Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Siap menderita dengan ludruk

Ludruk dari surabaya kebanyakan dari anggota bekas ludruk marhaen. hijrah ke jakarta & adanya yayasan yang akan menjadi semacam impresario. (hb)

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DATANG dari Surabaya, kini rombongan Ludruk Mandala ada niat bermukim di Jakarta. Dan sejak 1 Februari lalu selama 2 minggu mereka mengadakan pertunjukan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Debut pertama grup ini sudah dimulai sejak akhir tahun lalu. Atas undangan Panitia Kongres Internasional Dokter Akupuntur, untuk mencari dana, rombongan arek-arek Jawa Timur itu mencoba bermain di berbagai kelas pengunjung. Di panggung Bali Room (Hotel Indonesia Sheraton), Taman Ismail Marzuki dan di Gedung Wayang Orang sharata di bilangan Senen serra Gelanggang Remaja Jakarta Timur. Yayasan Seni Ludruk yang didirikan akhir Desember 1979 oleh dr. Suradi, Ketua Persatuan Dokter Akupuntur Indonesia, dimaksudkan sebagai wadah upaya pemukimannya di Jakarta. "Yayasan nantinya akan jadi semacam impresario," ujar Suradi. Yayasan sedang mengusahakan panggung tetap bagi mreka. Dan nama-nama seperti Budiardjo (eks Menteri Penerangan), Prof. Dr. Prayudi (bekas Rektor Universitas 17 Agustus), Sunardi DM (Ketua Serikat Penerbit Suratkabar) dan Harmoko (Ketua PWI Pusat) tercatat juga sebagai pengurus yayasan. Ludruk lahir di Jombang (Ja-Tim), entah kapan, adalah pertunjukan rakyat yang pernah berkembang pesat terutama di Jawa Timur. Sebuah paket kesenian yang berisi sandiwara, tari, nyanyi, musik dan lawak secara serempak. Seluruh pemain biasanya terdiri dari kaum pria, termasuk untuk peran wanita. Setiap rombongan, di samping menghibur, juga selalu menyampaikan pesan dari dan untuk penonton kritik dengan sindiran tajam dan bahasa Jawa-Timuran yang lugas. Dalam Ludruk Mandala pun pemain wanita tidak dipakai. "Kami tidak mau ambil risiko," kata Cak Samsudin. Begitu pun tak seorang anggota rombongan pun yang membawa keluarga. Tokoh ludruk paling terkenal adalah Cak Gondo Durasim yang setia membawa rombongannya, Ludruk Gondo Durasim, keliling kota dan pelosok desa. Tokoh ini pula yang menyebarkan pembaharuan seni ludruk seperti yang bisa dinikmati sekarang. Mulai dari zaman penjajahan selanda, riwayatnya habis di masa Jepang setelah Cak Durasim melemparkan sebuah parikan yang terlalu berani "Bekupon omahe doro, melu Nippon awak sengsoro." Ia ditahan dan meninggal di masa revolusi kemerdekaan. Utang di Warung Oleh bekas anggota rombongan, yang masing-maslng mengaku murid Cak Durasim, kesenian ludruk dikembangbiakkan dengan melahirkan kelompok penerus. Yang digemari rakyat antara lain Ludruk Marhaen di bawah komando Cak Ponijo. Dari Ponijo, yang meninggal 1950 di Sala, Cak Bowo memimpin rombongan selanjutnya, sebelum kemudian diteruskan Cak Samsudin sampai akhir Ludruk Marhaen dibekukan pada 1966. Cak Samsudin masuk tahanan bersama orang-orang PKI setelah peristiwa Gestapu. Sisa-sisa rombongannya kemudian diasuh oleh Inmindam (Induk Administrasi Kodam) VIII Brawijaya dengan nama Ludruk Wijayakusuma. Salah seorang tokohnya, Cak Djelal, eks Budruk Marhaen, kemudian mengundurkan diri 1970. Selepas dari Pulau Buru, 1978, Cak Samsudin dan teman-temannya sesama bekas Ludruk Marhaen menghimpun diri dalam wadah baru Ludruk Mandala. Peralatan lama mereka, musik dan gamelan, bisa diambil kembali dari tangan Inmindam. Juga, para pemain Wijayakusuma eks Ludruk Marhaen direkrur kembali: Cak Slamet Haryono (pemeran wanita terbeken), Cak Rukun (pelawak), Cak Matasin, Cak Karman (pemain kendang terkenal), Cak Mufakat, Cak Djijo, Cak Djali dan Cak Tomoyang semuanya adalah tulang punggung perludrukan dan umumnya murid generasi pertama Cak Durasim. Cak Djelal (58 tahun) memimpin rombongan dan Cak Samsudin (51) bertindak sebagai sutradara di samping ikut beraksi di panggung. Seperti ketika nenek moyangnya mulai dulu, sebelum ke Jakarta rombongan ini merangkak dari bawah bermain keliling (hingga kini belum punya tempat meneduh secara tetap) mengharapkan rakyat masih menyukai kesenian mereka seperti masa silam. Lakon lama seperti Pak Sakerah, Sarip Tambakyoso, dan Sawunggaling masih tetap disuguhkan -- tentu saja dengan pesan-pesan mutakhir. Lakon yang terhitung kreasi anak ludruk sendiri seperti Mawar Merah di Lereng Merapi, Kunanti di Yogya (karya Ponijo, 1947, yang sudah difilmkan) atau Gelombang Trikora, tak kurang pula mendapat penonton. Mengapa Marhaen Ludruk Mandala, bagi Cak Djelal, belum apa-apa memang. Kebiasaan dalam Ludruk Marhaen saja, seperti menyisihkan dana untuk kesejahteraan anggota bila tidak meludruk, belum berhasil. Dulu: jika lima malam manggung, maka hasil salah satu malam di antaranya, sepenuhnya disisihkan untuk kas kesejahteraan. Sekarang belum mampu begitu. Ke-53 anggota rombongannya, boleh dikatakan masih megap-megap. Namun begitu, menurut Djelal, pantangan Ludruk Marhaen masih retap berlaku. Bagaimana pun sepinya anggota rombongan dilarang meninggalkan utang di warung tempat mereka bermain. "Lebih baik puasa untuk beberapa hari daripada tercemar," katanya. Pendapatan dari tiap pertunjukan mereka bagi menurut kelas anggota rombongan A, B dan C. Kelas A Rp 2.000, B Rp 1.750 dan C Rp 1.500. Dalam Ludruk Mandala itulah, memang, Cak Samsudin berharap masa keemasan ludruk melebihi masa Cak Durasim sendiri. Dulu sudah sekitar 40 lakon ludruk sudah "dikodifikasikan." Sekarang entah ke mana. Di samping itu, kata Samsudin, sekarang perlu semacam pendidikan teater dan seni akting bagi pemain ludruk. Sebab, lanjutnya, kalau cuma mengulangi sukses Ludruk Marhaen saja, "nggak usah saja!" Tak kalah penting dari semua itu, semangat para pemain masih bisa diharapkan. Malah "mereka ikhlas menderita," kata Samsudin. Pasaran ludruk sepi bahkan juga di basis mereka sendiri, di Jawa Timur. Mengapa tidak kembali menjadi Ludruk Marhaen yang sudah beken? Cak Djelal mengembalikan pertanyaan "Mengapa harus pakai Marhaen?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus