HAKIM tinggal berkata "Apa lagi . . . ? Terus . . . ?" Dan
meluncurlah penakuan dari mulut Tahir bin Lebbu, terdakwa dalam
perkara pembunuhan gadis Bone, di Pengadilan Negeri sone akhir
bulan lalu. Semuanya lancar tidak meleset sedikitpun dari cerita
yang dibuka jaksa penuntut umum seperti dalam surat tuduhan.
Latar belakangnya pun mulai terungkapkan Suatu ikhtiar beberapa
orang di sana untuk menggeser kedudukan bupati, yang sekarang
dijabat H.P.B. Harahap dan mengembalikannya kepada pejabat
sebelumnya, Kolonel (Purn) H.M. Suaib.
Dengarlah pengakuan Tahir. Ia, 22 Maret 1979, diajak La Wali bin
Laraup ke Rumah makan Ramayana. Di situ sudah menunggu A.
Tajuddin dan Kopral Pol. I Mallaniung. Mereka minum dua botol
bir. Di meja lain Tahir melihat seorang wanita. Tajuddin
memperkenalkannya, katanya, wanita itu bernama Sumiaty.
Besoknya, dalam pertemuan di rumahmakan yang sama, Tajuddin
memberi instruksi "Itu perempuan yang kemarin, nanti dibunuh!"
Tahir, katanya, heran juga "Mengapa harus dibunuh?" Mula-mula
Tajuddin tak mau menjelaskan alasannya. Dia cuma berkata tegas:
"Tak usah tanya. Bunuh saja. Itu tanggungjawab saya." Namun
dalam pembicaraan selanjutnya, keluar juga "rahasia" dari mulut
Tajuddin. Pembunuhan Sumiaty, katanya seperti dikutip kembali
oleh Tahir, ada hubungannya dengan "rencana untuk mengembalikan
bupati lama." Sebab, "sejak dulu orang Bone tidak mau
diperintah bukan orang Bone."
Sebelumnya, kata Tahir, ia menolak pekerjaan tersebut. Alasannya
"Saya takut, puang yang memerintah, puang, sendiri akan
menangkap saya Koptu Mallaniung, katanya, membesar-besarkan
hatinya dengan bujukan "Mengapa takut? Saya 'kan dari polisi!"
Imbalan yang dijanjikan kepadanya juga menarik: ia akan diberi
pekerjaan bila Suaib kembali duduk di kabupaten.
Pembicaraan belum selesai ketika tiba-tiba muncul H.A. Sunre.
Begitu datang orang ini menyodorkan setumpuk uang yang
terbungkus saputangan dan terus berlalu. Tajuddin kemudian
membagikannya lewat kolong meja. Tahir sendiri, katanya,
mendapat Rp 50 ribu sedangkan La Wali kebagian Rp 100 ribu.
Semua itu baru uang muka dari Rp 500 ribu yang dijanjikan
Tajuddin sebagai upah.
Setelah mufakat segala sesuatunya direncanakan. Sumiaty, jika
benar nama perempuan itu, akan mereka bereskan malam itu juga.
Untuk berjaga-jaga, menurut Tahir lagi, Tajuddin dan Mallaniung
menyodorkan nama-nama Mappiare, Thamrin, Jakfar, Siri dan
Darwis, yang harus disebutnya bila tertangkap setelah membunuh
nanti.
Peristiwa selanjutnya -- seperti bagaimana menyeret Sumiaty ke
bawah pohon beringin di kuburan, lalu secara bergantian ia dan
La Wali menyetubuhi korban sebelum memenggal kepalanya -- diakui
Tahir tak beda dengan tuduhan Jaksa Arsjad Massie (TEMPO, 2
Februari). Besoknya, pembunuh dan perencananya berkumpul
kembali di Losmen Nasional. Di situ Tahir masih mendesak
Tajuddin dengan perranyaan seperti kemarin siapa sesungguhnya
yang menyuruh mereka melakukan pembunuhan. Tajuddin, katanya,
tetap berkata "Perintah dari pak Suaib." Tak terungkapkan lebih
jauh apa hubungannya kematian Sumiaty dengan upaya mengganti
bupati.
Rambut Berombak
Begitu sepanjang yang diakui Tahir. Hakim Ketua, Soedarsono
Djojohadiredjo, bertanya: apakah perempuan yang mereka bunuh
sama dengan yang diperkenalkan di Rumahmakan Ramayana?
Pertanyaan ini penting mengingat kenyataan polisi memunculkan
cerita yang berbeda yang mati adalah Hasnah atau Hasse, bukan
Sumiaty. Tahir tak dapat memastikan. "Saya lupa, saya hanya
melihatnya sepintas, lagi pula malam itu gelap." Hanya ciri-ciri
wanita yang bernama Sumiaty masih diingatnya kulitnya tidak
hitam (juga tidak terlalu kuning), rambut berombak sampai ke
bawah pundak, tubuhnya tidak gemuk dan tidak kurus. Begitu
saja.
Tak ada jalan lain bagi pengadilan, tampaknya, untuk berangkat
dari cerita selain yang sudah dibuka oleh pihak jaksa. Terdakwa
sudah pula mengakui dan membenarkan tuduhan. Apalagi pembela,
yang pada sidang sebelumnya mencoba mengungkit cerita lain
(versi kepolisian bahwa yang terbunuh bukan Sumiaty, tapi Hasnah
adanya, dengan orang-orang lain pula yang mendalanginya), juga
tidak tampak di kursinya lagi.
Mereka, Ali Abbas dkk dari LBH Univ. Hasanuddin, sebelumnya
memprotes jalannya peradilan -- yang dianggap tidak benar
mengadili suatu perkara yang dibawa oleh jaksa berdasarkan
penyidikan pihak yang tidak berwenang, Laksusda, bukannya fakta
yang diperoleh kepolisian. Dan protes para pembela ini mereka
akhiri dengan meninggalkan ruang sidang. Pada sidang berikutnya,
28 Januari, pengadilan benar-benar tidak menyediakan kursi bagi
mereka. Dan terdakwa, atas pertanyaan hakim --"apakah masih
perlu didampingi pembela?" enteng saja menjawab "Tidak perlu
lagi!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini