"TAK ada yang kuhargai selain persahabatan: Persahabatan di antara orang seorang, di antara bangsa-bangsa. Benar, persahabatan punya makna kesetiaan. Tapi itu tidak identik dengan perbudakan atau hubungan tanpa syarat." Ucapan itu dilontarkannya tak lama setelah ia terpilih sebagai presiden Kosta Rika, salah satu negeri di Amerika Tengah, Mei tahun lalu. Dan itu bukan kata-kata yang mudah dengan pernyataan itu, Oscar Arias Sanchez seolah menantang Ronald Reagan, Presiden AS. Sebab, perdamaian di Amerika Tengah tak akan mungkin terwujud tanpa perdamaian antara beberapa pemerintahan dan kesatuan gerilyawan yang dicoba ditindas. Dan salah satu gerakan gerilyawan itu, Contra di Nikaragua, jelas-jelas mendapat dukungan politik dan persenjataan dari AS. Toh, Oscar Arias, presiden termuda dalam sejarah Kosta Rika, terus berupaya mewujudkan cita-citanya. Agustus lalu tercapailah yang disebut Pakta Contadora -- perjanjian perdamaian regional tanpa sanksi antara Guatemala, Honduras, El Salvador, Nikaragua, dan Kosta Rika. Pakta itu mengimbau diberlakukannya gencatan senjata, perdamaian, dan amnesti bagi tahanan politik. Arsitek semuanya ini adalah orang itu Oscar Arias, 47 tahun. Itulah, antara lain, yang menyebabkan pengagum mendiang John F. Kennedy itu memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini. Hadiah yang berarti sangat banyak. Bukan karena hadiah sebesar US$ 340.000 yang akan diterimakan kepadanya Desember nanti. Bukan karena ia menyisihkan 92 calon yang lain, misalnya Presiden Corazon Aquino. Tapi keputusan dari Oslo, tersebut seolah memberi perlindungan baginya untuk meneruskan cita-cita damai itu. Atau menurut kata-kata seorang aktivis perdamaian dari The Carnegie Endowment for International Peace di Washington, "Hadiah itu membuat posisi Reagan menjadi repot, karena tak lagi berhadapan dengan hanya seorang presiden, melainkan juga seorang pemenang Nobel." Barangkali keturunan pengusaha kopi terkaya di negeri yang kini berpenduduk sekitar 2,5 juta ini memang dilahirkan bagi perdamaian. Sejak sebelum menjadi presiden, ia telah bercita-cita melihat Amerika Tengah sebagai kawasan damai. Karena itu, ia rajin berkampanye dari ibu kota ke ibu kota. Karena itu, ia banyak dikritik sebagai orang yang melupakan urusan negerinya sendiri dan sibuk dengan kegiatan diplomasi. Antara rencana damai yang nyata dan publisitas perdamaian yang dilakukan dengan berpakaian renik-renik, Oscar Arias lebih memilih yang kedua," tulis editorial koran La Nacion yang terbit di San Jose, ibu kota Kosta Rika. Bisa jadi, ini semua bermula ketika seorang anak muda, anggota klub sepak bola di San Jose, dengan optimistis memasuki pintu Fakultas Kedokteran di Boston University. Pemuda yang konon pemalu itu berniat mengabdi pada kemanusiaan dengan menjadi dokter. Tapi pada suatu malam, Arias, kala itu masih 19 tahun, tercengang melihat debat dua calon presiden AS, Kennedy dan Nixon, di televisi. Ia langsung jatuh hati kepada Kennedy, waktu itu 43 tahun -- calon presiden termuda sepanjang sejarah AS -- dari Partai Demokrat. Salah satu topik kampanye Kennedy yang rupanya mengetuk angkatan muda AS waktu itu ialah anjuran agar kaum muda tak cepat puas dengan keadaan. Pada tangan mereka sendirilah, kata Kennedy, kemajuan bangsa terletak. Rupanya, tak cuma generasi muda AS yang terkagum-kagum pada tokoh muda itu. Oscar Arias muda pun kepencut, dan lalu menjadikan Kennedy tokoh idealnya. Berbeloklah perhatian si calon dokter. Ia pun pulang kandang ke San Jose, menukarkan buku tentang penyakit dengan buku kumpulan undang-undang: ia masuk Fakultas Hukum dan Ilmu Ekonomi di Universitas Kosta Rika. Mulailah Oscar Arias muda melirik ke dunia politik. Masuklah ia ke dalam Partido de Liberacion Nacional -- Partai Nasional Liberal. Tak lama kemudian muncullah pandangan pertamanya tentang politik internasional. Eseinya berjudul LQ Crisis de Berlin muncul di sebuah jurnal bernama Combate. Ini sebenarnya karangan Oscar Arias untuk sayembara penulisan yang diselenggarakan oleh koran La Nacion. Tak jelas adakah esei Oscar mendapat nomor atau tidak. Kemungkinan besar tidak, karena tak disebut-sebut dimuat dalam La Nacion. Yang jelas, tulisan yang dengan tajam mengulas krisis Berlin sebagai akibat pertarungan antara hasrat merdeka dan kekuasaan totaliter itu begitu mengesankan para pemimpin Partai Nasional Liberal. Dan karena itu, beberapa tahun kemudian Arias bersama Jose Figueres Ferre, orang tertua di Partai Nasional Liberal, mendirikan kelompok studi yang kegiatannya terutama mendiskusikan masalah-masalah dalam negeri. Sebenarnya, keluarga kopi Sanchez tidak asing dengan dunia pemerintahan dan politik. Kakek Oscar dari garis ayah, selain pengusaha kopi kaya raya, juga pernah menjadi menteri dan anggota badan legislatif yang punya nama. Kakeknya dari garis ibu pun anggota badan legislatif dan pendiri perusahaan kopi keluarga. Kegiatan Oscar dalam partai jalan terus. Antara lain ia aktif mendukung Daniel Oduber dalam pemilihan presiden pada 1965 -- tapi baru pada pemilihan 1974 Oduber terpilih sebagai presiden. Tapi, sementara itu, ia pun tak meninggalkan kuliahnya. Maka, orang yang bercita-cita menjadi dokter pada awalnya ini lulus dari Universitas Kosta Rika sebagai sarjana hukum dengan predikat istimewa. Ia kemudian memperoleh beasiswa dari pemerintah Inggris. Di London School of Economics and Political Science dan di University of Essex, Arias, pemuda dari Amerika Tengah itu, pun tak mengecewakan. Suatu hari di tahun 1969 Oscar kembali ke negerinya untuk menulis disertasi tentang latar belakang ekonomi para pemimpin politik Kosta Rika. Dari University of Essex, akhirnya ia memperoleh gelar tertinggi dalam dunia akademis: doktor. Sebagai profesor di Universitas Kosta Rika, pada 1970 ia memperoleh bintang penghargaan dari negara. Itulah rupanya pintu menuju terwujudnya cita-cita. Dua tahun setelah menerima bintang, Oscar Arias diangkat menjadi Menteri Perencanaan Nasional dan Ekonomi. Dan sampai 1977 ia tetap berada dalam kabinet, salah satu sebabnya, pada 1974 Daniel Oduber dari Partai Nasional Liberal -- pemimpin partai yang pernah dia bantu kampanyenya 9 tahun sebelumnya memenangkan pemilihan presiden. Sebagaimana umumnya cendekiawan, perhatian Arias tak terbatas pada bidangnya. Di samping membuka simposium dengan mengundang berbagai ahli di segala bidang untuk mendiskusikan masa depan politik dan ekonomi Kosta Rika -- hasilnya sebuah buku tentang Kosta Rika di tahun 2000 -- ia sempat berbuat sesuatu di lain sektor. Pada 1976 ia mendirikan Plaza de la Cultura. Sebuah tempat lapang dengan sejumlah bangunan di tengah ibu kota San Jose untuk kegiatan kebudayaan dan kesenian. Setelah berada dalam lembaga eksekutif, ganti ia masuk lembaga legislatif, pada 1978. Dari lembaga ini kritik-kritik Oscar Arias terhadap pemerintahan Rodrigo Carazo Odio -- presiden negeri ini waktu itu -- mengalir dengan tajam. Memang, masa orde Odio dari Partido Unidad Social Cristiana -- Partai Persatuan Kristen Sosialis -- dikenal sebagai zaman pemerintahan yang tidak efektif sepanjang sejarah Kosta Rika, yang merdeka pada 15 September 1821 ini. Pelan-pelan bendera Oscar Arias Sanchez naik. Dan akhirnya pada 1979 ia sampai di puncak kepemimpinan Partai Nasional Liberal. Pada pemilihan ketua partai masa berikutnya, 1983, ia terpilih kembali. Di dunia internasional nama Oscar pun mulai dikenal. Sebelum menjadi ketua partai, ia diangkat sebagai anggota Dewan Perundingan Utara Selatan yang bersidang di Roma, Italia, pada 1977. Dan pada banyak konperensi intemasional tentang negara Dunia Ketiga ia banyak ambil bagian. Dan, akhimya, Januari 1985 Oscar Arias mempersiapkan diri untuk pemilihan presiden. Di masa itulah baru pandangannya tentang sejumlah hal muncul. Umpamanya, ia menentang keras tuntutan land reform pihak komunis di negeri yang hanya seluas 52.000 km2 (lebih sempit daripada Aceh). Arias tak percaya bahwa pembagian tanah akan menolong kaum pekerja dan petani. Ia lebih percaya pada kenaikan upah dan kestabilan harga hasil pertanian yang relatif tinggi sebagai cara meningkatkan taraf hidup kaum buruh dan petani. Yakni dengan dukungan pengembangan pertanian dan industri di segi teknisnya, dan pengikutsertaan masyarakat setempat pada segi kebijaksanaannya. "Kami tak bisa memakai petunjuk dari Amerika Serikat. Yang kami butuhkan adalah sekolah-sekolah kejuruan dan sejenis riset tentang lapangan kerja. Dan untuk itu, yang paling penting adalah meningkatkan kualitas guru. Caranya, meningkatkan gaji mereka dan lebih banyak menawarkan beasiswa untuk belajar di luar negeri...," katanya suatu ketika, dalam wawancara dengan majalah Commonwealth. Di saat kampanye pemilihan presiden berlangsung, Kosta Rika dalam suasana muram. Utang negara mencapai US$ 4,5 milyar, hingga Bank Dunia bisa menekan kebijaksanaan dalam negeri ini. Ketika negeri ini hendak mencairkan utang US$ 80 juta, Bank Dunia mensyaratkan pengurangan pegawai negeri, penghapusan sejumlah pajak impor, dan pengurangan dana bagi Dewan Produksi Nasional. Dalam suasana seperti itulah Arias Sanchez berkampanye dengan tema pemenuhan kebutuhan "papan, kerja, dan perdamaian". Tema terakhir itulah, gagasannya tentang perdamaian di kawasan Amerika Tengah, rupanya klop dengan yang dicitakan oleh sebagian besar masyarakatnya. Akhirnya, bapak dua anak ini mengalahkan saingannya, Rafael Angel Calderon Fournier, bekas menteri luar negeri yang gagal dalam kampanye pemilihan presiden 1982. Bisa dimaklumi bila perdamaian memang sangat didambakan oleh orang Kosta Rika. Negeri kecil ini sangat merasa terganggu dengan hadirnya 250.000 pengungsi dari berbagai negara Amerika Tengah -- sebagian besar dari Nikaragua -- yang menimbulkan banyak masalah. Ini bisa dipahami karena di antara negeri-negeri Amerika Tengah Kosta Rika tergolong damai. Sejak 1949 misalnya, tak ada lagi angkatan bersenjata. Keamanan negara cuma dijaga oieh orang sipil yang dilatih militer. Dan ternyata gagasan itu tak cuma bergema sebatas Amerika. Panitia Hadiah Nobel, yang rupanya sulit menentukan di antara 92 calon yang masuk, di saat-saat terakhir memilih calon yang diusulkan belakangan, calon ke-93, sebagai orang yang pantas memperoleh hadiah itu. Mungkin, Oscar Arias Sanchez, yang pada 1973 menikah dengan Margarita Penon Gongora -- sarjana biokimia dari Vassar College, AS -- memang bertekad mewujudkan apa yang dikatakannya ketika ia baru saja dilantik menjadi presiden. Yakni, politikus yang sering menulis jurnal ilmiah ini ingin menjadikan Kosta Rika "oase perdamaian dan kemerdekaan" di Amerika Tengah yang panas oleh konflik senjata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini