Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Novel Tanpa Ujung

Bekerja selama enam bulan, tim gabungan pencari fakta bentukan Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian tak berhasil mengungkap pelaku penyiraman Novel Baswedan. Polisi disebut memberi data penting di akhir kerja tim. Nama jenderal disebut saat pemeriksaan, tapi hilang di rekomendasi.

2 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI ruangannya di lantai sembilan, Novel Baswedan bergegas menuju lift untuk naik ke ruang rapat pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi di lantai 15 Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan. Keluar dari lift, ia harus menembus lorong yang disekat beberapa pintu kaca. Melalui lorong itu, pria 42 tahun ini memperlambat langkah karena penglihatan mata kanannya sedikit berkabut. “Hari itu saya hendak diperiksa tim gabungan pencari fakta bentukan Kapolri,” ujar Novel, Rabu, 24 Juli lalu.

Di ruangan, lima anggota tim gabungan pencari fakta sudah menunggu, yakni Ketua Setara Institute Hendardi; guru besar Universitas Krisnadwipayana, Indriyanto Seno Adji; Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti; serta dua bekas Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Nur Kholis dan Ifdhal Kasim. Adapun Novel didampingi sejumlah pengacaranya, antara lain Usman Hamid dan Alghiffari Aqsa. Pemeriksaan pada 20 Juni lalu itu baru dimulai setelah Ketua KPK Agus Rahardjo datang.

Tim gabungan pencari fakta hendak meminta keterangan Novel untuk mengurai kasus teror yang menimpanya. Dua pria menggunakan sepeda motor menyiramkan larutan asam sulfat ke wajah Novel setelah ia menjalankan salat subuh di masjid dekat rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Selasa, 11 April 2017. Akibat siraman air keras itu, sekitar 90 persen kornea mata kiri Novel terbakar hingga akhirnya buta. Adapun fungsi mata kanannya yang sempat menurun sudah mulai membaik. Sejauh ini, polisi belum menangkap pelaku penyiraman.

Karena penyelidikan polisi seperti membentur tembok, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ikut menelusuri kasus itu. Komnas lantas merekomendasikan pembentukan tim independen. Oleh Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian, rekomendasi ini disambut dengan pembentukan tim gabungan pencari fakta, yang anggotanya banyak diisi jenderal dan penasihat polisi.

Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Novel Baswedan, Nur Kholis (kiri) dan Anggota Tim Hendardi (kanan) saat menyerahkan laporan hasil investigasi Tim Gabungan pada Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Muhammad Iqbal di Mabes Polri, Jakarta, 17 Juli 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Ada lima pegawai KPK yang dilibatkan. Tapi, sampai akhir, mereka tak banyak berperan. Tito memberikan tenggat enam bulan kepada tim. “Ini melenceng karena semestinya tim independen, bukan di bawah polisi,” ujar Mohammad Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM.

Suasana pemeriksaan awalnya gayeng, tapi mulai memanas ketika Hendardi melontarkan pertanyaan kepada Novel agar mengungkap nama jenderal polisi yang pernah ia sebut di media terlibat teror penyiraman. “Katanya ada jenderal yang terlibat. Siapa sih namanya?” ujar Hendardi menirukan pertanyaan yang ia ajukan kepada Novel saat pemeriksaan.

Pertanyaan Hendardi ini langsung diinterupsi para pengacara Novel. Mereka meminta Novel tak terpancing. Sebab, jika penyidik senior KPK itu menyebutkan nama jenderal yang dimaksud, akan muncul potensi gugatan kalau tanpa disertai bukti kuat. Sampai di akhir pemeriksaan, Novel tak mau menyebut nama jenderal itu.

Menurut versi Novel kepada Tempo, Hendardi menanyakan kepadanya perihal dugaan keterlibatan Antam Novambar dalam teror terhadap Direktur Penyidikan Endang Tarsa ketika terjadi penetapan tersangka calon Kepala Polri, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, pada Februari 2015. “Saya balik tanya kepada dia, ‘Apakah Pak Hendardi ini sebenarnya menginvestigasi atau sedang melakukan background check sebagai Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK?’” tutur Novel.

Hendardi membantah menanyakan soal ini kepada Novel saat pemeriksaan. “Soal ini cuma dibahas di tim gabungan,” katanya. Sejak pertengahan Mei lalu, Hendardi menjadi anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK periode 2019-2023. Adapun Antam tengah mengikuti proses seleksi tersebut.

Seperti terungkap dalam catatan pemeriksaan, tim gabungan pencari fakta menanyakan sejumlah hal kepada Novel. Salah satunya tentang dugaan teror Antam terhadap penyidik lain. “Saya minta mereka cek dulu kasus yang ditangani penyidik itu, baru bertanya soal ancaman tersebut,” ujar Novel.

Dugaan teror terhadap Endang Tarsa terjadi pada Februari 2015. Ketika itu, Antam meminta Endang menjadi saksi di sidang pra-peradilan penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK. Mereka bertemu di restoran McDonald’s di Ciledug, Banten. Endang diminta menyatakan bahwa penetapan tersangka dilakukan atas desakan Ketua KPK Abraham Samad dan wakilnya, Bambang Widjojanto. Antam saat itu disebut mengancam Endang agar mau bersaksi. Dimintai konfirmasi soal ini ketika itu, Antam membantahnya. “Tak ada teror-teror. Kami malah bersalaman dan berpelukan,” kata Antam.

Bukan hanya soal Antam, saat pemeriksaan, tim juga menanyakan keterkaitan jenderal polisi lain kepada Novel. Jenderal yang dimaksud adalah Komisaris Jenderal Mocha-mad Iriawan, bekas Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya yang kini menjabat Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional.

Konteksnya saat itu tim bertanya tentang sejumlah pertemuan Iriawan dengan Novel sebelum penyerangan. Bahkan tim mengkonfirmasi informasi Iriawan pernah mengatakan kepada Novel bahwa sebelum penyerangan ia mengetahui akan ada serangan terhadap juniornya di Akademi Kepolisian tersebut. “Ia menawarkan pengamanan, tapi saya tolak,” ujar Novel. “Saya jelaskan kepada tim soal ini juga.”

Tim juga meminta keterangan Iriawan soal pertemuan dengan Novel. Sebelum Ramadan lalu, mereka datang ke kantor Iriawan di Lemhannas. Iriawan mengaku ia hanya diajak diskusi oleh tim, bukan diperiksa. Ia juga membenarkan tentang pertemuan dengan Novel dan memberi peringatan soal akan ada teror kepadanya. “Mengingatkan itu wajar dari kakak kepada seorang adik. Apalagi dia penyidik,” ucapnya.

Dua jam menjalani pemeriksaan, Novel pamit untuk kembali ke lantai sembilan. Di sana, ia kembali menjalankan aktivitasnya memeriksa berkas-berkas perkara kasus. Menurut cerita Novel kepada Tempo, ia harus mendekatkan matanya ke berkas pemeriksaan setiap kali membacanya.

 

TIGA bulan sebelum pemeriksaan, tim pakar yang menjadi bagian tim gabungan pencari fakta menyambangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain meminta dukungan, mereka meminta izin pemimpin KPK untuk memeriksa Novel Baswedan. Pertemuan di lantai 15 itu dihadiri dua Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang dan Laode Muhammad Syarif. Pimpinan juga mengajak dua pejabat Biro Hukum dan Pengawas Internal KPK. Novel juga diundang. Adapun dari tim pakar, antara lain, hadir Indriyanto Seno Adji, Ifdhal Kasim, dan Hendardi.

Dalam pertemuan itu, tim KPK sempat terkejut dengan pernyataan salah satu anggota tim pakar yang mengungkapkan bahwa mereka sudah memiliki temuan awal pelaku penyiraman adalah polisi. “Saat itu disebut oleh salah satu dari mereka bahwa penyerangan terhadap saya dilakukan oleh oknum polisi terkait dengan buku merah,” ujar Novel.

Antam Novambar. TEMPO/Subekti

Novel sempat berharap soal ini diungkap ketika dia dimintai keterangan tim gabungan. Tapi tim hanya menanyakan soal keterkaitannya dengan kasus “buku merah”. Buku bersampul merah yang disita KPK pada Januari 2017 terkait dengan kasus suap hakim konstitusi Patrialis Akbar oleh pengusaha impor daging Basuki Hariman.

Buku itu dibuat Kumala Dewi, anggota staf keuangan CV Sumber Laut Perkasa, salah satu karyawan Basuki. Dalam buku merah itu tertuang catatan uang masuk dan keluar dalam mata uang rupiah, dolar Amerika Serikat, dan dolar Singapura. Nilai nominal transaksi bervariasi, dari puluhan juta rupiah hingga yang terbesar Rp 3,7 miliar, untuk setoran kepada satu nama.

Hendardi tak membantah soal kasus buku merah sempat menjadi pembahasan tim. Meski tak masuk rekomendasi tim gabungan yang menyebutkan ada enam kasus yang pernah ditangani Novel sebagai motif penganiayaan, ia tak menutup peluang ada kasus lain, termasuk buku merah. “Hanya dibahas di tim,” ucapnya.

 

 

MENELUSURI informasi dugaan keterlibatan polisi sesungguhnya menjadi perhatian khusus tim gabungan pencari fakta di awal kerja mereka. Bahkan, untuk membahas soal ini, polisi aktif tak diundang dalam rapat. Sedikitnya tiga kali tim pakar menggelar rapat tanpa mengundang polisi, termasuk ketua tim Idham Azis.

Mereka sengaja melakukan itu untuk membahas isu sensitif, misalnya dugaan keterlibatan polisi. “Misalnya ada temuan jenderal yang diduga terlibat, akan berbahaya jika sampai tersebar ke luar,” kata Hendardi. Ia mengunci mulut soal siapa saja jenderal-jenderal itu.

Pada awal Juli lalu, tim gabungan menyalin seluruh hasil pemeriksaan selama enam bulan dalam bentuk rekomendasi yang diserahkan kepada Kepala Kepolisian RI. Mereka menggelar rapat konsinyering hingga lima hari di salah satu apartemen di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, awal Juli lalu. Rapat itu mengagendakan pembahasan final rekomendasi tim. “Rapatnya dimulai dari sore hingga dinihari,” ujar anggota tim gabungan, Ifdhal Kasim.

Rapat konsinyering itu salah satunya bertujuan memilah informasi yang akan diserahkan kepada Kepala Polri Jenderal Tito Kar-navian. Menurut seseorang yang menge-tahui proses kerja tim gabungan, mereka mencoret rekomendasi-rekomendasi yang dinilai sensitif. Di antaranya keterlibatan na--ma-nama jenderal dan dugaan penyerang-an berkaitan dengan pemilihan kepala dae-rah DKI Jakarta pada Februari 2017.

Anggota sekaligus juru bicara tim gabungan pencari fakta, Hermawan Sulistyo, membantah soal pencoretan ini. Ia memastikan pokok pikiran anggota tim sudah menyatu sejak awal. “Tidak ada yang dicoret. Saya bertugas -sebagai copy editor-nya,” kata guru besar dari Lem-baga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu, Jumat, 2 Agustus lalu.

Rapat konsinyering itu juga menyimpulkan empat orang yang sebelumnya diduga terlibat penganiayaan Novel tidak bersalah. Mereka adalah Muhammad Hasan Hunusalela, Mukhlis Ohorella, Muhammad Lestaluhu, dan seorang personel Polda Metro Jaya, Ajun Inspektur Satu Yusmin Ohorella.

Seseorang yang mengetahui penelusuran kasus ini mengatakan tim gabungan terlambat menerima call detail record (CDR) dan cell dump empat orang tersebut sepuluh hari terakhir sebelum dan setelah penyiraman. CDR dan cell dump merupakan data yang berkaitan dengan penggunaan telekomunikasi, seperti panggilan telepon dan pesan pendek.

Mereka baru menerima data itu dari kepolisian sebulan sebelum masa tugas berakhir. Ini berakibat pada pemborosan masa kerja tim pakar yang menghabiskan berbulan-bulan memeriksa keterangan empat terduga. “Jika CDR dan cell dump sejak awal diserahkan, TGPF tidak perlu menghabiskan waktu menelusuri keempat terduga tadi,” ucapnya.

Hendardi menjelaskan, para personel tim berangkat ke berbagai daerah untuk menguji kesaksian Muhammad Hasan Hunusalela cs hingga ke kampung halaman masing-masing. Mereka turut memeriksa semua saksi yang berinteraksi dengan keempatnya. Namun ia membantah jika polisi disebut telat menyerahkan CDR dan cell dump. “Semua data sudah disiapkan sejak awal saat tim terbentuk, lalu sudah diperiksa satu per satu,” ujarnya.

Para pakar dan ahli di tim gabungan pencari fakta, kata sumber tadi, awalnya bekerja dengan baik di awal pembentukan. Mereka menelusuri satu demi satu petunjuk dengan baik. Salah satunya soal temuan kadar asam sulfat yang digunakan pelaku. Asam sulfat itu berjenis tidak pekat, yang artinya memang ditujukan hanya untuk melukai, bukan membunuh Novel.

Cover buku merah catatan finan­sial yang ditulis Kumala Dewi. Dok. Tempo

Tim bahkan sempat pernah membuka premis baru yang memperkirakan ada kelompok lain yang diduga sebagai eksekutor Novel. Salah seorang anggota tim pakar menyebutkan penyiraman air keras adalah ciri khas penjahat asal Pulau Sumatera, khususnya Sumatera Selatan.

Salah seorang anggota tim disebut sempat berkomunikasi dengan Inspektur Jenderal Andap Budhi Revianto, yang memiliki masa dinas yang panjang di Sumatera Selatan. Lulusan Akademi Militer 1988 ini disebut memiliki jaringan baik di sana. Andap kini menjabat Kepala Polda Riau. Tempo menghubungi Andap pada Jumat, 2 Agustus lalu. Ia menolak percakapan itu dikutip.

Dugaan adanya kelompok Sumatera ini diperkuat oleh kesaksian penjaga warung kopi di dekat rumah Novel bernama Nono. Ia mengaku ada kelompok pria berjumlah lima-tujuh orang bertandang ke warung menjelang penyiraman air keras. Salah satu anggota kelompok itu adalah pria berambut gondrong yang sketsanya sempat disebar polisi seusai penyerangan Novel.

Nono mengatakan pria gondrong dan teman-temannya tidak mengenal Muhammad Hasan Hunusalela cs karena tidak pernah berkomunikasi meski silih berganti mengunjungi warungnya. Ia memastikan pria gondrong itu dari pulau seberang karena mereka berkomunikasi dengan dialek asal Sumatera.

Hendardi lagi-lagi membantah. Ia mengaku mengetahui soal Nono dan sudah memeriksanya. Mereka tidak menemukan kesaksian soal kelompok asal Sumatera. Tim juga tidak pernah mewawancarai Inspektur Jenderal Andap Budhi. “Saya malah bingung adanya isu semacam ini,” katanya.

Setelah menerima rekomendasi tim gabungan pencari fakta, Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian membentuk tim teknis untuk menelusuri kasus Novel. Sebelum tim dibentuk, Presiden Joko Widodo meminta Tito menuntaskan kasus Novel dalam waktu tiga bulan. Tim baru beranggotakan 120 orang yang berasal dari spesialis pemburu bandit, seperti Detasemen Khusus 88 Antiteror. “Kali ini tim akan mendalaminya dengan berbagai sudut pandang,” ujar Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri.

MUSTAFA SILALAHI, ANTON APRIANTO, LINDA TRIANITA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mustafa Silalahi

Mustafa Silalahi

Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara ini bergabung dengan Tempo sejak akhir 2005. Banyak menulis isu kriminal dan hukum, serta terlibat dalam sejumlah proyek investigasi. Meraih penghargaan Liputan Investigasi Adiwarta 2012, Adinegoro 2013, serta Liputan Investigasi Anti-Korupsi Jurnalistik Award 2016 dan 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus