Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nyonya, di sana pasar babu

Pasar liar masih banyak, lokasi pasar resmi masih kurang. pada pasar jaya akan menertibkan pasar liar di dki.

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PD Pasar Jaya berniat menertibkan semua pasar babu yang semakin banyak tumbuh di Jakarta. Tempat belanja seperti ini adalah pasar yang menempel begitu saja di suatu tempat, dikelola oleh swasta atau perorangan tanpa izin dari PD Pasar Jaya, perusahaan milik Pemda DKI yang khusus mengurus pasar. Disebut pasar babu karena umumnya berada di sepanjang gang yang becek, menjual sayur-mayur dan bahan makanan lain dengan harga miring dan terkadang bermutu rendah -- dan hanya pembantu-pembantu rumah tangga saja yang lazim berbelanja di sana. Para pedagang hanya menggelar jualannya pada pagi hari, yaitu pada jam jam belanja. Tapi tak lupa perseorangan atau swasta yang mengelolanya memungut "retribusi", Rp 100 sampai Rp 200 dari tiap pedagang. Sesudah itu kembali lengang, tapi tetap becek dan terkadang berubah menjadi lapangan bola kecil. Pasar jenis ini tersebar hampir di seluruh pelosok Jakarta. Bukan saja di kampung-kampung yang belum memiliki pasar resmi, tapi bahkan juga di dekat pasar resmi. Misalnya pasar seperti ini terdapat di Duri llir, Kwitang Dalam, Rawasari dan Cikini. Di belakang Pasar Cikini yang mewah dan dikenal sebagai tempat belanja nyonya-nyonya Menteng itu, bahkan terdapat juga. Letaknya sekitar 200 meter di belakang pasar itu, dalam sebuah gang becek di atas tanah milik PJKA. Suasana pasar-pasar babu serupa ini biasanya lebih ramai dibanding pasar nyonya di sekitarnya. Malahan kalau tak kuat bersaing, salah-salah pasar resmi terdesak. Pasar Inpres Senen (Jakarta Pusat), yang semula dimaksudkan untuk menumpas pedagang-pedagang kaki lima atau pasar-pasar liar di sekitarnya, masih tetap sepi sampai hari ini, sementara di sebelah timurnya tetap ada pasar liar di pinggir jalan. Juga di bilangan Tanjung Priok (Jakarta Utara), sebuah pasar Inpres tetap mati tanpa penjual maupun pembeli, karena kedua pihak ini lebih senang bertemu di pasar becek yang tak jauh letaknya dari pasar resmi tadi. Daya tarik pasar-pasar liar serupa itu selain pembeli masih dapat menawar-nawar harga, juga pembelanja tak perlu malu untuk membeli dalam "partai kecil." Pada akhirnya pasar-pasar serupa itu menimbulkan masalah juga. Terutama bila PD Pasar Jaya berpendapat lokasinya menyalahi rencana. Pasar Multi Karya di Utan Kayu (Jakarta Timur) misalnya dalam waktu dekat ini akan dibongkar Kamtib Jakarta Timur setelah mendapat peringatan 3 kali. Pasar ini baru berdiri September 1979 lalu di atas tanah seluas 25 x 45 meter di tengah kampung. Pendirinya adalah seorang warga setempat setelah disetujui lurah serta camat. Selain tanah terbuka, bagi para pedagang disediakan juga 127 buah kios dan 98 pedagang telah membuka usaha. Eddy Santosa, pengelolanya, mengakui pasar ini tak punya izin resmi dari DKI. "Tapi saya bermaksud membantu pemerintah, karena warga di sini butuh pasar," kata Eddy. Para pedagang di sini dipunguti retribusi Rp 50 sampai Rp 150 sehari oleh anak buah Eddy. Tidak tepatkah bentuk (atau letak) pasar-pasar resmi yang telah ada, sehingga masih muncul pasar liar? Juru bicara PD Pasar Jaya, Djeremia, tak menanggapi pertanyaan itu. Yang pasti, katanya, dari 165 hektar rencana lokasi pasar di Jakarta, sampai hari ini baru terpenuhi 105 hektar. Sehingga, tambah Djeremia, masih tercatat 33 ribu pedagang yang belum tertampung oleh PD Pasar Jaya maupun Pasar Inpres. Sehingga, katanya, bila setiap pedagang dipunguti retribusi Rp 50, berarti sehari sekitar Rp 1,6 juta tak masuk kas PD Pasar Jaya. Namun tak lupa Djeremia mengakui, bahwa munculnya para pedagang di pasar-pasar babu tadi juga karena modal mereka terlalu kecil untuk mendapat kios di pasar-pasar resmi. Di Jakarta harga kios rata-rata per-M2 Rp 200.000. Sedang menurut Djeremia, pedagang-pedagang di pasar babu rata-rata bermodal Rp 10.000, bahkan ada yang hanya Rp 5.000. Mana tahan bukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus