Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TULISAN Omah Munir di Jalan Bukit Berbunga, Kota Batu, Jawa Timur, tercetak dengan huruf besar. Rumah jembar berhalaman asri ini selalu menarik perhatian mereka yang melintas, termasuk wisatawan yang menikmati udara sejuk Kota Batu, terutama saat akhir pekan.
Tapi, Ahad dua pekan lalu, tak satu pun mobil berhenti dan menurunkan penumpangnya di rumah tersebut. Omah Munir sepi pengunjung. Suasananya hening. "Sudah biasa. Tiap hari begini," kata Ari Prayitno, anggota staf Omah Munir.
Bangunan seluas 250 meter persegi itu sudah seperti museum. Hanya pada hari-hari tertentu didatangi banyak orang. Menjadi salah satu obyek wisata, rumah ini dikenal sebagai tempat menyimpan berbagai informasi soal hak asasi manusia. Khususnya menyangkut Munir (almarhum), yang pernah tinggal bersama keluarganya di sini.
Omah Munir dirancang untuk mengundang keramaian dan melawan lupa atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Karena itu, saban bulan, sudah tersusun berbagai agenda kegiatan. "Seperti sarasehan, pemutaran film, dan diskusi soal HAM," ucap Salma Safitri, Direktur Eksekutif Omah Munir. Menurut dia, Omah Munir sudah difungsikan sebagai Pusat Pendidikan Hak Asasi Manusia.
Pemerintah daerah mendukung kehadiran Omah Munir sebagai obyek wisata alternatif. "Apa yang diperjuangkan almarhum penting bagi kita semua," ujar Wakil Wali Kota Batu Punjul Santoso ketika meresmikan Omah Munir pada 8 Desember 2013. Panjul berjanji menyokong biaya perawatan Omah Munir.
Abdul Mukhtie Fadjar dari Dewan Pengawas Omah Munir sangat senang bila tempat tinggal pribadi Munir itu dijadikan obyek sejarah HAM di Indonesia. "Berwisata ke Kota Batu belum lengkap kalau tidak berkunjung ke Omah Munir," kata mantan hakim konstitusi itu. Ia menambahkan, ini upaya agar rakyat tidak melupakan kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Tidak mudah mempopulerkan perjuangan Munir ataupun sejarah perjuangan HAM di Indonesia melalui Omah Munir. Menurut Ari Prayitno, dalam sepekan, jumlah pengunjung berkisar 50-an orang. Kebanyakan dari komunitas mahasiswa dan pegiat HAM.
Salma Safitri mengakui masyarakat kurang mengenal Omah Munir. Mayoritas pelajar di Kota Batu tidak banyak mengetahui tokoh pembela hak asasi manusia dan pendiri lembaga Imparsial serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) tersebut. Itu sebabnya ia mengajak pengelola Omah Munir jemput bola. Informasi tentang sejarah kelam pelanggaran HAM di masa lalu, terutama pada era Orde Baru, penting untuk dipahami generasi sekarang dan yang akan datang.
Caranya dengan mendatangi sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama dan atas. Memperkenalkan Omah Munir, menurut dia, juga dilakukan ke berbagai perguruan tinggi. "Harapannya, soal HAM bisa masuk sebagai bahan tambahan bahan ajar di PPKn (pelajaran pendidikan kewarganegaraan) atau di kegiatan ekstrakurikuler," ujar Salma, yang juga aktif di kelompok Solidaritas Perempuan.
Langkah awal, Salma melanjutkan, ada tim yang menyusun buku tentang HAM. Literatur ini dilengkapi foto dan ilustrasi, sehingga menarik untuk dibaca. Pembuatan buku rencananya melibatkan pakar pendidikan, psikologi, dan sejarah. "Mengenai pendanaan, baru bisa kami pastikan sumbernya pada Januari tahun depan," katanya.
Saat ini biaya operasional Omah Munir bergantung pada donasi dermawan dan masyarakat. Pengurus Omah Munir menampung sumbangan melalui nomor rekening di sebuah bank pemerintah. Langkah lain, menjalin kerja sama dengan sejumlah organisasi yang memiliki semangat sama soal HAM. "Hasil kerja sama sebagian disisihkan ke kas Omah Munir," tutur Salma.
Suciwati, istri Munir, mengatakan Omah Munir sepenuhnya digagas para sahabat Munir. Mereka berhimpun dalam Perkumpulan Munir, yang merancang berbagai kegiatan meneruskan perjuangan Munir. Omah Munir merupakan tempat yang menginspirasi dan sebagai sumber pendidikan HAM.
"Menjadikan omah (rumah) pertama di Indonesia yang berisi koleksi tematik tentang HAM bukan tujuan utama kami. Sama sekali tak ada niat dari kami untuk mengkultuskan Munir," kata Suci.
Kendati kerap dikunjungi orang, Omah Munir tidak selalu aman. Pada September tahun lalu, Omah Munir dijarah. Penjarah masuk dengan cara merusak pintu utama. Mereka mengobrak-abrik salah satu kamar. Beberapa peralatan kerja, seperti kamera digital dan komputer jinjing yang berisi dokumen kegiatan Munir bersama Suciwati, dibawa kabur. Peralatan olahraga, seperti sepeda statis, juga disikat pencuri.
Namun benda-benda berharga lain tetap aman di Omah Munir, di antaranya perhiasan, televisi, dan sepeda motor. Kasus ini sudah dilaporkan ke kepolisian setempat, tapi sampai kini belum ditemukan pelakunya.
Meski pernah disatroni pencuri, Omah Munir di kaki Gunung Arjuna itu tetap dibuka untuk umum. Pengunjung bisa melihat beragam koleksi pribadi Munir dan kisah perjuangannya. Semasa hidup, tenaga Munir seperti dihibahkan untuk membela rakyat. Kiprahnya dimulai dari profesi sebagai pengacara di kantor Lembaga Bantuan Hukum di Surabaya sampai kemudian hijrah ke Jakarta.
Perjuangannya itu terdokumentasi dan terpajang di delapan ruangan di Omah Munir. Di antara ruangan itu ada patung Munir, ruang kantor dan pusat informasi, ruang utama untuk display perjuangan Munir, kisah Munir dan Kontras, ruang koleksi dan peristiwa, dinding kisah Munir dan keluarga, ruang baca dan pertemuan, kafe, serta ruang suvenir.
Omah Munir juga menyampaikan beragam informasi ihwal sejarah perjuangan HAM di Indonesia selama lebih dari empat dekade.
Luthfi Jayadi Kurniawan, mantan Direktur Eksekutif Omah Munir, menjelaskan, isu-isu penting, seperti kekerasan negara terhadap individu dan persoalan impunitas yang masih berlaku dalam budaya politik Indonesia, juga terdokumentasi. "Termasuk kisah-kisah perjuangan para aktivis HAM lainnya, seperti Yap Thiam Hiem dan H.J.C. Princen," ucapnya.
Suciwati mengharapkan semua properti di Omah Munir bermanfaat bagi masyarakat. Menurut dia, nilai tertinggi rumah yang dibeli Munir bisa ikut mencegah terjadinya kasus pelanggaran HAM di masa mendatang. Tapi yang paling berarti di sana, kata Suci, adalah sebuah panggung berukuran 3 x 4 meter. Dulu, di tempat itu, Munir bercengkerama dengan anggota keluarganya. Tempat itu juga dipakai untuk bekerja. "Panggung itu Munir banget," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo