PD Pasar Jaya berniat menertibkan semua pasar babu yang semakin
banyak tumbuh di Jakarta. Tempat belanja seperti ini adalah
pasar yang menempel begitu saja di suatu tempat, dikelola oleh
swasta atau perorangan tanpa izin dari PD Pasar Jaya, perusahaan
milik Pemda DKI yang khusus mengurus pasar.
Disebut pasar babu karena umumnya berada di sepanjang gang yang
becek, menjual sayur-mayur dan bahan makanan lain dengan harga
miring dan terkadang bermutu rendah -- dan hanya
pembantu-pembantu rumah tangga saja yang lazim berbelanja di
sana. Para pedagang hanya menggelar jualannya pada pagi hari,
yaitu pada jam jam belanja. Tapi tak lupa perseorangan atau
swasta yang mengelolanya memungut "retribusi", Rp 100 sampai Rp
200 dari tiap pedagang. Sesudah itu kembali lengang, tapi tetap
becek dan terkadang berubah menjadi lapangan bola kecil.
Pasar jenis ini tersebar hampir di seluruh pelosok Jakarta.
Bukan saja di kampung-kampung yang belum memiliki pasar resmi,
tapi bahkan juga di dekat pasar resmi. Misalnya pasar seperti
ini terdapat di Duri llir, Kwitang Dalam, Rawasari dan Cikini.
Di belakang Pasar Cikini yang mewah dan dikenal sebagai tempat
belanja nyonya-nyonya Menteng itu, bahkan terdapat juga.
Letaknya sekitar 200 meter di belakang pasar itu, dalam sebuah
gang becek di atas tanah milik PJKA.
Suasana pasar-pasar babu serupa ini biasanya lebih ramai
dibanding pasar nyonya di sekitarnya. Malahan kalau tak kuat
bersaing, salah-salah pasar resmi terdesak. Pasar Inpres Senen
(Jakarta Pusat), yang semula dimaksudkan untuk menumpas
pedagang-pedagang kaki lima atau pasar-pasar liar di sekitarnya,
masih tetap sepi sampai hari ini, sementara di sebelah timurnya
tetap ada pasar liar di pinggir jalan. Juga di bilangan Tanjung
Priok (Jakarta Utara), sebuah pasar Inpres tetap mati tanpa
penjual maupun pembeli, karena kedua pihak ini lebih senang
bertemu di pasar becek yang tak jauh letaknya dari pasar resmi
tadi. Daya tarik pasar-pasar liar serupa itu selain pembeli
masih dapat menawar-nawar harga, juga pembelanja tak perlu malu
untuk membeli dalam "partai kecil."
Pada akhirnya pasar-pasar serupa itu menimbulkan masalah juga.
Terutama bila PD Pasar Jaya berpendapat lokasinya menyalahi
rencana. Pasar Multi Karya di Utan Kayu (Jakarta Timur) misalnya
dalam waktu dekat ini akan dibongkar Kamtib Jakarta Timur
setelah mendapat peringatan 3 kali. Pasar ini baru berdiri
September 1979 lalu di atas tanah seluas 25 x 45 meter di tengah
kampung. Pendirinya adalah seorang warga setempat setelah
disetujui lurah serta camat. Selain tanah terbuka, bagi para
pedagang disediakan juga 127 buah kios dan 98 pedagang telah
membuka usaha. Eddy Santosa, pengelolanya, mengakui pasar ini
tak punya izin resmi dari DKI. "Tapi saya bermaksud membantu
pemerintah, karena warga di sini butuh pasar," kata Eddy. Para
pedagang di sini dipunguti retribusi Rp 50 sampai Rp 150 sehari
oleh anak buah Eddy.
Tidak tepatkah bentuk (atau letak) pasar-pasar resmi yang telah
ada, sehingga masih muncul pasar liar? Juru bicara PD Pasar
Jaya, Djeremia, tak menanggapi pertanyaan itu. Yang pasti,
katanya, dari 165 hektar rencana lokasi pasar di Jakarta, sampai
hari ini baru terpenuhi 105 hektar. Sehingga, tambah Djeremia,
masih tercatat 33 ribu pedagang yang belum tertampung oleh PD
Pasar Jaya maupun Pasar Inpres. Sehingga, katanya, bila setiap
pedagang dipunguti retribusi Rp 50, berarti sehari sekitar Rp
1,6 juta tak masuk kas PD Pasar Jaya. Namun tak lupa Djeremia
mengakui, bahwa munculnya para pedagang di pasar-pasar babu tadi
juga karena modal mereka terlalu kecil untuk mendapat kios di
pasar-pasar resmi. Di Jakarta harga kios rata-rata per-M2 Rp
200.000. Sedang menurut Djeremia, pedagang-pedagang di pasar
babu rata-rata bermodal Rp 10.000, bahkan ada yang hanya Rp
5.000. Mana tahan bukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini