SEPERTI lain-lain pelabuhan di Indonesia, menjelang 1 Oktober
lalu pelabuhan laut Tanjungpinang yang terkenal runyam dan rawan
oleh bermacam pungli (TEMPO 16 Juli 77) pun ikut berbenah.
"Sudah dibentuk satgas Opstib di sini" kata Tatang Mukhtar
Kepala Pelabuhan Tanjungpinang yang baru. Tapi jangan mengharap
cerita bahwa di pelabuhan ini ada yang sempat dipecat atau
diskors, seperti cerita lainlain pelabuhan. Sebab, selain satgas
Opstib pelabuhan Tanjungpinang itu baru muncul, pun kini masih
sibuk rapat. "Baru tahap menginventarisir masalah" begitu jelas
Tatang, yang sebelumnya bertugas di Tanjungpriok!
Nah dari sekian soal yang terkumpul, tampaknya ada satu soal,
yang memang sudah sqak lama disorot. Yaitu "Pentrapan SK Menhub
tentang OPT/PPT" begitu tambah Tatang selaku ketua team Satgas
Opstib. Soalnya, meskipun SK Menhub itu sudah nongol sejak tahun
1974, namun pelabuhan Tanjungpinang terhitung istimewa dan tak
pernah melaksanakan keputusan itu. Dalam soal bongkar muat
misalnya, tarlfnya bukan Rp 1.224 per ton, tapi menurut apa
maunya buruh yang membongkar. Contohnya, untuk tiap potong
barang, pemiliknya mesti merogoh kantong tak kurang Rp 250. Tak
heran kalau biaya mi pernan dikecam sebagai tarif bongkar muat
termahal di dunia. Tentu saja ini bukan maunya buruh UKA itu.
Tapi kabarnya sudah ada restu dari pihak Kepala Pelabuhan
sendiri. Sebab dari Rp 250 itu, 50%-nya masuk ke kas BPP
Tanjungpinang.
Yang lebih parah karena tak dilaksanakannya ketetapan Menhub
tentang tarif jasa di pelabuhan itu, adalah perkara sewa gudang
BPP. Para pengusaha yang berurusan dengan BPP sejak lama rrlrasa
digorok. Bayangkan, "Tiap potong barang kami mesti bayar Rp 14
sehari" begitu keluh seorang pengusaha. Untuk itu ditunjuknya
selembar nota tagihan dari BPP: 50 potong barang, disimpan
selama 5 hari, berarti harus bayar Rp 3.500. Padahal, menurut
peraturan resmi dari Menhub, justru tarif Rp 14 itu adalah tiap
meter kubik barang sehari. "Kami sudah berkali-kali menyampaikan
keberatan" kata Imam Sudradjad ketua DPC Insa Tanjungpinang.
Cuma pihak BPP Tanjungpinang tampaknya tak mau melayani.
Akibatnya, banyak barang tertimbun di gudang karena para pemilik
tak kuat memikul ongkos. Ada yang lebih dari 5 bulan tetap di
gudang.
Apakah sistim tarif model Tanjung pinang ini diketahui Ditjen
Perhubungan Laut? "Setahu saya tidak" begitu jelas Tatang.
Buktinya, "tak ada SK khusus yang rnengecualikan pelabuhan ini."
Dan begitu muncul instruksi agar pelabuhan-pelabuhan di
Indonesia segera diopstib-kan, maka kepada Tatang disodori
atasannya sebuah instruksi agar status tarif bongkar muat dan
tarif gudang di Pelabuhan Tanjungpinang ditertibkan. Karena "di
klasifikasikan sebagai punli" begitu simpul Tatang lagi.
Uang Beras & Pendaratan
Menghadap urusan tarif gudang dan tarif bongkar muat ini saja
Tatang cukup repot. Belum lagi yang di luar instansinya, yang
dengan kedudukannya sebagai ketua team opstib, harus juga
dijamah. Misalnya urusan pungli terhadap kapal-kapal motor
yang-menjalani trayek Tanjungpinang-Singapura. Tiap kapal per
trip harus bayar uang pendaratan kepada pihak Imigrasi, Rp 2000.
Lalu, uang beras Rp 15 ribu sebulan. MSkipun sudah tercetus
opstib "kami masih bayar uang pendaratan dan beras itu" kata
seorang pengusaha pelayaran. Belum untuk kantor kesehatan
pelabuhan yang tiap kapai dari Singapura tetap diminta uang over
time Rp 2.000. Anehnya seperti diakui seorang petugas imigrasi
bagian pendaratan, sudah 6 bulan mereka tak pernah terima uang
pungli itu. "Dengarnya masih terus dibayar" tambah petugas itu
polos. Ke mana perginya?
Nah, makanya seperti kata Imam Sudradjad, Ketua DPC Insa
Kepulauan Riau yang juga duduk sebagai anggota satgas Opstib
pelabuhan Tanjungpinang, soal menghapus pungli di pelabuhan ini,
"perlu kemauan semua pihak dan bukan hanya formalitas karena
takut dipecat atasan" kata Imam yang terkenal rajin bicara keras
itu. Ini disetujui Tatang. Tapi apakah mereka berhasil?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini