Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sinema Krisis dari Generasi Baru

Festival film Asia pertama di negara Asia yang mengangkat tema krisis dari para sineas generasi baru.

7 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Butiran warna-warni pil telah dikeluarkan dari kemasan. Se-mua bertabur di atas meja. Di- sebelahnya dua dadu siap di-lon-tarkan, dan sepotong jari siap memutar pesawat telepon sesuai dengan ang-ka -da-du yang keluar. Gelap. Tanpa ca-haya.

Ini kisah seorang wanita Iran yang berniat bunuh diri dan memutar acak nomor telepon karena meragu. Siapa tahu eksekusi masih bisa dibatalkan. Takdir kemudian mempertemukannya- dengan seorang arsitek yang tengah -ke-sepian yang kebetulan menerima te-lepon wanita itu. Arsitek itulah yang menyelamatkannya.

A Portrait of Lady Far Away karya Ali Mosaffa ini adalah sebuah sinema mengenai krisis kepercayaan diri. Film ini mewakili Iran dalam festival Jogja Netpac (Network of the Promotion of Asian Cinema) Film Festival, yang diselenggarakan pada pekan ini. Karya Mosaffa itu akan berkompetisi dengan 19 film lain dari 14 negara. Film Opera Jawa karya Garin Nugroho, yang membuka festival, tak ikut dalam kompetisi.

Menurut Budi Iramanto, Direktur- -Jog-ja Netpac Asian Film, awalnya ku-ra-tor film ini adalah Phillip Cheah, di-rek-tur festival film internasional -Singapura. Tapi, belakangan Cheah meng-ajak Budi memilih film yang akan muncul.

Apakah ajang yang dibuat dalam rang-ka ulang tahun Kota Yogyakarta ke-250 ini bergengsi seperti berba-gai festival film lain, mi-sal-nya festival film Singapura? Budi mengakui sebagian besar sineas yang mendaftar ikut fes-tival berasal dari generasi baru, bukan si-neas kawakan. Yin -Liang (Cina), misalnya, me-nam-pilkan Taking Father- Home. Ada pula Mu-hi Haghighi dari Iran (Men At Work), John Torres dari Filipina dalam Todo Todo Teros, dan Amir Muhammad dalam The Last Communist. ”Festival ini memberikan ruang dan tempat untuk sineas yang menjanjikan,” kata Budi.

Sineas kawakan yang mengikutkan- filmnya adalah Jocelyne Saab dari Li-banon. Namun, kali ini sutradara yang dikenal karena film-film dokumen-ternya itu menyertakan karya fiksi Kiss Me Not On the Eyes. Ada pula be-b-erapa film yang pernah ikut festival lain tapi kembali diputar di Jogja Netpac: Osama karya Sidiq Barmak dari Af-ganistan, Lukas Movement kar-ya Ar-yo Danusiri yang pernah ikut da-lam Jiffest 2005, dan film pendek Stop Human Cloning (2004) karya Wahyu Adi-tya yang pernah meraih penghargaan.

Berbeda dengan festival film inter-na-sional lain, festival ini mengangkat- tema krisis. Tema ini tak harus diterje-mah-kan terbatas seperti krisis po-litik atau krisis akibat bencana, ta-pi sa-ngat luas: krisis moral, hingga pro-blem mem-perjuangkan eksisten-si. Film Sa-ab,- misalnya, mengangkat kisah wa-ni-ta Arab yang berani mengekspresikan si-si feminis di tengah dunia patriar-ki. Film Ahlaam karya sutradara Irak Mohamed Al-Daradji mengete-ngah-kan kisah warga sipil Irak yang gila ka-rena kehilangan orang-orang yang di-cintai akibat serangan Amerika ke Irak.

Beberapa sineas Indonesia menam-pilkan karya-karya gres. Lola Amaria menyodorkan film perdananya, Betina. Begitu pula Richard Oh dalam Koper, dua fiksi karya Angga Dwimas, dan film dokumenter Gerimis Kenang-an karya Seno Joko Suyono.

Festival akan memberikan penghargaan Hanoman Award (Golden dan Sil-ver) untuk peserta kompetisi, Geber Award untuk film-film indie yang dipi-lih penonton, dan Netpac Award un-tuk film dengan kategori memiliki karakter, bagus, dan tidak banyak di-distribusikan secara umum. ”Film yang karyanya jarang diputar belum ten-tu disebabkan tak ada penonton, tapi (karena) sineas mengalami hambatan secara politis dan distribusi,” Budi meng-ungkapkan.

Sebagai permulaan-, fes-tival ini m-ungkin ba-ru mencari format-. Ba-gai-manapun, dengan- ada-nya- festival de-ngan te-ma yang khusus ini, ter-lihat keinginan baik un-tuk menumbuhkan- kre-ativitas di kawasan Asia. Pada da-sar-nya sebuah festival me-ru-pa-kan- ke-sempatan mem-bangun karakter dan memberi keleluasa-an si-neasnya ber-karya dan meng-guratkan port-folio.

Evieta Fadjar, Istiqomatul Hayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus