DATANG dari Surabaya, kini rombongan Ludruk Mandala ada niat
bermukim di Jakarta. Dan sejak 1 Februari lalu selama 2 minggu
mereka mengadakan pertunjukan di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Debut pertama grup ini sudah dimulai sejak akhir tahun lalu.
Atas undangan Panitia Kongres Internasional Dokter Akupuntur,
untuk mencari dana, rombongan arek-arek Jawa Timur itu mencoba
bermain di berbagai kelas pengunjung. Di panggung Bali Room
(Hotel Indonesia Sheraton), Taman Ismail Marzuki dan di Gedung
Wayang Orang sharata di bilangan Senen serra Gelanggang Remaja
Jakarta Timur.
Yayasan Seni Ludruk yang didirikan akhir Desember 1979 oleh dr.
Suradi, Ketua Persatuan Dokter Akupuntur Indonesia, dimaksudkan
sebagai wadah upaya pemukimannya di Jakarta. "Yayasan nantinya
akan jadi semacam impresario," ujar Suradi. Yayasan sedang
mengusahakan panggung tetap bagi mreka. Dan nama-nama seperti
Budiardjo (eks Menteri Penerangan), Prof. Dr. Prayudi (bekas
Rektor Universitas 17 Agustus), Sunardi DM (Ketua Serikat
Penerbit Suratkabar) dan Harmoko (Ketua PWI Pusat) tercatat juga
sebagai pengurus yayasan.
Ludruk lahir di Jombang (Ja-Tim), entah kapan, adalah
pertunjukan rakyat yang pernah berkembang pesat terutama di Jawa
Timur. Sebuah paket kesenian yang berisi sandiwara, tari,
nyanyi, musik dan lawak secara serempak. Seluruh pemain biasanya
terdiri dari kaum pria, termasuk untuk peran wanita. Setiap
rombongan, di samping menghibur, juga selalu menyampaikan pesan
dari dan untuk penonton kritik dengan sindiran tajam dan bahasa
Jawa-Timuran yang lugas. Dalam Ludruk Mandala pun pemain wanita
tidak dipakai. "Kami tidak mau ambil risiko," kata Cak Samsudin.
Begitu pun tak seorang anggota rombongan pun yang membawa
keluarga.
Tokoh ludruk paling terkenal adalah Cak Gondo Durasim yang setia
membawa rombongannya, Ludruk Gondo Durasim, keliling kota dan
pelosok desa. Tokoh ini pula yang menyebarkan pembaharuan seni
ludruk seperti yang bisa dinikmati sekarang. Mulai dari zaman
penjajahan selanda, riwayatnya habis di masa Jepang setelah Cak
Durasim melemparkan sebuah parikan yang terlalu berani "Bekupon
omahe doro, melu Nippon awak sengsoro." Ia ditahan dan
meninggal di masa revolusi kemerdekaan.
Utang di Warung
Oleh bekas anggota rombongan, yang masing-maslng mengaku murid
Cak Durasim, kesenian ludruk dikembangbiakkan dengan melahirkan
kelompok penerus. Yang digemari rakyat antara lain Ludruk
Marhaen di bawah komando Cak Ponijo. Dari Ponijo, yang meninggal
1950 di Sala, Cak Bowo memimpin rombongan selanjutnya, sebelum
kemudian diteruskan Cak Samsudin sampai akhir Ludruk Marhaen
dibekukan pada 1966.
Cak Samsudin masuk tahanan bersama orang-orang PKI setelah
peristiwa Gestapu. Sisa-sisa rombongannya kemudian diasuh oleh
Inmindam (Induk Administrasi Kodam) VIII Brawijaya dengan nama
Ludruk Wijayakusuma. Salah seorang tokohnya, Cak Djelal, eks
Budruk Marhaen, kemudian mengundurkan diri 1970.
Selepas dari Pulau Buru, 1978, Cak Samsudin dan teman-temannya
sesama bekas Ludruk Marhaen menghimpun diri dalam wadah baru
Ludruk Mandala. Peralatan lama mereka, musik dan gamelan, bisa
diambil kembali dari tangan Inmindam. Juga, para pemain
Wijayakusuma eks Ludruk Marhaen direkrur kembali: Cak Slamet
Haryono (pemeran wanita terbeken), Cak Rukun (pelawak), Cak
Matasin, Cak Karman (pemain kendang terkenal), Cak Mufakat, Cak
Djijo, Cak Djali dan Cak Tomoyang semuanya adalah tulang
punggung perludrukan dan umumnya murid generasi pertama Cak
Durasim.
Cak Djelal (58 tahun) memimpin rombongan dan Cak Samsudin (51)
bertindak sebagai sutradara di samping ikut beraksi di panggung.
Seperti ketika nenek moyangnya mulai dulu, sebelum ke Jakarta
rombongan ini merangkak dari bawah bermain keliling (hingga kini
belum punya tempat meneduh secara tetap) mengharapkan rakyat
masih menyukai kesenian mereka seperti masa silam. Lakon lama
seperti Pak Sakerah, Sarip Tambakyoso, dan Sawunggaling masih
tetap disuguhkan -- tentu saja dengan pesan-pesan mutakhir.
Lakon yang terhitung kreasi anak ludruk sendiri seperti Mawar
Merah di Lereng Merapi, Kunanti di Yogya (karya Ponijo, 1947,
yang sudah difilmkan) atau Gelombang Trikora, tak kurang pula
mendapat penonton.
Mengapa Marhaen
Ludruk Mandala, bagi Cak Djelal, belum apa-apa memang. Kebiasaan
dalam Ludruk Marhaen saja, seperti menyisihkan dana untuk
kesejahteraan anggota bila tidak meludruk, belum berhasil. Dulu:
jika lima malam manggung, maka hasil salah satu malam di
antaranya, sepenuhnya disisihkan untuk kas kesejahteraan.
Sekarang belum mampu begitu.
Ke-53 anggota rombongannya, boleh dikatakan masih megap-megap.
Namun begitu, menurut Djelal, pantangan Ludruk Marhaen masih
retap berlaku. Bagaimana pun sepinya anggota rombongan dilarang
meninggalkan utang di warung tempat mereka bermain. "Lebih baik
puasa untuk beberapa hari daripada tercemar," katanya.
Pendapatan dari tiap pertunjukan mereka bagi menurut kelas
anggota rombongan A, B dan C. Kelas A Rp 2.000, B Rp 1.750 dan C
Rp 1.500.
Dalam Ludruk Mandala itulah, memang, Cak Samsudin berharap masa
keemasan ludruk melebihi masa Cak Durasim sendiri. Dulu sudah
sekitar 40 lakon ludruk sudah "dikodifikasikan." Sekarang entah
ke mana. Di samping itu, kata Samsudin, sekarang perlu semacam
pendidikan teater dan seni akting bagi pemain ludruk. Sebab,
lanjutnya, kalau cuma mengulangi sukses Ludruk Marhaen saja,
"nggak usah saja!"
Tak kalah penting dari semua itu, semangat para pemain masih
bisa diharapkan. Malah "mereka ikhlas menderita," kata Samsudin.
Pasaran ludruk sepi bahkan juga di basis mereka sendiri, di Jawa
Timur. Mengapa tidak kembali menjadi Ludruk Marhaen yang sudah
beken? Cak Djelal mengembalikan pertanyaan "Mengapa harus pakai
Marhaen?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini