Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA ribuan peserta apel mahasiswa di kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat, pada Selasa siang, 15 Januari 1974, mendadak kalang-kabut. Dua jam setelah apel dimulai, sebelum acara kelar, para pemimpin mahasiswa memerintahkan mereka kembali ke kampus masing-masing. Penyebabnya, muncul kabar bakal terjadi huru-hara.
Pada Selasa pagi, demonstran yang terdiri atas mahasiswa dan aktivis nonkampus berkumpul di Sekretariat Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Peserta unjuk rasa yang memprotes kebijakan ekonomi pemerintah sepakat acara dipusatkan di kampus Trisakti.
Mereka mulai berjalan kaki dari Salemba sekitar pukul 08.00 menuju Jalan Raden Saleh, lalu ke Cikini, Gambir, dan Merdeka Timur. "Kami orasi di Stasiun Cikini," tutur Judilherry Justam, waktu itu Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa UI, bulan lalu. Pada saat yang sama, Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka bertamu ke Presiden Soeharto di Istana Kepresidenan.
Konvoi mampir di Monumen Nasional, mencari tambahan massa. "Tentara sudah berjaga di Monas. Kami aman saja," kata Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI ketika itu.
Di depan Balai Kota Jakarta dan kantor Lembaga Ketahanan Nasional, mereka menurunkan bendera. Terjadilah bentrok kecil dengan aparat. Demonstran lantas meneruskan langkah melewati Museum Gajah, belok ke Jalan Tanah Abang III, kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS)-lembaga pemikir bentukan Ali Moertopo, asisten pribadi Soeharto. Dari sini, konvoi menuju Grogol melalui Cideng.
Setelah apel dibubarkan, mahasiswa kembali ke kampus menumpang truk. Judilherry, yang menuju Salemba, menuturkan, sebelum mencapai Museum Nasional, demonstran dihentikan tentara. Mereka dipaksa belok melewati Harmoni. "Pas sampai di Jalan Juanda, kami melihat mobil-mobil dibakar," ucapnya. "Dari belakang, ada yang berteriak, 'serbu!'."
Adapun Hariman pulang bareng Wakil Ketua Dewan Mahasiswa UI Gurmilang Kartasasmita naik mobil lewat jalur biasa. Sampai di UI, sekitar pukul 14.00, rombongan belum tiba. "Kami sudah mendengar ada pembakaran," kata Hariman. Tak lama berselang, Judilherry tiba sambil berlari. "Dia lapor, tembakan di mana-mana."
Jenderal Soemitro, ketika itu Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menuding kelompok Ali Moertopo berada di balik amuk massa yang menunggangi demonstrasi mahasiswa. Ia mengutip laporan intelijen, penuturan bekas anak buah Ali, juga dokumen rahasia yang diperoleh setelah pensiun. Informasi itu ditulis dalam bukunya, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74.
Menurut Soemitro, Ali menggerakkan massa melalui jaringan Operasi Khusus yang dipimpinnya. Soemitro merasa hendak disingkirkan, bersama Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Sutopo Juwono. Ia menuding Opsus menggunakan jaringan intel lepas, CSIS, dan sejumlah tokoh Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI)-organisasi bentukan Golkar untuk kepentingan Pemilihan Umum 1971.
Soemitro juga menuding massa binaan Ali terdiri atas preman, tukang becak, dan bekas aktivis Darul lslam/Tentara Islam Indonesia yang didatangkan dari Karawang, Jawa Barat. Komandan pelaksana operasi diserahkan kepada anggota Opsus, Bambang Trisulo, didukung sejumlah mahasiswa UI, seperti Freddy Latumahina, Leonard Tomasoa, dan Aulia Rachman, yang disebut Kelompok 10. Menurut Soemitro, serangkaian pertemuan digelar untuk mematangkan aksi, yakni di Jalan Sabang, Jalan Salemba, dan Jalan Timor.
Bambang Trisulo direkrut Ali pada pengujung kekuasaan Presiden Sukarno. Di bukunya, Soemitro menyebutkan, Bambang sering melibas musuh-musuh politik zaman Orde Lama. Ketika Sukarno tumbang, ia dikejar rival-rivalnya. Ali datang menyelamatkan, dan kemudian merekrutnya.
Bambang menggelontorkan uang Rp 30 juta untuk memuluskan gerakan Malari. "Menjelang akhir hidupnya, Bambang dekat dengan saya," kata Soemitro dalam bukunya.
Menurut Aulia Rachman, Bambang adalah pengusaha pengelola hak pengusahaan hutan di Indonesia timur. Bambang penggemar kuda, memiliki peternakan kuda di Malang, Jawa Timur. "Bambang tangan kanan Ali Moertopo," ucap Aulia, kini anggota Badan Hukum dan Hak Asasi Manusia Partai Golkar, Selasa pekan lalu.
Aulia menolak dianggap anak buah Ali dan Bambang dalam urusan Malari. "Saya bertemu dengan Bambang hanya kalau berdiskusi bersama Ali Moertopo," ujarnya. Menurut dia, Ali sering berdiskusi dengan kalangan pemuda untuk menguatkan pemerintahan Soeharto. Belakangan, kegiatan itu memunculkan ide pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Heru Cahyono, dalam Peranan Ulama dalam Golkar, menyebutkan Aulia tergabung dalam kelompok binaan Ali di UI bernama Small Group sebelum ada Kelompok 10. Mereka kerap main kasar terhadap rekan sesama mahasiswa yang berbeda haluan politik. Bahkan mereka menolak demonstrasi 15 Januari 1974 "menyambut" Tanaka.
Namun beberapa anggotanya terlihat bersama massa di depan kampus UI Salemba pada 16 Januari, termasuk Aulia, Freddy, Leonard, dan Djarot Santoso. Mereka ikut berteriak-teriak menuju Pertamina dan kantor PT Astra di Jalan Sudirman. Lalu terjadilah pembakaran mobil.
Aulia membantah menunggangi demonstrasi. "Tapi pasti ada yang menunggangi. Entah itu Soemitro entah Ali Moertopo," ucapnya.
Soemitro juga menuduh pendiri CSIS, Jusuf Wanandi, dan adiknya, Sofjan Wanandi. Sofjan, 73 tahun, dulu dikenal sebagai Liem Bian Khoen, disebut Soemitro sering menggelontorkan duit Soedjono Hoemardani, asisten pribadi Presiden Soeharto, kepada GUPPI pada awal 1970-an. "Ada urusan apa Liem Bian Khoen yang bukan muslim mondar-mandir ke kantor Guppi dengan sedan mewah warna hitamnya?" Soemitro menulis.
Sofjan dan Jusuf Wanandi disebut Soemitro berperan secara konseptual dalam jaringan Ali dan Soedjono. Aktivis mahasiswa 1966 ini bergabung dengan Golkar. Mereka juga ikut melahirkan CSIS, yang disokong Ali-Soedjono.
Soemitro menyodorkan bukti keterlibatan Sofjan. Ia mengutip percakapan Roy Simanjuntak, yang mengorganisasi tukang becak pada 15 Januari, dengan Sofjan esok harinya. Waktu itu Roy ketakutan diburu Polisi Militer. Ketika itu, menurut Soemitro, Sofjan mengatakan, "Kalau ada apa-apa, sebut saja nama Soedjono dan Ali Moertopo." Dalam buku Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980 (1992), Roy disebut menerima uang muka Rp 350 ribu untuk membiayai massa.
Kepada Tempo, Sofjan membantah terlibat Malari atau menyuplai duit untuk GUPPI. Tapi ia mengakui pernah berkunjung ke kantor organisasi itu di samping pusat belanja Sarinah. "Saya tahu selalu diawasi intel Soemitro kalau datang ke sana," ujarnya Selasa pekan lalu.
Kubu Soemitro menuduh sebagian pemimpin GUPPI dipakai Ali untuk menggalang massa penyulut kerusuhan pada 15-16 Januari. Sofjan membenarkan kelompok itu dirangkul Soedjono menjelang 1970 untuk mendongkrak suara Golkar, yang dicitrakan anti-Islam. Golkar pun menang Pemilu 1971. Balasannya, GUPPI mendapat akses ke Presiden Soeharto. Soedjono dan Ali anak buah Soeharto sejak menjabat Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) IV/Diponegoro, Jawa Tengah, pada 1950-an.
Sofjan menilai GUPPI tak terlibat Malari. Menurut dia, kerusuhan betul-betul disulut oleh mahasiswa. "Orang GUPPI bukan preman. Mereka dari pesantren yang lugu-lugu," tuturnya. Ia balik menuding Soemitro "menggunakan intel picisan untuk mendiskreditkan GUPPI".
Menurut dia, Malari meledak akibat perseteruan Jenderal Soemitro melawan Ali. "Yang dibukukan oleh Soemitro hanya analisis dari pihak yang kalah," ujarnya. Aulia berkesimpulan yang sama. Menurut dia, Soemitro memiliki basis kekuatan di Kodam V/Brawijaya, Jawa Timur. Adapun Ali mengakar di Kodam IV/Diponegoro. Keduanya sama-sama ingin menjadi presiden, tak mau Soeharto terlalu lama menjabat seperti Sukarno.
Aulia mengakui berseberangan dengan Hariman. Kelompok 10, kata dia, didirikan untuk "mengganyang mahasiswa yang berpolitik", seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Organisasi itu dianggapnya bergerak seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia di era Sukarno, yang menjadi sayap politik Partai Nasional Indonesia.
Untuk mengganjal HMI di UI, Kelompok 10 menjagokan Hariman menjadi Ketua Dewan Mahasiswa. Belakangan Hariman malah menunjuk aktivis HMI, Judilherry Justam, sebagai sekretaris jenderal. "Gue enggak mau diatur-atur," ujar Hariman, November lalu. Ia juga menggelar diskusi-diskusi yang isinya mengkritik kebijakan ekonomi Soeharto.
Kubu Ali pun meradang. Kelompok 10 berusaha menjatuhkan Hariman. Pada 15 Januari 1974, Dewan Mahasiswa UI pimpinan Hariman tetap bergerak menggelar apel mahasiswa. Sebelum apel di Trisakti itu usai, kerusuhan pecah. Jakarta dibakar demonstran liar.
Dipaksa Sakit Lalu 'Selesai'
PADA Agustus 1974, rumah tahanan militer di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat, heboh. Di penjara itu beredar kencang kabar keterlibatan Mayor Jenderal Ali Moertopo dalam kerusuhan Malari. Sumber informasinya justru "orang-orang Ali", kelompok Ramadi yang juga diterungku di sana.
Ramadi ditangkap karena diduga terlibat dalam kerusuhan Malari. Sebelum ditangkap, Ramadi menjadi penasihat Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI). Tapi bukan karena aktif di GUPPI nama Ramadi menjadi beken. Nama dia dikait-kaitkan dengan dokumen yang menyatakan akan ada gerakan mendongkel Presiden Soeharto.
Laporan yang selanjutnya dikenal sebagai "Dokumen Ramadi" itu menyebutkan ada seorang jenderal berinisial "S" yang bakal menggulingkan Soeharto pada April-Juni 1974. Orang pun menduga-duga "Jenderal S" tersebut adalah Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro. Maklum, sewaktu dokumen itu beredar, Soemitro tengah aktif berkunjung ke kampus-kampus untuk berdialog dengan mahasiswa.
Salah seorang tokoh GUPPI, Maizir Achaddyns, dalam buku Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: Dari Pemilu sampai Malari yang ditulis Heru Cahyono, membenarkan beredarnya dokumen rencana makar itu. Namun, menurut dia, dokumen itu tidak dibuat Ramadi. Ia hanya menerima dokumen itu dari seorang intel tak dikenal yang datang ke kantor GUPPI. Karena isinya menyebut ada usaha menggulingkan pemerintah Soeharto, Ramadi menyerahkan dokumen itu ke Mayor Jenderal Soedjono Hoemardani, asisten pribadi Presiden Soeharto. Selanjutnya, dokumen itu sampai ke tangan Soeharto.
Adapun Jenderal Kharis Suhud, dalam buku Catatan Seorang Prajurit, mengatakan dokumen itu merupakan bahan mentah operasi intelijen. Kala itu, Pusat Intelijen Strategis, unit intelijen di bawah Komando Hankam yang dikepalai Kharis, mencurigai gerakan kelompok Ramadi di kantor GUPPI, Jalan Timor 14, Jakarta Pusat. Lalu digelarlah operasi penyelidikan yang diberi kode "Kembang Sepatu". Operasi dipimpin Letkol Ali Rachmad. Sebelum operasi selesai, catatan mentah intelijen itu telah bocor.
Soemitro mendengar keberadaan dokumen itu dari Letnan Jenderal Sutopo Juwono, Kepala Badan Koordinasi Intelijen, jauh hari sebelum Malari meletus. Sutopo menyebutkan dokumen itu sudah sampai di tangan Presiden. Namun, karena Sutopo mengatakan Presiden tidak mempercayai dokumen itu, Soemitro pun mengabaikannya. Soemitro tak menyangka bahwa kelak, seusai huru-hara Malari, Soeharto menjadikan "Dokumen Ramadi" sebagai salah satu alasan melucuti jabatannya.
Setelah petaka 15 Januari 1974 meletus, pemerintah menangkap orang-orang yang dianggap terlibat. Sejumlah tokoh GUPPI juga ditangkap bersama Ramadi. Mereka adalah Suadi, Baharsan, Aminuddin Day, Aminuddin Ramadi, Kiai Nur, Maizir Achaddyns, Roy Simanjuntak, dan Jenderal Juhroh.
Heru Cahyono, yang mewawancarai sejumlah tokoh GUPPI itu, menulis kelompok Ramadi digerakkan Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Tak hanya disokong dana, mereka juga diiming-imingi jabatan. Ramadi, misalnya, dijanjikan menjadi Menteri Dalam Negeri.
Bukannya memperoleh jabatan, Ramadi dkk justru mendekam di penjara tanpa kejelasan kapan dibebaskan. Itu membuat mereka sakit hati dan merasa dikhianati. Akhirnya kelompok yang semula loyal itu "menggigit tuannya" sendiri. Mereka mengembuskan kabar Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani ada di balik Malari.
Pada awal Desember 1974, Rumah Tahanan Militer Boedi Oetomo kembali geger. Ramadi yang tampak sehat digiring ke Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta. Di depan tahanan lain, dia sempat menolak karena merasa tidak sakit. Tapi Ramadi akhirnya bersedia berangkat setelah dijanjikan dia hanya akan menjalani pemeriksaan kesehatan rutin.
Begitu sampai rumah sakit, Ramadi dilarang kembali. Pihak rumah sakit juga melarang keluarga menjenguk dia.
Satu pekan kemudian, bekas "binaan" Ali Moertopo itu koma dan meninggal.
Banyak pihak menduga Ramadi sengaja dibunuh. Soemitro, dalam Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74, mengatakan Ramadi sengaja dibungkam karena tahu terlalu banyak tentang permainan di belakang layar kasus Malari. "Ini salah satu teori dalam intelijen. Kalau seseorang sudah tahu terlalu banyak, ia harus dilenyapkan," demikian tulis Soemitro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo