Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari di kantor Tempo, masih di Pegangsaan Timur, Jakarta, saya berpapasan dengan Priyanto Sunarto yang rupanya baru dari Bandung. "Naik apa?" saya bertanya. "Biasa, saya ini kan trainset, belum bisa jetset," jawabnya.
Tokoh kartunis ini rasanya memang duplikat karyanya atau lebih tepat karyanya mencerminkan pribadinya: kocak, santai, dan easy going, suka menertawai diri sendiri. Begitulah kartunnya yang hampir selalu muncul di Tempo sejak awal 1970-an, pun kartunnya untuk media lain (Forum, D&R, Kontan) sebelum Tempo yang dibredel terbit kembali, tak jauh beda. Itu sebabnya ia menyebut diri trainseter Bandung-Jakarta pergi-pulang agar selalu bisa hadir di rapat redaksi media bersangkutan, setidaknya bertemu dengan redaksinya, terutama sebelum pengiriman gambar lewat e-mail bisa mudah dan cepat.
Pri S.-demikian tanda tangan pada kartun-kartunnya-diakui sebagai kartunis yang karyanya khas: figur-figur ciptaannya mengesankan "pribumi", diwujudkan dengan garis yang "seenaknya" dan ekspresif (antara lucu dan tragis).
Kartunnya tak sekadar deskriptif, tapi juga beropini. Ada sesuatu yang lain di luar masalah sosial-politik yang sedang hangat. Itulah kelebihannya. Dan yang lain umumnya sesuatu yang kocak, menyindir, dan "kena". Ini sebuah contoh kartunnya yang saya ingat, tentang penggusuran sawah pak tani. Sebuah traktor melabrak lahan pertanian. Di belakang traktor, tumbuh tanaman industri. Sedangkan di depan traktor, pak tani lari terbirit-birit, terpaksa menanam padi di lahan yang mustahil, lahan yang tegak lurus.
Namun Pri S., lulus dari Jurusan Seni Grafis Seni Rupa Institut Teknologi Bandung pada 1973, sesungguhnya bukan hanya kartunis. Meski boleh jadi dia memandang diri sendiri lebih sebagai kartunis, disertasinya berjudul "Metafora Visual Kartun Editorial pada Surat Kabar Jakarta 1950-1957" (2005). Kata dia suatu kali dalam wawancara dengan Darminto M. Sudarmo, seorang kartunis juga, "Saya ngikutin aja gimana situasi minta saya berperan apa. Jadi tukang kartun, jadi guru, jadi babysitter, joker, penggembira, kacung kampret.…"
Jadi tampaknya arus hidup sehari-hari itulah yang membuat sebagian besar karyanya berupa kartun editorial.
Yang jelas, ia selalu mengasah "senjata"-nya: menggambar. Bagi Pri S., menggambar bukan sekadar kegiatan menggaris, melainkan juga kegiatan berpikir dan bertualang secara imajiner ke mana pun, termasuk untuk "tersesat", untuk menemukan hal tak terduga yang "beterbangan di sekeliling kepala".
Dan tampaknya "senjata" Pri S. adalah multiguna, menggambar bisa untuk apa saja: logo, ilustrasi, sampul buku, poster, topeng untuk teater, dan yang disebut sebagai karya grafis bebas. Juga untuk menjadi dosen di almamater dan Institut Kesenian Jakarta, setidaknya. Dengan kata lain, Pri S. adalah "pasukan khusus" yang siap diterjunkan ke mana pun.
Bagi saya, karya grafis bebasnya mencerminkan hasil "petualangan imajiner" lebih dari jenis karya yang lain. Karya grafis bebasnya mengajak kita untuk juga ikut bertualang dan menemukan hal tak terduga yang unik. Jauh sebelum film Star Wars, figur-figur dalam karya bebas Pri S. telah menampilkan makhluk-makhluk berkepala ganjil, dengan warna-warna tak jelas merah-hijaunya, tapi nyaman dipandang.
Itu semua dimulai dengan karya skripsi yang memvisualkan sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri, sajak-sajak yang membebaskan kata dari makna; ilustrasi cerita pendek Danarto, cerita pendek yang imagis; dan fiksi George Orwell, novelis yang menggambarkan kekuasaan totaliter dalam tokoh yang disebut Bung Besar.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo