Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fitri Nganthi Wani,
Putri Wiji Thukul, penyair yang dihilangkan Orde Baru menjelang Reformasi 1998
SUCIWATI, Alif Allende, dan Diva Suukyi Larasati, bagiku, mengingat Munir sama halnya dengan mengingat Wiji Thukul, bapakku. Kedua sosok itu adalah dua titik yang menghubungkan dua ujung benang merah. Bapak saya diculik dan dihilangkan karena dianggap subversif. Sesungguhnya ia memperjuangkan hak rakyat kecil yang ditindas dan diperlakukan tidak adil pada era kekuasaan Soeharto.
Munir dibunuh. Ia adalah pejuang hak asasi manusia yang memperjuangkan penuntasan kasus penghilangan paksa. Munir dan bapak saya seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Mereka membeli sepaket kebenaran dengan keberanian dan nyawa mereka sendiri.
Mempertahankan sesuatu yang kita yakini benar di tengah masyarakat yang mudah lupa, tak mau berempati, dan ogah belajar sejarah memiliki tantangan tersendiri. Menjaga amanah perjuangan dari mereka yang telah pergi bukan perkara gampang.
Saya pernah marah ketika Jokowi mengangkat bekas Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono sebagai salah satu penasihat Rumah Transisi, lembaga ad hoc yang mempersiapkan pemerintahan Jokowi. Kemarahan itu menuai banyak kecaman dari pendukung Jokowi. Beberapa di antara mereka bahkan dengan menyakitkan mengajukan pertanyaan konyol: apa hebatnya Wiji Thukul dibanding Hendropriyono? Di pihak lain, oleh pendukung Prabowo, sikap saya itu dijadikan bahan untuk menyerang pihak lawan.
Kita tahu Jokowi sudah berjanji. Menjanjikan keadilan untuk bapak saya adalah menjanjikan keadilan untuk Munir dan untuk semua korban pelanggaran hak asasi manusia. Saya tak ingin melupakan janji itu demi keadilan bersama—tidak peduli siapa di balik si pemberi janji.
Menjadi orang terdekat dari sosok yang dihilangkan penguasa bukanlah hal mudah. Ada yang memberi sanjungan dan penguatan. Tapi tak sedikit yang menunjukkan sikap negatif atau menyakiti. Yang paling sederhana adalah ketika seorang istri meminta surat keterangan suami yang hilang di kelurahan. Seorang petugas nyeletuk: "Memangnya ditaruh di mana suaminya? Kok, bisa hilang?"
Seorang istri harus terlihat kuat ketika anak-anak yang belum memahami keadaan bertanya tentang keberadaan bapak mereka: "Kenapa kami tidak bisa bertemu dengan Bapak lagi? Di mana Bapak? Mengapa Bapak dibunuh?"
Ketika kanak-kanak itu beranjak dewasa, mereka harus menahan diri agar terlihat baik-baik saja di depan ibunya yang menjadi kian payah mengurus rumah tangga sendirian, rapuh dan sensitif, terkadang meledak-ledak—kondisi kejiwaan akibat membendung perasaan campur aduk yang siap diluapkan ke siapa pun, termasuk ke pemerintah.
Luka batin keluarga korban adalah luka terus-menerus yang mengorbankan aspek-aspek kehidupan mereka: psikis, ekonomi, hubungan dengan masyarakat, keadministrasian negara, keharmonisan dalam keluarga.
Luka yang ditimbulkan oleh ketidakadilan negara di masa lalu berbuntut panjang dan turut melukai generasi-generasi berikutnya apabila penyebab luka itu tidak segera terobati. Luka itu hanya dapat disembuhkan oleh proses peradilan yang adil terhadap pelaku. Tidak ada orang tua yang mau membuat anaknya menderita. Tidak ada anak yang mau melihat orang tuanya kesulitan.
Untuk Suciwati, istri Munir, dan kedua anaknya, pelukku untuk kalian semua. Sakit kalian adalah sakitku juga. Pada diri kalian, aku melihat diriku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo