Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Tamu Negara Mendarat di Halim

Dewan mahasiswa aktif berkoordinasi dengan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro menjelang kedatangan Perdana Menteri Jepang. Alot membahas rute demonstrasi.

13 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAM sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Gedung Student Center Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta Pusat, masih ramai oleh puluhan perwakilan dewan mahasiswa perguruan tinggi se-Jawa. Mereka, pada 14 Januari 1974 itu, menggelar rapat untuk mengevaluasi demonstrasi menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, beberapa jam sebelumnya.

Dalam demo itu mahasiswa memblokade jalan utama bandara. Beberapa menteri yang bertugas menjemput tak diberi jalan. Meski tentara berjaga ketat, beberapa mahasiswa lolos menerobos ke landasan pacu. Begitu Tanaka turun dari tangga pesawat, mereka membentangkan poster bernada protes. Sejurus kemudian tentara menciduk beberapa mahasiswa.

Setelah demo di Halim, malam itu juga perwakilan dewan mahasiswa bergerak ke gedung Student Center UI. Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI, sudah siap memimpin rapat persiapan demonstrasi besok paginya, Selasa 15 Januari 1974. Judilherry Justam, Sekretaris Jenderal Dema UI, mengatakan rapat berlangsung alot. "Ada ancaman dari Jenderal Maraden Panggabean bahwa demonstrasi dilarang mendekati Istana Negara," katanya kepada Tempo, Ahad pekan lalu. Peringatan Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus Panglima Angkatan Bersenjata RI itu dikabarkan melalui koran-koran.

Rapat persiapan aksi 15 Januari itu dipimpin Gurmilang Kartasasmita, Wakil Ketua Dewan Mahasiswa UI, sahabat Hariman. Dua tema yang dibicarakan adalah rencana dialog dengan Tanaka dan menentukan rute unjuk rasa. Menurut Gurmilang, perdebatan berlangsung bertele-tele dan menguras tenaga mahasiswa selepas demo di Halim. Tiba-tiba Hariman yang terlihat letih meminta Gurmilang menemui Jenderal Soemitro, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).

Soemitro disebut-sebut sebagai jenderal yang dekat dengan kelompok Hariman. Dia mengaku salah satu pemimpin militer yang menjamin dialog mahasiswa dan Tanaka dapat digelar. Hariman, yang mengatakan dekat dengan Soemitro, berpikir bahwa Miang, begitu sahabatnya itu biasa disapa, tak bakal menemui kendala. Rupanya Gurmilang, yang juga merasa letih, hanya menelepon Soemitro. Panggilan dia hanya diangkat asisten Soemitro, Kolonel Agus, yang mengabarkan bosnya sedang rapat.

Dalam biografinya, Soemitro mengatakan permintaan dialog dengan Tanaka datangnya dari Dema UI. Permintaan itu disampaikan menjelang kedatangan Tanaka. "Sekitar hari-hari pertama Januari (1974), kantor Kopkamtib kedatangan rombongan mahasiswa pimpinan Hariman, juga pimpinan mahasiswa kampus lain," katanya.

Dalam pertemuan itu Soemitro sudah mencium semangat anti-Jepang. Ia ingat dengan percakapan di antara mahasiswa itu. "Apa-apa kok Jepang, mobil Jepang, kulkas Jepang, kipas angin Jepang, segala macam Jepang," begitu Soemitro menirukan mahasiswa. Kendati mewanti-wanti untuk tidak menggelar demonstrasi jalanan, Soemitro mendukung gagasan mahasiswa berdialog dengan Tanaka.

Soemitro memanggil charge d'affaires (kuasa usaha), pejabat paling senior, Kedutaan Besar Jepang. Kesempatan itu ia gunakan menyampaikan pendapatnya mengenai perilaku orang-orang Jepang di Indonesia. Sentilan Soemitro senapas dengan kritik mahasiswa. Belakangan, pihak Kedutaan Jepang menyepakati jadwal dialog digelar pada Rabu, 16 Januari 1974.

Sehari menjelang Tanaka datang, Laksamana Soedomo, wakil Soemitro, menyampaikan mahasiswa mengubah rencana dari dialog tertutup menjadi dialog jalanan. "Maunya Dema UI ini apa," Soemitro marah. Ia meminta Soedomo segera menemui mahasiswa bahwa aksi jalanan dilarang dan bakal diciduk. "Demonstrasi ada akibatnya, bisa ditunggangi dan akan ada looter (penjarahan dan perampokan)," ujarnya.

Pimpinan dewan mahasiswa itu memang mengubah rencana menjadi aksi jalanan. Perubahan dibahas dalam rapat di gedung Student Center UI. Pembahasan ini tak kalah alot, yakni menentukan rute aksi. Pengumuman Jenderal Panggaben yang mengancam menciduk demonstran yang mendekat Tugu Monas dan Istana menjadi pertimbangan kuat. "Kami tidak ingin ada pencidukan," kata Judilherry.

Pembahasan rute aksi berlangsung lama karena kelompok nonkampus menginginkan aksi jalanan melewati Istana atau dipusatkan di Monas. Kelompok nonkampus ini antara lain Jopie Lasut, Jesse A. Monintja, dan Jusuf A.R. Ketiganya dibolehkan bergabung dalam rapat itu karena lama terlibat gerakan mengkritik strategi pembangunan yang diusung kelompok kampus atau mahasiswa.

Situasi yang semakin tegang membuat kelompok nonkampus tak mudah bergabung dalam rapat. Awalnya mereka hanya menunggu di luar gedung Student Centre. Kehadiran mereka dilihat Gurmilang yang telat datang. Setelah melapor kepada Hariman dan kawan-kawan, kelompok nonkampus ini dapat melebur.

Terhadap usul kelompok nonkampus yang ingin merangsek ke Istana, para mahasiswa tak kalah ngotot menentangnya. Kelompok kampus ingin demonstrasi menyusuri jalan-jalan Ibu Kota.

Hampir tiga jam berdebat akhirnya kedua kelompok bersepakat massa aksi bertemu di Tugu Monas lalu dilanjutkan apel akbar di Kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat. Keputusan ini mengecewakan Jopie Lasut. "Tapi kami menjaga kekompakan," katanya.

Rapat ditutup setengah jam setelah lewat pergantian hari. Sebagian massa tidur di kampus UI. Sisanya, seperti Judilherry, memilih balik ke rumah. "Besok pukul delapan pagi kami sudah berkumpul lagi di UI," kata Judil.

Ketegangan soal rute ini tetap mengemuka saat aksi berlangsung. Kelompok nonkampus tetap berkeras mengarahkan massa melewati Jalan Medan Merdeka Barat lalu berbelok ke Harmoni. Jopie mengatakan ia berkukuh karena sebagian massa pendukung menunggu di kawasan Harmoni dan Roxy atau sebelah barat Istana Negara. Namun rencana itu bisa diredam Hariman dan Judilherry, yang menjaga rute tetap menuju Trisakti.

Sebenarnya para mahasiswa ingin betul menyasar Istana, tempat Presiden Soeharto menjamu Tanaka. Alasannya, mereka kecewa terhadap sikap Presiden Soeharto yang mengabaikan kritik mahasiswa. Kritik itu pernah disampaikan langsung mahasiswa pada 11 Januari 1974, empat hari menjelang demonstrasi akbar itu. Ratusan ketua dewan mahasiswa diundang Presiden Soeharto di Gedung Bina Graha. Hariman memimpin pertemuan itu.

Seperti yang sudah diduga, kritik agar pemerintah tak didikte asing hanya berbalas senyuman Soeharto. Yang lucu, setelah tatap muka itu, puluhan ketua dema berebut foto bareng Soeharto. "Terutama yang datang dari daerah, karena jarang melihat Presiden," ujar Hariman. "Tapi tak mengobati kekecewaan."

Kekecewaan itu mendorong mereka turun ke jalan. Menurut Judilherry, aksi mahasiswa berfokus pada kritik strategi pembangunan pemerintah, terutama yang terlalu mengandalkan modal luar negeri. Tersebab Perdana Menteri Jepang yang datang, tema demonstrasinya memakai isu anti-Jepang. "Kalau Amerika yang datang barangkali anti-Amerika," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus