Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Orang-orang yang bangkit dari puing...

Kisah para hibakusha (korban ledakan bom atom yang masih hidup), bertahun-bertahun pemerintah mengabaikan mereka, kemudian keluar undang-undang perawatan medis untuk para hibakusha mendapat macam-macam santunan. (sel)

28 September 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGUSTUS 1946, setahun setelah bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima keadaan Hatsuyo Naka mura melemah. Hidupnya pun papa sengsara. Suaminya, seorang tukang jahit, direkrut menjadi serdadu dan tewas di Singapura, 15 Februari 1942. Sementara itu, pengeboman Hiroshima menyebabkan Hatsuyo kehilangan ibu, seorang saudara laki-laki, dan seorang saudara perempuannya. Anak laki-laki dan dua anak perempuan Hatsuyo, masing-masing berusia sepuluh, delapan, dan lima tahun, terkubur dalam reruntuhan ketika ledakan bom meratakan rumahnya. Di tengah kekalutan, dengan kalap, ia berhasil menggali dan mengeluarkan mereka hidup-hidup dari timbunan puing-puing. Sebulan setelah pengeboman, perempuan malang itu terkena pengaruh radiasi: rambutnya rontok sampai hampir botak. Ia terbaring di tempat tidur di rumah ipar perempuannya di kawasan pinggiran Kabe diguncang demam. Sementara itu, batinnya tak tenang: bagaimana ia harus menghidupi anak-anaknya. Ia terlalu miskin untuk mampu berobat pada dokter. Belakangan, kendati berangsur-angsur baik, Hatsuyo tetap merasa tak berdaya. Ia merasa daya tahannya sampai pada titik akhir. Ia nyaris menyerah. Lari dan menyingkir dari rumahnya yang terbakar saat pengeboman, Hatsuyo tak berhasil menyelamatkan harta benda yang berharga kecuali seransel pakaian, sepotong selimut, sebuah payung, dan satu tas barang-barang lainnya yang ia sembunyikan dalam ruang perlindungan ketika serangan udara datang. Ditambah sejumlah barang yang telah dibawanya lebih dulu sebelum pengeboman. Tak lama kemudian, rambutnya tumbuh kembali. Di waktu itulah ipar laki-lakinya pergi menjenguk reruntuhan rumah Hatsuyo dan menemukan mesin jahit milik suaminya, Sankoku, yang masih dapat direparasi. Mesin jahit inilah, nanti, untuk beberapa lama, menjadi tumpuan hidupnya - sebelum terpaksa dijualnya. Hatsuyo kehilangan beberapa surat obligasi dan surat-surat berharga lainnya. Tapi ia beruntung, pernah mencatat nomor nomor seri surat-surat itu sebelum pengeboman terjadi dan catatan itu kebetulan di simpan di Kabe. Kemudian obligasi-obligasi itu dapat di uangkan. Uang ini memung-kinkan ia menyewa sebuah gubuk kayu seharga 50 yen sebulan - waktu itu bernilai 15 sen dolar Amerika. Gubuk kecil itu dibangun oleh seorang tukang kayu di kawasan Nobori-cho, tidak jauh dari rumah lamanya. Dengan demikian, ia berhasil membebaskan diri dari bantuan para ipar dan memulai perjuangan hidup yang keras, yang berlangsung bertahun-tahun, menghidupi anak-anaknya. Gubuk itu berdinding kotor dan gelap. Toh, masih menyerupai rumah. Agak ke belakang, beberapa meter dari reruntuhan, Hatsuyo masih dapat bercocok tanam. Dari dalam puing-puing rumah ia menggali sejumlah peralatan masak dan piring-mangkuk. Sebagai sumber penghasilan ia mulai mengerjakan jahitan, sambil melakukan banyak pekerjaan lain untuk para tetangga: mencuci (piring dan pakaian) dan menyetrika. Semua pekerjaan ini tentu membuatnya begitu letih lunglai sehingga suatu saat ia terpaksa istirahat tiga sampai empat hari dalam seminggu. Akibatnya, ia terlalu banyak menggantungkan diri pada tabungan. Malah, kimononya yang terbaik akhirnya terpaksa ia lego. Pada saat-saat yang gawat itu, Hatsuyo jatuh sakit. Ia merasa perutnya melilit-lilit, lalu menceret-menceret. Rasa sakit yang amat sangat membuatnya tidak mungkin lagi bekerja. Seorang dokter yang tinggal berdekatan datang memeriksanya dan mengatakan bahwa ia cacingan. Dengan serampangan dokter itu bilang, "Jika cacing gelang menggigit ususmu, kau bisa mati." Pada waktu itu di Jepang sangat sulit didapatkan pupuk kimia. Sebagai gantinya, para petani memakai kotoran manusia. Akibatnya, parasit menyebar ke mana-mana dan memangsa banyak orang - memang secara umum tidak fatal, tapi cukup membuat daya tahan penderita radiasi turun drastis. Dokter yang menangani Hatsuyo memberinya santonin, obat yang termasuk berbahaya, yang diramu dari berbagai jenis tumbuhan artemisia. Untuk membayar dokter, janda malang itu terpaksa menjual miliknya terakhir yang paling berharga: mesin jahit almarhum suaminya. Saat itu ia merasa, hidupnya sungguh-sungguh telah habis. * * * Orang Jepang cenderung mengelak menggunakan ungkapan "mereka yang selamat" bagi orang seperti Hatsuyo. Soalnya, orang-orang yang kena musibah itu bisa dinilai dari sudut lain: menghindarkan diri dari mati secara terhormat. Karena itu, mereka yang selamat dari pengeboman Hiroshima dan Nagasaki dipanggil dengan sebutan yang lebih netral, hibakusha - "korban ledakan". Selama lebih kurang satu dasawarsa setelah pengeboman, keadaan ekonomi kaum hibakusha cukup mengibakan. Pemerintah Jepang tidak ingin dibeban tanggung jawab moral apa pun terhadap akibat tindakan tak kenal kasihan yang dilakukan Amerika Serikat. Walaupun jelas-jelas banyak hibakusha mengalami akibat jauh lebih parah ketimbang akibat pengeboman biasa sebelumnya, pemerintah sama sekali tak memberikan layanan khusus. Bahkan ketika timbul kehebohan di seluruh Jepang karena 23 awak perahu nelayan Naga Untung No. 5, dan hasil tangkapannya, dinyatakan terkena radiasi percobaan bom hidrogen Amerika di Bikini pada 1954. Masih memerlukan tiga tahun - setelah peristiwa itu - untuk mengesahkan undang-undang penyantunan hibakusha oleh Diet (parlemen Jepang). Toh Hatsuyo tidak tahu-menahu bahwa ia punya hak mendapatkan santunan. Ia masih saja menghadapi masa depan yang suram. Di Hiroshima, pada tahun-tahun pertama setelah Perang, ia berada dalam keadaan serba tidak pasti dan serba kacau: kelaparan, korban kerakusan, pencurian, perampokan, dan pasar gelap. Dalam mencari pekerja, para majikan non-hibakusha menaruh kecurigaan pada para korban radiasi. Khususnya, setelah berkembang anggapan bahwa kaum hibakusha peka terhadap berbagai penyakit. Dan mereka yang tidak cacat, walaupun tak menunjukkan kelainan lahiriah, dianggap pekerja yang tidak dapat diandalkan. Konon, para hibakusha yang tak cacat tubuh itu menderita suatu kelesuan misterius, tapi nyata, yang dijuluki "penyakit bom atom". Yakni, sering terserang rasa letih dan lemah berkepanjangan, pusing-pusing, mengalami gangguan pencernaan. Ditambah rasa tertekan yang makin menjadi-jadi, rasa khawatir yang kian mengancam. Yang lebih mengerikan, tersebar pendapat umum bahwa penyakit yang tak cukup terjelaskan dengan kata-kata itu sesewaktu bisa menumbuhkan sejenis "bunga" beracun di dalam tubuh mereka, dan bisa menurun kepada anak cucu. Tapi Hatsuyo hsmpir tak memikirkan semua itu. Hidupnya dari hari ke hari adalah untuk mempertahankan hidup itu sendiri. Ia tak pernah sempat, umpamanya, menggugat bom atom yang mencelakakannya. Ia merana, bingung sendiri, terperangkap ke dalam sejenis sikap pasif, dan - seperti diungkapkannya sendiri - Shikata ga-nai, yang berarti, "Tak tertolong lagi." Ia tidak religius, tapi ia hidup dengan latar belakang kepercayaan Budha yang meyakini bahwa ketawakalan bisa menciptakan kejernihan pandang. Ia, seperti penduduk lainnya, memendam rasa tak berdaya menghadapi penguasa negeri yang tidak semena-mena - sebuah tradisi sejak Restorasi Meiji, pada abad ke-19. Neraka yang ia saksikan, saat bom celaka itu meledak, melemparkannya jauh-jauh ke seberang pemahaman manusia. Ada sederetan penyebab: Penerbang Enola Gay, Presiden Truman, kaum ilmuwan yang membuat bom atom. Dan juga kaum militer Jepang yang menyulut api perang. Toh pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, bagi orang seperti Hatsuyo, tampak lebih mirip bencana alam - suatu nasib buruk, nasib malang yang harus diterima, yang harus ditanggungkan. Ketika Hatsuyo membaik, ia mencoba menjadi penyalur roti dari pabrik roti milik Takahashi yang terletak di Nobori-cho. Pada hari-hari kekuatannya terasa pulih, Hatsuyo menerima pesanan dari toko-toko pengecer di kawasan yang berdekatan. Pagi hari ia biasanya tampak mengantar pesanan dalam keranjang atau kotak-kotak ke toko-toko pemesan. Ini benar-benar kerja banting tulang karena pendapatan yang ia peroleh cuma sekitar 50 sen dolar sehari. Belakangan, Hatsuyo bisa mendapatkan pekerjaan yang agak sesuai dengan kebutuhan istirahatnya. Ia lalu bisa menentukan sendiri kapan tugas itu harus dilaksanakan. Pekerjaan barunya itu ialah mengumpulkan uang langganan surat kabar Chugoku Shimbun yang terbit di Hiroshima, yang banyak dibaca penduduk kota setempat. Tapi lingkaran langganan meliputi kawasan yang luas. Dan, langganannya acap kali tidak berada di rumah, tambahan lagi mereka kadang-kadang meminta pembayaran ditunda dulu. Hatsuyo harus kembali pada hari lainnya, maka pekerjaan itu tak urung jadi berat juga. Dari pekerjaan itu Hatsuyo hanya memperoleh sekitar 20 dolar sebulan. Setiap hari, ia harus bertarung antara semangat dan keletihan tubuhnya. Beberapa waktu kemudian, ketika merasa lebih kuat, Hatsuyo mencoba pula menjajakan barang dagangan lain. Ia bangun pagi-pagi, begitu terang tanah. Lalu menggelindingkan sebuah kereta dorong beroda dua yang dipinjam selama dua jam. Dengan kereta itu Hatsuyo memintasi kota ke sebuah tempat yang disebut Eba, di muara salah satu dari tujuh sungai yang bermuara ke Sungai Ota yang melintasi Hiroshima. Di sana, pada siang hari, nelayan menjaring ikan sarden, Hatsuyo membantu mereka mengumpulkan hasil tangkapan. Kemudian, dengan kereta penuh muatan ikan, ia kembali mendorong keretanya ke Nobori-cho, dan menjualnya dari pintu ke pintu. Hasilnya cukup untuk makan. * * * Enam tahun kemudian, pada 1951, setelah tahun-tahun sengsara itu, masa tenang menjelang juga. Hatsuyo pindah ke rumah yang lebih baik. Dua tahun sebelumnya, seorang profesor dari Universitas Washington bernama Floyd W. Schmoe, terdorong melakukan penebusan dosa dan rekonsiliasi, datang ke Hiroshima. Dibantu sekelompok tukang kayu, profesor itu membangun sejumlah rumah bergaya Jepang untuk para korban bom atom. Seluruhnya berjumlah 21 rumah, dan salah satu di antaranya kemudian diperuntukkan berdasarkan nasib baik - bagi Hatsuyo Nakamura. Orang-orang Jepang yang beruntung itu menutupi lantai rumah mereka dengan tikar tsubo yang perlembar berukuran empat yar persegi. Perumahan Dr. Shum-o, begitu orang Hiroshima menyebutnya, memiliki dua kamar yang masing-masing memuat enam tikar. Sewa rumah dibayarkan kepada pemerintahan kota setempat, kira-kira sekitar satu dolar sebulan. Walaupun orangtuanya hidup di bawah tekanan kemiskinan, anak-anak Hatsuyo tampaknya tumbuh normal. Yaeko dan Myeko, dua anak perempuannya, memang seperti kurang darah. Tapi mereka terhindar dari komplikasi serius yang biasanya menimpa anak-anak muda hibakusha. Yaeko, 14 dan Myeko, 11 sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Si buyung Toshio mulai masuk SMA - ia membiayai sendiri sekolahnya dengan mengirimkan surat kabar kepada pelanggan yang dicari ibunya. Tempat tinggal Toshio jauh dari rumah ibunya sehingga ia harus pulang pergi dengan menggunakan trem. Gubuk tua Hatsuyo di Nobori-cho yang ditinggalkan, yang dulu dihajar bom keparat itu, tinggal kosong. Hatsuyo mencoba memanfaatkannya. Sambil meneruskan usaha penyaluran surat kabar, ia membuka warung, menjual makanan dan keperluan anak-anak: ubi jalar goreng, dagashi, atau gula-gula, roti beras, dan mainan murahan, yang ia beli dari agen. Di Suyama Chemical, yang membuat kapur barus dalam kemasan Paragen, Hatsuyo punya kenalan. Temannya itu suatu hari mengajaknya bergabung, bekerja sebagai tukang kemas kapur barus. Pemiliknya, begitu kesan Hatsuyo, adalah seorang yang baik hati, yang tidak terpengaruh akan sikap para majikan umumnya terhadap hibakusha. Di antara 20 tukang kemas wanita, adalah sejumlah korban radiasi. Ketika akan mulai bekerja, Hatsuyo menyatakan kekhawatirannya, ia mungkin tak bisa bekerja beberapa hari dalam seminggu. Tapi temannya meyakinkan dia bahwa Suyama, sang majikan, tentu akan memahami soal ini. Mulailah janda malang korban bom atom itu bekerja di sana. Mengenakan pakaian seragam perusahaan, para pekerja wanita berdiri agak membungkuk, sementara di sisi lain, sabuk berjalan mengalirkan barang yang siap dikemas. Mereka harus bekerja secepat-cepatnya membungkusi dua jenis Paragen dengan kertas kaca (cellophane). Paragen berbau memusingkan, dan pada mulanya mata seorang pekerja dibuatnya perih. Bahannya, serbuk paradichlorobenzene, dipadatkan ke dalam butir-butir kapur barus berbentuk belah ketupat dan bulatan yang lebih besar, seukuran jeruk kecil, yang biasanya digantung di toilet dan kamar kecil gaya Jepang. Baunya yang tajam dimaksudkan untuk mengimbangi bau menyengat kamar-kamar peturasan. Sebagai pekerja baru, Hatsuyo dibayar 170 yen waktu itu sekitar 50 sen dolar - sehari. Mulanya, pekerjaan itu membingungkannya, sangat meletihkan, dan agak menyengsarakan. Kemudian, perlahan-lahan, ia menjadi terbiasa dengan lingkungan pabrik. Ia mendapat teman-teman baru. Ada suasana kekeluargaan. Ia memperoleh kenaikan gaji. Dalam istirahat 20 menit, pagi dan siang, terdengar celoteh pergunjingan dan gelak tawa, dan ia ikut serta. Dari sana terungkapkan bahwa pada dasarnya janda nan malang ini berpembawaan periang - temperamen yang tentunya turut menopang perjuangannya yang panjang melawan kesengsaraan. Lalu semuanya terasa lebih hangat, lebih hidup ketimbang hanya menyerah, daripada hanya mengucapkan Shikata ga-nai. Pekerja wanita lain mulai menyukainya ia selalu berbuat sesuatu yang sedikit banyak menerbitkan kegembiraan. Mereka mulai memanggilnya, dengan rasa sayang: Oba-san - yang artinya, lebih kurang, "Bibi". Hatsuyo Nakamura bekerja pada Suyama selama 13 tahun. Walaupun tenaganya tetap tergerogoti dari waktu ke waktu oleh sindrom bom A, pengalaman mengerikan pada 6 Agustus tahun 1945 itu mulai menyurut dari lapisan-lapisan kenangannya. * * * Kasus heboh Naga Untung No. 5, pada 1954, terjadi ketika Hatsuyo Nakamura mulai bekerja pada Suyama Chemical. Akhirnya, tuntutan perlunya santunan kesehatan bagi korban pengeboman Nagasaki dan Hiroshima menjadi isu politik. Hampir setiap tahun sejak 1946, pada HUT pengeboman Hiroshima, Pertemuan Peringatan Perdamaian diadakan di sebuah taman yang sengaja dibiarkan memuing seperti aslinya, sebagai pusat peringatan. Pada 6 Agustus 1955, sebuah Konperensi Dunia Menentang Bom Atom dan Hidrogen yang pertama, yang dihadiri delegasi dari seluruh dunia, diselenggarakan di taman itu. Pada hari kedua, sekelompok hibakusha dengan terisak-isak memberikan kesaksian akan penyia-nyiaan pemerintah terhadap nasib malang mereka. Partai-partai politik Jepang menampung kasus tersebut, dan pada 1957 Diet akhirnya mengesahkan Undang-Undang Perawatan Medis Korban Bom A. Undang-undang itu, dan beberapa perubahan yang dilakukan kemudian, menetapkan empat kelompok korban radiasi yang berhak mendapat santunan. Mereka yang berada di dalam batas kota pada hari pengeboman. Mereka yang memasuki kawasan itu dalam batas dua kilometer dari pusat ledakan pada 14 hari pertama setelah itu. Mereka yang mengadakan kontak fisik dengan korban, saat memberikan pertolongan pertama atau saat memindah-mindahkan korban yang meninggal. Keempat adalah mereka yang lahir dari kandungan orang-orang yang termasuk dalam ketiga kategori di atas. Semua hibakusha dari keempat golongan itu dinyatakan berhak menerima yang disebut Buku Kesehatan. Buku itu menyatakan bahwa pemegangnya berhak menerima rawatan kesehatan secara cuma-cuma. Revisi berikutnya memberlakukan santunan bulanan kepada mereka yang menderita berbagai efek tambahan dari radiasi. Seperti sebagian besar hibakusha, Hatsuyo Nakamura menjauhkan diri dari semua agitasi. Dan malah, seperti juga umumnya rekan-rekannya, ia bersikap acuh tak acuh terhadap perlunya memiliki buku kesehatan. Bertahun-tahun setelah buku itu dikeluarkan Hatsuyo tak memanfaatkannya. Begitu lama ia dihajar kemiskinan, sehingga terbiasa mengatasi sendiri problema kesehatannya sebisa-bisanya. Tak ada dokter, tak ada tunjangan di tengah berbagai kesukaran fisik. Di samping itu, Hatsuyo bersepakat dengan rekan-rekannya untuk mencurigai motif yang tersembunyi di balik orang-orang politik yang ambil bagian dalam konperensi dan upacara tahunan itu. Anak laki-laki Hatsuyo, Toshio. begitu menamatkan SMA, langsung bekerja pada divisi angkutan bis Perusahaan Kereta Api Nasional Jepang. Ia ditempatkan di bagian administrasi, bertugas di bagian perjalanan, lalu di bagian pembukuan. Ia kemudian menikah dengan seorang gadis yang di kenalnya melalui seorang kerabat, mendirikan rumah tambahan di sekitar rumah ibunya di kompleks Dr. Shum-o, tinggal menetap di sana, dan mulai menupang kehidupan ibunya. Dan Toshio menghadiahkan sebuah mesin jahit baru kepada ibunya. Yaeko, anak perempuan yang tertua, meninggalkan Hiroshima ketika berusia 15 tahun, setelah menamatkan SMP. Gadis ini kemudian membantu seorang bibi yang sakit-sakitan, mengelola sebuah ryokan - penginapan model Jepang. Di sana, ia jatuh cinta pada seorang laki-laki yang makan di restoran penginapan, dan menikah dengannya. Myeko si bungsu yang paling rapuh di antara ketiga anaknya terhadap sindrom bom A, setelah lulus SMA, Myeko menjadi tukang ketik cekatan, dan kemudian diangkat menjadi instruktur sebuah sekolah ketik. Belakangan ia juga menikah. Seperti ibunya, ketiga anak Hatsuyo menghindar dari kegiatan agitasi hibakusha dan segala gerak an antinuklir. * * * Pada 1966, Hatsuyo Nakamura mencapai usia 55. Ia pensiun dari Suyama Chemical. Gaji terakhirnya 30 ribu yen, atau sekitar 85 dolar sebulan. Anak-anak tidak lagi menjadi tanggungannya, Toshio malah mulai mengambil alih tanggung jawab ibunya. Wanita itu yang pernah malang melintang dalam kesengsaraan, kini merasa aman tenteram. Ia tak perlu khawatir lagi akan biaya perawatan kesehatannya, karena ia akhirnya memperoleh Buku Kesehatan No. 1023993. Kinilah waktunya menikmati hidup. Untuk kesenangannya sendiri, janda tua itu suka membordir, memakaikan pakaian tradisional kepada boneka kimekomi, atau ikut berdansa dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh lembaga pengembangan musik rakyat Jepang. Ia menari mengikuti 30 penyanyi yang melagukan: Semoga keluargamu mekar Selama seribu generasi Selama delapan ribu generasi. Setahun sesudah Hatsuyo Nakamura pensiun, ia diundang Perkumpulan Keluarga Orang-Orang Kehilangan untuk mengadakan perjalanan kereta api, mengunjungi kuil Yasakuni di Tokyo. Tempat suci ini didirikan pada 1869, bagi arwah orang Jepang yang meninggal dalam menentang kekuasaan asing. Tempat ini setara dengan Makam Nasional Arlington, Virginia, AS. Kuil ini menjadi pusat perabuan militer Jepang. Tapi Hatsuyo tak menemukan jejak abu jenazah suaminya karena itu, ia percaya suatu hari kelak sang suami akan kembali kepadanya. Di tengah beratus pendatang dari Hiroshima, yang dengan bangga meneriakkan nama keluarga masing-masing di depan tempat perabuan, Hatsuyo diam saja. Ia tak mungkin memanggil atau meneriakkan nama suaminya, karena abu jenazahnya tak ditemukannya. Wanita itu kembali ke rumah dengan perasaan yang berat. * * * Jepang sudah dilimpahi kemakmuran. Tapi keluarga Nakamura masih bergelut dengan sejumlah kesulitan hidup. Toshio harus bekerja berjam-jam, melebihi rata-rata orang Jepang, walau masa-masa yang paling sulit berlalu sudah. Pada 1975, sebuah undang-undang tentang hibakusha direvisi, dan Hatsuyo menerima santunan kesehatan dan tunjangan 6.000 yen atau sekitar 20 dolar, sebulan - jumlah yang bisa bertambah menjadi dua kali lipat. Ia juga menerima pensiun dari Suyama 20 ribu yen (65 dolar). Dan, selama beberapa tahun ia menerima pensiun sebagai janda perang 20 ribu yen sebulan. Kemajuan ekonomi Jepang menyebabkan harga semua barang keperluan sehari-hari naik secara cepat. Sampai-sampai Tokyo menjadi kota termahal di dunia. Tapi Toshio Nakamura berhasil membeli sebuah mobil Mitsubishi, dan sekali-sekali ia bermain golf. Suami Yaeko membuka toko AC dan alat pemanas, sedangkan suami Myeko membuat kios koran dan gula-gula di dekat stasiun kereta api. Setiap bulan Mei, di sekitar masa ulang tahun Kaisar dan ketika bunga azalea mulai berkembang, Hiroshima merayakan Festival Bunga. Hiburan diadakan di sepanjang jalan utama, dengan parade musik terapung dan arak-arakan. Tahun ini Hatsuyo tampak menari bersama perkumpulan tari rakyat. Mereka menari dengan iringan Oiwai-Ondo, sebuah lagu gembira. Mereka mengangkat tangan dalam gerakan yang riang ria diiringi tepukan seirama, Cemara-cemara hijau, bangau-bangau, dan kura-kura .... Kalian harus menceritakan saat-saat sukarmu Dan tertawa dua kali. Masa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki telah lewat dua dasawarsa. Alangkah jauhnya masa itu berlalu. Matahari bersinar terang hari itu. Langkah-langkah yang terukur dan ayunan tangan yang seirama, masa riang gembira itu, juga sudah lewat bagi Hatsuyo. Siang itu untuk kesekian kalinya ia tiba-tiba diserang rasa mengantuk dan mual yang hebat. Ia sadar, ia berada di ambang kesukaran terakhir. Apa yang dirasakannya kemudian adalah tubuhnya diangkat ke ambulans - hal yang bertentangan dengan kehendaknya. Di rumah sakit, ia mengatakan dirinya sehat-sehat saja. Yang diinginkannya hanya pulang, kembali ke rumah. * * * Setahun setelah pengeboman, dr. Terufumi Sasaki, seorang ahli bedah di RS Palang Merah Hiroshima, merosot kesehatannya. Tubuhnya lemah lunglai, dan nafsu makannya hilang. Sebelum pengeboman ia terbilang rakus. Ia mampu melahap empat bola nasi setiap kali makan. Sekarang dua bola saja tak habis. Ia sering terlihat bingung setelah peristiwa bom A di Hiroshima itu. Bayangkan, dalam waktu beberapa jam, puluhan ribu manusia yang terluka dan mati terkapar di sal-sal rumah sakit, di tempat ia bekerja. Ratusan lainnya mati tergeletak di jalan-jalan. Dr. Sasaki satu-satunya dokter yang tak terluka di RS Palang Merah ketika pengeboman celaka itu terjadi karena itu, ia hanya sempat tidur satu jam. Itu pun dengan mencuri-curi. Ia tidur di luar rumah sakit di antara plester-plester yang copot dari luka korban, sehingga ke mana pun ia menoleh yang tercium cuma bau darah dan nanah. Di malam hari, ia bekerja hanya dengan penerangan cahaya lilin, dengan kaca mata pinjaman dari seorang suster. Ia tiba-tiba merasa seperti kehilangan kepintarannya. Membalut daging hidup terus-menerus, bagai tak habis-habisnya, menjadikannya bagai orang bego. Tahun berikutnya, ia bekerja sebatas kemampuannya dan acap kali di luar batas pengertian manusia. Di samping menjadi dokter bedah, ia masih mendalami tuberkulosa di Universitas Hiroshima. Sebagai yang biasa berlaku di Jepang, segera setelah lulus doktorandus medis, ia diperboleh-kan langsung berpraktek. Ia harus belajar lima tahun lagi untuk mencapai tingkat dokter. Tetapi karena berbagai hal ia baru lulus dengan tambahan waktu lima tahun lagi. Dalam masa itu, ia bolak-balik Hiroshima-Mukaihara, rumah ibunya, yang ditempuh dalam sejam perjalanan kereta api. Keluarganya orang berada. Kakeknya tuan tanah, pemilik kawasan pegunungan yang kaya kayu. * * * Sebagian besar tugas dr. Sasaki di RS Palang Merah dalam masa lima tahun sesudah pengeboman Hiroshima adalah membenahi parut - bekas luka yang buruk, menggumpal, gatal, menggantung dan kemerah-merahan - akibat luka bakar yang didapat para hibakusha. Luka itu terutama disebabkan oleh uap panas tinggi - uap yang bisa melukai sampai dua kilometer dari pusat ledakan bom. Dalam menangani akibat luka bakar seperti itu, ia dan para rekannya bagai meraba-raba di dalam kegelapan: mereka tidak memiliki literatur kesehatan yang layak. Mereka sering kebingungan. Misalnya, parut yang membenjol setelah dioperasi malah mengalami infeksi. Yang lain, operasi parut justru menyebabkan otot mengejang. Ia dan rekan-rekannya pernah sampai berkesimpulan, sebaiknya parut dan bekas luka itu dibiarkan saja. * * * Pada 1951, Sasaki meninggalkan rumah sakit dengan kenangan yang mengerikan di Hiroshima itu. Ia memutuskan membuka klinik sendiri di Mukaihara. Ia mempunyai seorang abang, yang juga dokter. Seperti juga Terufumi Sasaki, pada 1939, didorong oleh kampanye mengadu untung di Cina, Sasaki, sang abang, pergi ke sana, belajar pada Universitas Kedokteran di Tsingtao. Setelah lulus, sang abang kembali ke Mukaihara sebelum pengeboman, tapi terbunuh dalam perang. Terufumi Sasaki berpraktek di Mukaihara bukan sekadar ingin menggantikan abangnya yang tewas, tapi juga ingin menjauh dari bayangan Hiroshima yang mengerikan. Hampir selama empat dasawarsa, ia tidak pernah mau membicara-kan Perihal pengeboman itu. Kakeknya memiliki simpanan yang cukup banyak di Bank Hiroshima sehingga Sasaki berharap bisa mendapatkan pinjaman untuk memperbesar kliniknya. Tapi orang bank beranggapan, sebuah klinik di kota sekecil itu tidak layak. Padahal, Sasaki memerlukan kredit sekitar 300 ribu yen - waktu itu senilai seribu dolar. Karena bank keberatan, Sasaki memulai kliniknya secara kecil-kecilan, menggunakan rumah keluarga istrinya sebagai tempat praktek. Ia melakukan bedah ringan - usus buntu, misalnya - sambil menerima layanan pengobatan lain, kecuali kandungan. Ia melakukan semua itu dengan baik sekali. Keberhasilannya itu mengundang datangnya pinjaman bank. Tawarannya: sejuta yen. Belakangan dengan pinjaman 300 ribu yen ia mendirikan sebuah rumah sakit berlantai dua. * * * Lama sebelumnya, para dokter di Hiroshima menemukan akibat radiasi yang lebih serius daripada luka bakar dan parut yang terlihat ditubuh bagian luar. Akibat yang ditemukan pada 1950 itu ialah kanker darah (leukemia). Statistik menunjukkan, penderitanya banyak ditemui di kalangan hibakusha. Yang terkena kanker darah umumnya mereka yang pada waktu musibah terjadi berada 2 km dari pusat ledakan. Pada mereka, beberapa tahun sesudah terkena radiasi, muncul bintik-bintik ungu, yang dikenal sebagai ciri terkena leukemia. Belakangan, ditemukan pula bentuk kanker lain: kanker kelenjar gondok, paru, payudara, kelenjar ludah, perut, hati, saluran kencing, dan organ reproduksi pada pria ataupun wanita. Yang tak terkena kanker - umumnya anak-anak - menderita penyakit yang disebut katarak bom atom. Anak-anak itu jadi tetap kerdil. Bayi dalam kandungan lahir dengan kepala lebih kecil. Ini menunjukkan bahwa radiasi mempengaruhi gen makhluk hidup, seperti yang terbukti dengan percobaan pada binatang di laboratorium. Kenyataan-kenyataan ini menghantui kaum hibakusha. Mereka mengkhawatirkan keturunannya akan menjadi subyek mutasi. Analisa pada 1960-an menunjukkan adanya aberasi, penyimpangan kromosom, pada penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang masih hidup. Dalam jumlah yang lebih kecil, para penderita mengeluhkan mengalami problem seks, cepat tua, kekurangan darah, dan sebagainya. Dr. Sasaki, yang tidak menderita penyakit apa pun akibat pengeboman, tampaknya sedikit sekali menaruh perhatian terhadap masalah ini. Ia, tampaknya, sengaja menghindarkan diri dari segala sesuatu yang memungkinkan "mimpi buruk"-nya muncul kembali. Jurnal kesehatan tentang masalah ini juga kurang diikutinya. Di kota kecilnya itu, ia jarang mau menangani hibakusha. Ia menutup dirinya di dalam keterasingan. Pada 1963, didorong keinginan mengetahui perkembangan akhir tentang anestesia (pembiusan), Sasaki pergi belajar pada RS Palang Merah Yokohama. Ia kenal direktur utama rumah sakit itu, Tatsutaro Hattori. Dulu, semasih ia menjadi kepala bagian bedah RS Palang Merah Hiroshima, Hattori adalah bosnya. Pada pertemuan itulah Hattori menganjurkan bekas bawahannya memeriksakan diri, dengan menggunakan perlengkapan mutakhir, adakah akibat radiasi atau tidak. Sasaki setuju. Dan pemeriksaan tomografis pada dadanya menunjukkan adanya "bayangan" pada parunya. Setelah dilakukan biopsi, diputuskan bahwa paru-paru kirinya harus di angkat. Operasi berlangsung liat dan Sasaki mendapat pendarahan yang parah hampir seminggu lamanya. Ia terus menerus batuk darah, dan dengan tersengal-sengal ia mengucapkan terima kasih kepada mereka serta mengucapkan selamat tinggal kepada istrinya. Dokter ini agaknya telah merasa saat terakhirnya segera tiba. Tapi beberapa saat kemudian ia sadar kembali. Dan sembuh. * * * Sasaki sesudah bertahun-tahun masih juga dibayangi pengalaman yang memang tak mungkin terlupakan seumur hidup. Ia dihantui semacam kesepian aneh. Kadang-kadang ia merasa telah mati. Hubungan yang akrab dengan istri dan anak-anaknya - dua anak laki-laki dan dua anak perempuan - agak menolong keadaannya. * * * Pada 1972, istri Sasaki meninggal karena kanker payudara - krisis pun memasuki kehidupan Sasaki. Ia dibayangi kesepian yang kini menjadi dahsyat. Kematian istri yang menjadi penopang hidupnya merasuk ke dasar jiwanya. Untunglah, musibah ini juga menyadarkannya bahwa ia tidak lagi muda. Kesadaran ini mendorong Sasaki berpikir lebih matang. Ia lalu memutuskan mendirikan klinik yang lebih besar sehingga ia bisa membuka klinik perawatan orang tua (geriatric). Jenis perawatan ini menarik minat beberapa dokter tangguh, dan itu merupakan dukungan moral baginya. Pada 1977, kredit Sasaki dari Bank Hiroshima meningkat. Ia mendapat tambahan pinjaman 19 juta yen, atau 80 ribu dolar. Dengan uang ini, ia membeli tanah di pinggir kota dan membangun gedung bertingkat empat. Kedua putranya, Yoshihisa dan Ryuji, yang telah menjadi dokter pula, membantunya dalam masa-masa paling padat pasien. Kini, kekayaan dr. Sasaki semakin menumpuk. Hidupnya diasuransikan 100 juta yen. Ia memiliki mobil BMW putih. Lalu ia memiliki gagasan baru. Ia ingin membangun klinik pemandian air panas bawah tanah, untuk musim semi. Ia meminta bantuan survei perusahaan rekayasa geologi untuk memberi masukan tentang kemungkinan mengebor 60 sampai 100 liter air per menit, dengan suhu 79 dan 86 derajat Fahrenheit. Ia terkesan dengan sumber mata air panas dan ia berharap dapat menyuplai air mandi panas untuk tiga hotel. * * * Dr. Sasaki dipandang aneh oleh para dokter Hiroshima lainnya. Berbeda dengan mereka, ia tidak tertarik pada masyarakat eksklusif sebagai sasaran praktek dokternya. Malah sebaliknya, ia terdorong mensponsori pertandingan gate ball, sejenis kroket gaya kuno, di Mukaihara. Ia memakai dasi - seharga 5.000 yen, atau 20 dolar - dengan bordiran Gate Ball dalam tulisan berbahasa Inggris. Kesenangan utamanya yang lain, di samping bekerja, adalah bepergian ke Hiroshima untuk makan masakan Cina di lantai dasar Grand Hotel. Lalu, sehabis makan, ia merokok sigaret Mild Seven, yang pada bungkusnya tertulis peringatan dalam bahasa Inggris, "Jangan merokok terlalu banyak, demi kesehatanmu." Ia, anehnya, kini dapat menghadapi Hiroshima. Tapi kota itu memang telah bangkit kembali dari reruntuhan 1945. Hiroshima telah menjadi kota indah dengan penduduk satu juta jiwa - hanya satu di antara 10 terdiri dari hibakusha - dengan gedung-gedung menjulang tinggi di jalan-jalan taman berjalur tiga yang dipadati mobil-mobil buatan Jepang sendiri, yang semuanya memakai merk berbahasa Inggris yang mentereng. Kota dengan penduduk yang suka bekerja keras, dengan 753 toko buku dan 2.356 bar. Kenangan masa lampau masih membelenggu Sasaki, yakni saat-saat berada dalam lingkungan RS Palang Merah pada hari-hari pertama pengeboman, karena peristiwa itu memang sungguh dramatis. Saat-saat itu dihadapkan pada gelimpangan korban yang luka-luka, sekarat, dan mati, yang tidak sempat dipedulikan. Yang tersia-sia. * * * Saat ledakan bom laknat itu terjadi, dr. Masakazu Fujii termasuk yang beruntung. Ketika itu ia sedang duduk dengan kaki bersilang dalam pakaian dalam di beranda klinik pribadinya yang bertengger di tepi Sungai Kyo, sebuah dari tujuh sungai di Hiroshima. Duduk di sana, ia membaca koran pagi Osaka Asahi. Istri dan anak-anaknya hari itu pergi ke luar kota. Lalu, ledakan bom merobohkan seluruh bangunan, dan ia ikut rontok bersamanya ke dalam sungai. Dr. Fujii berhasil menangkap dua batang balok, dan mengapungkan kepalanya ke atas air. Ia menderita patah tulang selangka, luka pada dagu, punggung, dan kaki. Dadanya memar dan mungkin dua rusuknya patah. Tapi ia masih sempat menolong dua perawatnya yang ikut tercebur. Fujii terkena radiasi ringan. Kemudian ia menemukan dua pasiennya meninggal, sedangkan yang lainnya mungkin dihanyutkan arus. Ia bagaikan bermimpi buruk di antara mereka yang mati dan hilang. Hari berikutnya, ia pergi dengan dua perawat melalui reruntuhan kota ke rumah orangtuanya di Nagatsuka, hanya untuk menyaksikan atap rumah yang beterbangan. Ia lalu pergi ke rumah temannya di Kota Fukawa. Di sana, menjelang akhir September, Fujii mendengar ada sebuah klinik pribadi yang ditinggalkan kosong di Kaitaichi, di pinggiran timur Hiroshima. Ia membelinya, dan pindah ke sana, melanjutkan praktek. Begitu luka-lukanya sembuh, Fujii segera dibanjiri pasien. Berpribadi ramah, dr. Fu jii - yang berusia 50 tahun itu - senang bergaul dengan orang asing, dan bertahun-tahun belajar bahasa asing, misalnya bahasa Inggris. Bapa Kleinsorge, yahg sering dikunjunginya, telah lama menjadi sahabatnya. Bapa itulah guru bahasa Jermannya. Ia juga belajar bahasa Esperanto. Selama Perang, polisi rahasia Jepang mengetahui bahwa agen-agen Rusia memakai bahasa Esperanto untuk kode spionase. Karena itu, dr. Fujii sempat dicurigai punya hubungan dengan Komintern. Tapi sekarang ia berteman dengan orang-orang Amerika, dan papan nama kliniknya memakai tulisan bahasa Inggris: Mr. Fujii, M. D., Medical and Benereal. Pada 1948 dr. Fujii mendirikan klinik baru di Hiroshima di bekas klinik lama yang dihancurkan oleh bom. Klinik baru ini dibuat dari kayu dengan belasan tempat tidur. Ia melayani pembedahan parut luka akibat terkena radiasi, dan juga perawatan penyakit kelamin. Tiap hari rata-rata 80 pasien datang. Fujii mempunyai lima anak yang sudah dewasa. Menurut tradisi Jepang, mereka harus mengikuti jejak ayahnya. Si sulung dan si bungsu, keduanya perempuan, menikah dengan dokter. Anak laki-laki tertua, Masatoshi, seorang dokter, mewarisi klinik Kaitaichi, yang dikelolanya sendiri. Putra kedua, Keiji, tidak menjadi dokter, tapi menjadi teknisi pesawat sinar-X. Anak laki-laki ketiga, Shigeyuki, menjadi dokter muda pada RS Universitas Nihon di Tokyo. * * * Pada suatu hari Minggu sesudah pengeboman, Kiyoshi Tanimoto, pendeta gereja Metodis Hiroshima, membenahi tenda yang rusak berat, yang disewakan di pinggiran kota Ushida. Pengaruh radiasi pada dirinya berangsur pulih, tapi pikirannya masih goyah. Pada saat ledakan, ia berada satu mil dari pusat jatuhnya bom. Saat itu ia tengah membantu temannya mengungsikan barang-barang, di kota pinggiran Koi. Terkejut menyaksikan langit yang mendadak bersinar, ia ingin kembali ke rumah dan ke gereja. Sendirian, melalui puing dan runtuhan kota yang terbakar, di antara penduduk yang berlarian dan menjerit-jerit minta tolong, ia mencoba pulang. Dengan takjub ia mendapatkan istrinya, Chisa, selamat. Istrinya menggendong Koko, anak perempuan mereka yang berusia delapan bulan. Mereka berlindung di lubang perlindungan. Keduanya tak mampu berkata-kata. Tanimoto pergi ke Asano Park, di dekat Sungai Kyo, yang menjadi tempat pengungsian darurat. Dengan ember air di tangannya, ia memberi minum orang yang kehausan. Ia pun membantu mengangkut orang yang terluka ke perahu. Ia merasa ada potongan kulit yang mengambai di lengannya. Ia begitu terperanjat hingga ia terduduk sampai kemudian dapat menenangkan kembali guncangan perasaannya. Ia bertugas secara sukarela di sana lima hari penuh. Berada cukup jauh dari pusat ledakan, pendeta ini menganggap dirinya tidak akan terkena pengaruh radiasi. Ia juga beranggapan tidak akan ditulari oleh sekadar kontak dengan orang-orang yang dibantunya. Ternyata, kemudian Tanimoto diserang demam panas, karena terkena radiasi, dengan suhu mencapai 104 derajat Fahrenheit. Ini berlangsung seminggu, sehingga istrinya sudah putus harap, dan sudah mengira ia akan segera mati. Dua bulan terbaring di tempat tidur, baru Bapa Tanimoto sembuh. * * * Segera sesudah Jepang bertekuk lutut, SCAP, komando tertinggi pasukan pendudukan Sekutu, membagi ransum untuk mengisi kekosongan sistem distribusi makanan Jepang yang lumpuh. Kiyoshi Tanimoto, dengan tubuh masih lemah lunglai, mendorong gerobak ransum ke kediaman para tetangga yang miskin. Ia juga membawa vitamin dan pil sakarin, sumbangan alumni Fakultas Teologi Universitas Georgia, AS, tempat kuliahnya dulu. Sedikit demi sedikit penduduk Hiroshima mulai menempati kembali bekas runtuhan rumahnya. Di sana mereka mendirikan gubuk-gubuk kayu, tanpa penerangan listrik. Mereka acap kali berkumpul di dekat stasiun Yokogawa, di sebuah lapangan, yang menjadi ajang pasar gelap. Di sini pula kaum hibakusha saling menghibur. Pihak gereja memperdengarkan lagu-lagu gerejani, atau berkhotbah. Disini pula, para pelacur langganan serdadu Gl berpangkalan, menunggu panggilan. Kemarahan hibakusha kepada Amerika yang menjatuhkan bom, dan kepada pemerintah Jepang yang mendorong tindakan keji itu, dicoba dihibur oleh para pendeta. Mereka menganggap kemarahan itu sia-sia. Menyadari semakin pentingnya ibadat agama pada saat-saat demikian, Tanimoto tidak melupakan gereja Evangelisnya. Bangunan gereja diasuransikan, tapi uangnya dibekukan si penakluk. Banyak persediaan barang Jepang hilang dari gudang. * * * Sebelum hari ulang tahun pertama pengeboman, pada 1 Juli 1946, AS mencoba bom atom di pulau karang Bikini. Pada 17 Mei 1948, Amerika mengumumkan berhasilnya percobaan berikutnya. * * * Dalam korespondensi dengan teman sekuliah di Universitas Emory, Pastor Mervin Green dari Gereja Park di Weehawken, New York, Tanimoto mengeluhkan soal kekurangan dana untuk membangun gereja. Green lalu mengundang Tanimoto ke AS, Oktober 1948. Bantuan sukarela pun diperoleh, mencapai 20 ribu dolar. Oktober 1952, Inggris Raya mengadakan percobaan bom atom pertama, dan AS mencoba bom hidrogen. Soviet juga melaksanakan percobaan bom hidrogen, Agustus 1953. Dan sebelumnya, 1949, Radio Moskow mengumumkan bahwa Uni Soviet telah membuat bom atom. Maret 1954, kapal nelayan Naga Untung terkena radioaktif akibat percobaan bom atom AS di Bikini. Dalam masa-masa itu, Tanimoto mengadakan perjalanan ke Amerika untuk, hampir tak bosan-bosannya, berceramah, dan mengumpulkan dana. Sampai akhir 1949, ia telah mengunjungi 256 kota, dan 31 negara bagian AS. Ia berhasil mengumpulkan 10 ribu dolar. Pada musim panas 1950, ia kembali mengunjungi AS. Yang paling mengesankan, kunjungan pada 5 Februari 1951, ke Washington. Tanimoto bertemu dengan anggota Senat, lalu ia memimpin berdoa. "Bapa yang di surga, terima kasih atas rahmat-Mu. Engkau telah memberikan anugerah, kepada Amerika sehingga memungkinkan adanya pembangunan sejarah peradaban manusia dalam dekade terakhir ini .... Terima kasih, Tuhan, bahwa Jepang telah diizinkan menjadi salah satu penerima kebajikan Amerika. Kami bersyukur karena Kau telah menganugerahkan kemerdekaan kepada rakyat kami, yang memungkinkan mereka bangkit kembali dari debu kehancuran, dan lahir kembalinya bangsa kami .... Tuhan, berkatilah semua anggota Senat." Senator dari Virginia, A. Willis Robertson, bangkit dari kursinya dan menyatakan "kekagumannya" kepada seorang yang "kami coba bunuh dengan bom atom, tapi kemudian datang ke Gedung Senat kami dan bersyukur kepada Tuhan yang disembah bersama, berterima kasih akan warisan spiritual yang agung dari Amerika, dan kemudian memohon Tuhan memberkati anggota Senat." * * * Gerakan antinuklir Jepang mulai muncul pada awal 1960-an. Gensuikyo, sebuah organisasi yang dikuasai Partai Sosialis Jepang, dan oleh Sohyo, pimpinan serikat buruh Jepang. Pada 1960, Gensuikyo mencoba menggagalkan perubahan Perjanjian Keamanan Jepang-AS, atas dasar mendorong kembalinya militerisme Jepang. Di pihak lain, kelompok-kelompok konservatif membentuk Kakkin Kaigi, Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Menentang Senjata Nuklir. Pada 1964, masuk infiltrasi komunis ke dalam Gensuikyo yang menyebabkan kelompok sosialis dan serikat buruh keluar dari organisasi tersebut. Mereka kemudian membentuk Gensuikin, Kongres Jepang menentang Bom Atom dan Hidrogen. Bagi Tanimoto dan para hibakusha yang lain pada umumnya, gerakan-gerakan itu membingungkan saja. Gensuikin berteriak-teriak bahwa semua bangsa harus menghentikan percobaan bom atomnya. Sementara Gensuikyu menyatakan bahwa Amerika Serikat mengadakan percobaan bom atom guna menyiapkan perang, lain daripada Soviet yang konon mencoba tenaga nuklirnya buat perdamaian. Perselisihan ini semakin parah, dan selalu terjadi justru pada saat-saat kedua gerakan itu memperingati 6 Agustus 1945, memperingati hari bencana yang membuat sengsara Tanimoto, Masakazu Fujii, Sasaki, Hatsuyo, dan para hibakusha yang lain. Sementara hibakusha itu tetap diam. Sebagian, antara lain Tanimoto, terus melakukan kegiatan kemanusiaan tanpa gembar-gembor. Pendeta Metodis ini sejak 1970-an membentuk lembaga adopsi yatim piatu dan bayi-bayi yang ditinggalkan orangtuanya. Tanimoto mencarikan orangtua angkat dari Hawaii dan daratan Amerika. Pendeta ini masih melakukan perjalanan mencari orangtua angkat sampai 1982, sebelum pensiun dari kegiatan gereja. Tanimoto kini 70 tahun. Rata-rata usia hibakusha yang masih hidup 62. Para hibakusha berdasarkan poll yang diadakan Chugoku Shimbun, 1984, sekitar 54% menduga senjata nuklir akan dipakai dalam peperangan lagi. Tanimoto berpendapat, Amerika dan Soviet sedang melangkah di jalan yang membawa kehancuran dunia. Tapi Tanimoto tampaknya tak lagi acuh terhadap semua hiruk-pikuk soal bom. Ia kini hidup dari santunan hibakusha. Ia punya mobil Mazda, dapur listrik, kulkas. Ia makan banyak. Bangun pukul enam pagi, lalu jalan-jalan ditemaninya anjing kecilnya, Chiko. Ia memang agak lamban kini. Ingatannya mulai kabur. Tapi kenangan terhadap musibah Hiroshima yang begitu dahsyat, ketika ledakan berbentuk jamur menyilaukan terjadi di atmosfer kotanya mungkin tak akan pernah hapus. Para hibakusha adalah monumen hidup, bukti dua sisi watak manusia: keangkaraan, dan semangat membina hidup dari puing-puing menjadi dunia yang layak didiami.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus