Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA "diinterogasi" Komisi Kepolisian Nasional pada Juni lalu, Komisaris Jenderal Sutarman tetap tutup mulut. Diundang sebagai calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, ia dicecar pertanyaan: siapa pemberi perintah penangkapan Novel Baswedan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, pada 5 Oktober tahun lalu.
Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI itu hanya menjawab, "Demi Tuhan, bukan saya yang memberi perintah. Itu perintah atasan." Anggota Komisi Kepolisian melanjutkan: siapa atasan yang dia maksud. Menurut seseorang yang hadir dalam pertemuan itu, Sutarman akhirnya berkata, "Ditanya sampai subuh pun saya tak akan bilang."
Waktu itu, Sutarman hanya mempunyai dua atasan, yakni Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo dan wakilnya, Komisaris Jenderal Nanan Soekarna. Sampai akhir pertemuan, ia tak mau menyebutkan satu di antara dua nama itu. Walhasil, Komisi Kepolisian—yang juga mewawancarai enam perwira tinggi kepolisian lainnya—memberi catatan: Sutarman terlalu "loyal kepada atasan walau harus berbohong kepada publik".
Syafriadi Cut Ali, anggota Komisi Kepolisian, membenarkan peristiwa Juni lalu itu. Adrianus Meliala, juga anggota Komisi, membenarkan kabar bahwa Sutarman menolak menjelaskan pemberi perintah penangkapan Novel. "Sutarman orang nomor tiga di Polri," ujar Adrianus. Komisi Kepolisian belum bisa memastikan siapa yang memerintahkan Sutarman. Kepada Tempo, Nanan pernah mengatakan kasus Novel murni urusan penyidik Kepolisian Daerah Bengkulu.
Kriminalisasi Novel Baswedan terjadi ketika komisi antikorupsi mengusut korupsi proyek simulator kemudi di Korps Lalu Lintas Polri pada Oktober tahun lalu. Novel, penyidik utama kasus itu, juga memimpin tim KPK menggeledah markas Korps Lalu Lintas pada akhir Juli 2012. Gara-gara perkara simulator, hubungan KPK dan Polri memanas.
Gagal merebut penyidikan kasus yang melibatkan Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo, Polri menggembosinya lewat kriminalisasi Novel. Malam itu, Jumat, 5 Oktober tahun lalu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bengkulu Komisaris Besar Dedy Irianto datang ke KPK menenteng surat penangkapan Novel.
Polisi menuduh Novel menganiaya tersangka pencuri sarang walet ketika menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bengkulu pada 2004, delapan tahun sebelum kasus simulator dibongkar. "Kasusnya baru dilaporkan keluarga korban," kata Dedy Irianto memberi alasan. Bersama Dedy, 200-an polisi mengepung KPK. Ada yang mengenakan baju dinas provos, tapi lebih banyak yang berpakaian kasual. Penangkapan itu gagal karena massa berdatangan ke gedung komisi antikorupsi dan memberikan dukungan kepada lembaga ini.
Di depan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, ketika menjalani uji kelayakan sebagai calon Kepala Polri, Kamis pekan lalu, Sutarman juga membantah memerintahkan pengepungan kantor KPK. Ia hanya mengakui ditemui penyidik kasus itu sebelum mereka datang ke KPK untuk menangkap Novel.
Menurut Sutarman, polisi dari Polda Bengkulu berkonsultasi kepadanya. "Dari aspek yuridis itu wajar, tapi dari aspek waktu salah," ujarnya. Menurut Sutarman, polisi belum menghentikan kasus Novel. "Mungkin kami akan melakukan pengawasan ulang untuk proses selanjutnya."
Tahun lalu, Komisi Kepolisian menyelidiki kejanggalan kasus ini. "Kami menemukan dugaan kuat ada rekayasa," kata Syafriadi, ketua tim penyelidik Komisi untuk kasus Novel. Kesimpulan ini sejalan dengan investigasi Tempo di Bengkulu ketika kasus mencuat.
Irwansyah Siregar, tersangka pencuri sarang walet yang kakinya ditembak polisi, mengaku diminta reserse datang ke Polda Bengkulu pada akhir September 2012. Bersama Dedi Mulyadi, ia diperiksa soal penembakan di Taman Wisata Pantai Panjang pada 18 Februari 2004 malam, setelah mereka diringkus dengan sangkaan mencuri sarang walet. Polisi lalu menawari Irwansyah mengangkat proyektil di kakinya.
Pada 5 Oktober tahun itu, dokter di Rumah Sakit Bhayangkara Bengkulu mengangkat proyektil di betis kanan Irwansyah yang bersarang sejak 2004. Menurut polisi, anak peluru itu berasal dari pistol Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bengkulu Inspektur Satu Novel Baswedan—terakhir berpangkat komisaris polisi sebelum beralih status menjadi pegawai KPK.
Polisi juga mendatangkan dua terpidana kasus pencurian sarang walet, yakni Doni Yefrizal dan M. Rusliansyah alias Ali, sebagai saksi tambahan. Delapan tahun berlalu, Doni dan Ali tinggal di sebuah kota di Sumatera Utara. Keduanya lalu diinapkan polisi di Hotel Madelin, tak jauh dari Polda Bengkulu.
Selama di Bengkulu, Doni dan Ali mendapat uang saku dari polisi Rp 300 ribu per hari. Sebelum pulang, masing-masing menerima lagi Rp 2,5 juta. Ongkos bus pulang-pergi sudah ditanggung. Irwansyah juga mengaku menerima uang, tapi tak sampai jutaan rupiah. Yang jelas, tiap kali dipanggil polisi, ia mendapat upah Rp 300 ribu—setara dengan penghasilannya berjualan ikan di pasar.
Pemberian uang kepada saksi ini menguatkan keganjilan kasus Novel. Awalnya polisi berkeras bahwa kasus 2004 itu dibuka kembali karena Irwansyah mengeluh sering merasakan nyeri pada kakinya. Irwansyah dan Dedi Mulyadi, menurut polisi, kemudian memberikan kuasa kepada Yuliswan, kerabat Irwansyah yang berprofesi sebagai pengacara, untuk mengajukan permohonan keadilan.
Menurut polisi, surat kuasa ditandatangani Irwansyah dan Dedi pada 3 September. Adapun surat permohonan keadilan tertanggal 21 September. Belakangan diketahui kedua surat itu bertanggal mundur. Kepada Tempo pada 2012, Irwansyah mengaku meneken surat kuasa pada akhir September. Adapun kepada Komisi Kepolisian Nasional, ia mengaku baru memarafnya sesaat sebelum operasi pada 5 Oktober.
Berdasarkan jejak di komputer, surat "permohonan keadilan" malah baru diketik pada 29 September 2012 pukul 08.45. Di properties-nya juga terlihat surat terakhir dicetak pada 3 Oktober. Dalam versi soft file, ada bagian yang disembunyikan, yakni "paraf konseptor" surat. Salah seorang konseptor ditulis "Wakapolda". Dalam versi cetak, bagian itu tertutup tanda tangan pengacara.
Perihal mundurnya surat hingga 21 September itu berhubungan dengan pergantian Kepala Polda Bengkulu. Pada tanggal itu, Brigadir Jenderal A.J. Benny Mokalu resmi menjabat Kapolda Bengkulu. Menurut sumber, Kapolda lama, Burhanuddin Andi, menolak merekayasa kasus Novel. Itu sebabnya dia diganti. Benny kini Kapolda Bali, sementara Burhanuddin sekarang Kapolda Sulawesi Selatan.
Yang tidak diakui Sutarman di DPR pada Kamis pekan lalu: dialah yang memanggil polisi dari Polda Bengkulu sebelum penangkapan Novel. Menurut seorang polisi, Sutarman malah memberikan instruksi tentang cara menangkap Novel. Pada akhir September 2012, Dedy Irianto, Direktur Reserse Kriminal Polda Bengkulu, menghadap Sutarman di kantornya.
Sebelum penyidik kepolisian berusaha meringkus Novel, Sutarman sempat mengutus beberapa perwira untuk membujuk Novel supaya mau menghadap dia. Kejadiannya tak lama setelah Novel memimpin tim KPK menggeledah markas Korps Lalu Lintas Polri.
Informasi itu sampai juga ke Komisi Kepolisian. "Ada reserse dari Bareskrim ke Bengkulu, ada juga reserse Polda Bengkulu yang dipanggil ke Mabes Polri," kata Syafriadi Cut Ali. Karena itu, menurut Syafriadi, Sutarman tak bisa lepas tangan dalam kriminalisasi Novel. Sebab, "Ada tanggung jawab jabatan."
Anton Septian, Rusman Paraqbueq, Ali Akhmad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo