Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Saya Sumiaty, bukan Hasse

Kasus gadis bone. berkas perkara laksusda diproses terus. lbh universitas hasanuddin protes jalannya peradilan.

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAKIM tinggal berkata "Apa lagi . . . ? Terus . . . ?" Dan meluncurlah penakuan dari mulut Tahir bin Lebbu, terdakwa dalam perkara pembunuhan gadis Bone, di Pengadilan Negeri sone akhir bulan lalu. Semuanya lancar tidak meleset sedikitpun dari cerita yang dibuka jaksa penuntut umum seperti dalam surat tuduhan. Latar belakangnya pun mulai terungkapkan Suatu ikhtiar beberapa orang di sana untuk menggeser kedudukan bupati, yang sekarang dijabat H.P.B. Harahap dan mengembalikannya kepada pejabat sebelumnya, Kolonel (Purn) H.M. Suaib. Dengarlah pengakuan Tahir. Ia, 22 Maret 1979, diajak La Wali bin Laraup ke Rumah makan Ramayana. Di situ sudah menunggu A. Tajuddin dan Kopral Pol. I Mallaniung. Mereka minum dua botol bir. Di meja lain Tahir melihat seorang wanita. Tajuddin memperkenalkannya, katanya, wanita itu bernama Sumiaty. Besoknya, dalam pertemuan di rumahmakan yang sama, Tajuddin memberi instruksi "Itu perempuan yang kemarin, nanti dibunuh!" Tahir, katanya, heran juga "Mengapa harus dibunuh?" Mula-mula Tajuddin tak mau menjelaskan alasannya. Dia cuma berkata tegas: "Tak usah tanya. Bunuh saja. Itu tanggungjawab saya." Namun dalam pembicaraan selanjutnya, keluar juga "rahasia" dari mulut Tajuddin. Pembunuhan Sumiaty, katanya seperti dikutip kembali oleh Tahir, ada hubungannya dengan "rencana untuk mengembalikan bupati lama." Sebab, "sejak dulu orang Bone tidak mau diperintah bukan orang Bone." Sebelumnya, kata Tahir, ia menolak pekerjaan tersebut. Alasannya "Saya takut, puang yang memerintah, puang, sendiri akan menangkap saya Koptu Mallaniung, katanya, membesar-besarkan hatinya dengan bujukan "Mengapa takut? Saya 'kan dari polisi!" Imbalan yang dijanjikan kepadanya juga menarik: ia akan diberi pekerjaan bila Suaib kembali duduk di kabupaten. Pembicaraan belum selesai ketika tiba-tiba muncul H.A. Sunre. Begitu datang orang ini menyodorkan setumpuk uang yang terbungkus saputangan dan terus berlalu. Tajuddin kemudian membagikannya lewat kolong meja. Tahir sendiri, katanya, mendapat Rp 50 ribu sedangkan La Wali kebagian Rp 100 ribu. Semua itu baru uang muka dari Rp 500 ribu yang dijanjikan Tajuddin sebagai upah. Setelah mufakat segala sesuatunya direncanakan. Sumiaty, jika benar nama perempuan itu, akan mereka bereskan malam itu juga. Untuk berjaga-jaga, menurut Tahir lagi, Tajuddin dan Mallaniung menyodorkan nama-nama Mappiare, Thamrin, Jakfar, Siri dan Darwis, yang harus disebutnya bila tertangkap setelah membunuh nanti. Peristiwa selanjutnya -- seperti bagaimana menyeret Sumiaty ke bawah pohon beringin di kuburan, lalu secara bergantian ia dan La Wali menyetubuhi korban sebelum memenggal kepalanya -- diakui Tahir tak beda dengan tuduhan Jaksa Arsjad Massie (TEMPO, 2 Februari). Besoknya, pembunuh dan perencananya berkumpul kembali di Losmen Nasional. Di situ Tahir masih mendesak Tajuddin dengan perranyaan seperti kemarin siapa sesungguhnya yang menyuruh mereka melakukan pembunuhan. Tajuddin, katanya, tetap berkata "Perintah dari pak Suaib." Tak terungkapkan lebih jauh apa hubungannya kematian Sumiaty dengan upaya mengganti bupati. Rambut Berombak Begitu sepanjang yang diakui Tahir. Hakim Ketua, Soedarsono Djojohadiredjo, bertanya: apakah perempuan yang mereka bunuh sama dengan yang diperkenalkan di Rumahmakan Ramayana? Pertanyaan ini penting mengingat kenyataan polisi memunculkan cerita yang berbeda yang mati adalah Hasnah atau Hasse, bukan Sumiaty. Tahir tak dapat memastikan. "Saya lupa, saya hanya melihatnya sepintas, lagi pula malam itu gelap." Hanya ciri-ciri wanita yang bernama Sumiaty masih diingatnya kulitnya tidak hitam (juga tidak terlalu kuning), rambut berombak sampai ke bawah pundak, tubuhnya tidak gemuk dan tidak kurus. Begitu saja. Tak ada jalan lain bagi pengadilan, tampaknya, untuk berangkat dari cerita selain yang sudah dibuka oleh pihak jaksa. Terdakwa sudah pula mengakui dan membenarkan tuduhan. Apalagi pembela, yang pada sidang sebelumnya mencoba mengungkit cerita lain (versi kepolisian bahwa yang terbunuh bukan Sumiaty, tapi Hasnah adanya, dengan orang-orang lain pula yang mendalanginya), juga tidak tampak di kursinya lagi. Mereka, Ali Abbas dkk dari LBH Univ. Hasanuddin, sebelumnya memprotes jalannya peradilan -- yang dianggap tidak benar mengadili suatu perkara yang dibawa oleh jaksa berdasarkan penyidikan pihak yang tidak berwenang, Laksusda, bukannya fakta yang diperoleh kepolisian. Dan protes para pembela ini mereka akhiri dengan meninggalkan ruang sidang. Pada sidang berikutnya, 28 Januari, pengadilan benar-benar tidak menyediakan kursi bagi mereka. Dan terdakwa, atas pertanyaan hakim --"apakah masih perlu didampingi pembela?" enteng saja menjawab "Tidak perlu lagi!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus