seperti halnya ketika Rama mening-galkan Sita yang menitip pesan pen-ting pada Lesmana untuk menjaga istri-nya, maka Setyo meminta adiknya (I Nyo-man Sura) untuk menjaga istrinya terutama dari gangguan Ludiro yang tak akan berhenti mengejar istri Setyo yang jelita itu.

Sang Ludiro (diperankan oleh penari bertubuh lentur Eko Supriyanto) bukan hanya menggoda, mengintip dan mengikuti gerak gerik Siti, tetapi dia juga meniupkan seluruh hasrat dan nafsunya melalui napasnya ke ujung rambut Siti. Siti seperti melihat Ludi-ro di mana-mana, di ruang tamunya, di bawah tempat tidur, di kebun bu-nga ataupun di tengah hutan. Ludiro adalah sebuah simbol nafsu yang memang ada dalam diri kita.

Sosok Sita ditafsirkan lebih ter-bu-ka dan lebih manusiawi. Dia adalah seorang perempuan jelita yang mempertanyakan hasratnya, menjenguk jiwanya yang paling purba. Di suatu malam, ketika Setyo menolak untuk bercinta dengan istrinya, Ludiro me-nyelinap bak seekor ular yang meliuk dan masuk ke dalam sarung Siti. Setelah Setyo kemudian mencumbu istrinya, "sang ular" yang meliuk segera pergi. Inilah beberapa detik yang menentukan, apakah Sita tergoda dan mengikuti hasratnya untuk bercumbu dengan Ludiro, atau dia akan tetap bertahan di dalam lingkaran yang telah digariskan oleh suaminya.

Film musikal gamelan yang dari ju-dulnya seolah menyarankan sebuah karya yang berat dan lamban bak kereta tua ternyata sejak awal menjanji-kan dinamika kekerasan dan ekstremitas sifat manusia. Siti menggebrak. Dia melawan apa yang sudah digariskan oleh Sita. Dia bertanya mengapa dia tak bisa menjelajahi lingkaran di luar lingkaran berbentuk labirin yang terbuat dari tumpukan sabut kelapa karya perupa Nindityo.

"Ibu... saya ingin masuk kembali masuk ke dalam rahimmu...," keluh Ludi-ro pilu kepada sang ibu, penari Retno Maruti yang berperan sebagai Sukesi yang anggun, protektif, kuat, keras, dan penuh siasat. "Hanya dialah wanita yang kucintai...."

Sukesi, meski tahu Siti adalah istri lelaki lain, lebih berpihak pada proteksi Ludiro, sang anak lanang yang kemudian tumbuh menjadi lelaki manja, serakah, yang hanya mengenal kekerasan sebagai solusi. Dia kemudian menganjurkan untuk memancing Siti mengikuti selendang merah panjang tak berujung yang dijahit oleh sang bunda Sukesi untuk menuju pada pelukan Ludiro. Inilah adegan yang mendebarkan sekaligus puitis yang memperlihatkan bagaimana Garin bisa mengoptimalkan eksplorasi tafsiran Rama-Sita dan kekuatan karya para perupa serta penari.

Kita kemudian berkenalan dengan Hanoman (diperankan Jecko Siompo) yang penampilannya justru dahsyat saat kamera menangkap bayang-bayang sang panglima Rama yang gesit dan perkasa itu.

Bintang dari seluruh film musikal yang dinamis ini ternyata adalah Eko Supriyanto, Slamet Gundono, dan rombongan perupa terbesar di negeri ini yang didaulat Garin untuk menuangkan kreativitas mereka sebebas-bebasnya membentuk drama musikal ini. Dari Sunaryo, Nindityo, Agus Suwage, Tita Rubi, S. Tedy, Hendro Suseno, dan Entang Wiharso yang dikumpulkan menjadi satu dan masing-masing diberi "lahan" untuk berekspresi.

Eko Supriyanto, sang penari yang memiliki punggung dan bahu yang sangat lentur itu, tampil seksi sekaligus keji. Saat dia merayu Siti yang diceng-keramnya, dia kemudian meletakkan sebelah kakinya hanya berjarak satu milimeter di atas wajah Siti yang terlempar ke lantai. Inilah adegan khas Garin Nugroho. Sensualitas bisa sekaligus menampilkan kekejian. Film-film sebelumnya, Bulan Tertusuk Ilalang dan Surat untuk Bidadari, tak pernah lepas dari adegan-adegan campuran kekerasan sekaligus sensualitas. Ludi-ro alias Rahwana sebagai simbol kekejian sekaligus nafsu yang membuih cukup terlihat dengan jari-jari kaki yang hampir saja menggilas wajah Siti.

Penampilan Eko bersama Slamet Gundono di bar yang mengawinkan mu-sik blues (dalam bahasa Jawa!) de-ngan rap Sumba bukan hanya pas dan harmonis; yang mengherankan perpadu-an yang tak terbayangkan itu terasa begitu sensual, ditambah lagi de-ngan ge-rak Eko di atas bar yang meliuk se-olah meja-meja bar itu adalah panggung pribadi Eko. Untuk penari se-perti Eko, seluruh dataran di bumi ini adalah panggungnya, dan warga bumi adalah penontonnya.

Adegan perang film ini memang ku-rang gegap-gempita dibanding adegan-adegan erotis ciptaan Garin. Persiapan perang sangat meyakinkan, namun penonton yang sudah siap dengan sesuatu yang jauh lebih megah tentu saja ha-rus melangkah mundur kare-na- ternyata perang sesungguhnya itu akhir-nya digambarkan lebih simbolis, seperti yang kita saksikan dalam film Henry V karya Kenneth Brannagh.

Akhir film ini adalah sebuah penjelajahan Garin tentang sifat lelaki yang penuh harga diri dan menganggap diri sebagai pemegang wilayah hati perempuan. Meski terbukti Siti setia kepada-nya, toh Setyo membunuhnya dan meraup isi hatinya, karena ia tetap ingin melihat isi hati istrinya.

Film Opera Jawa yang akan membuka Festival Film Yogya Netpac ini adalah film terbaik Garin. Melalui film ini, dia mampu menampilkan dinamisme musik dan kekayaan karya seni rupa negeri ini, yang memberikan roh dalam tafsir Garin terhadap kisah luar biasa ini.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus