Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH lama Ida Bagus Agra risau melihat sisa kantung plastik dalam tumpu- kan sampah kota. Bila dibuat kompos, perca plastik yang tidak mudah diubah mikroorganisme tanah itu bisa membunuh tanaman. Ia dapat menutup tunas-tunas baru, atau menghambat sinar matahari, air hujan, dan pertukaran zat. Maka, sejak tujuh tahun silam, Agra, kepala laboratorium proses kimia Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta, memulai sebuah penelitian. Dengan modal Rp 200 ribu dari universitas, Agra meramu barang bekas dari pasar. Hasil penelitian itu dipublikasikan oleh Lembaga Penelitian (LP) UGM bekerja sama dengan Gajah Mada University Press belum lama berselang. Judulnya: Pengolahan Sampah Plastik Menjadi Bahan Bakar Cair. Dari pipa bekas, yang berdiameter 15 cm dan panjang 18 cm, Agra membuat reaktor berupa retort. Ditutup dengan lempeng baja yang bisa dibongkar pasang, bagian luar retort berselubungkan lembaran seng. Untuk mengontrol panas, di dalam reaktor dipasang termokopel, yang dihubungkan dengan pirometer. Sebatang pipa besi berisi air dipasang pada bagian atas. Pada ujung pipa ini ditempatkan labu penampung cairan, yang diberi pipa gas untuk membantu pemanasan. Alat pemanasnya sendiri cukup kompor minyak tanah, yang diletakkan di bawah reaktor. Agra, doktor ilmu kimia lulusan UGM, menyebut proses ini pirolisis (perubahan kimia yang disebabkan kalor) dengan cara batch. Bahan baku yang digunakan berupa plastik bekas pembungkus, plastik bening lembaran yang tebalnya sekitar 0,5 mm, serta botol plastik bekas tempat cairan pengepel lantai dan shampoo. Pokoknya, terutama bahan plastik dari jenis polietilen. Setelah reaktor diisi plastik sekitar dua pertiga volume, tutup retort dipasang, dan pemanasan dimulai. Setiap lima menit, suhu retort dicatat, dan nyala api diatur dengan mengubah-ubah kedudukan katup distribusi minyak tanah dari tangki kompor. Pada suhu 100C, keluar asap putih yang tidak dapat mengembun, disusul menetesnya cairan bening. Gas yang tidak dapat cair disalurkan melalui pipa tembaga ke dekat reaktor, lalu dibakar untuk membantu pemanasan. Dari 100 gram kantung plastik yang diolah pada suhu 400C dalam waktu dua jam, diperoleh cairan mirip minyak bumi sekitar 75 gram. "Cukup berarti," kata Agra kepada Syahril Chili dari TEMPO, pekan lalu. Adapun gas bakar yang didapat mencapai 116 ml per gram plastik bekas. Menyadari kelemahan sistem batch, Agra kemudian mengembangkan sistem "sinambung", dengan konstruksi agak berbeda. Pemanasan dilakukan dengan listrik, dibantu dengan nyala gas hasil pirolisis, dan sistem pendingin ditingkatkan. Pada proses ini, hasil cair yang diperoleh 79%-83% dari berat umpan, dengan panas dari luar yang dapat dikurangi 10%-15%. BERDASARKAN analisa yang pernah dilakukan Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), minyak dari plastik bekas ini memiliki sifat tidak jenuh. Artinya, perbandingan antara karbon dan hidrogen tidak seimbang sehingga ada mata rantai yang tidak terisi. Minyak berwarna kuning kecokelatan. "Tetapi sudah bisa untuk bahan bakar kompor atau obor," tutur Agra, yang pernah mengikuti latihan termodinamika di Universitas California dan Universitas Purdue pada 1959-1960. Minyak hasil pirolisis ini mudah terbakar, mengeluarkan jelaga, dan baunya merangsang. Kalau diolah lagi, yaitu dibikin jenuh dan stabil, Agra percaya minyaknya bakal bermanfaat, minimal untuk keperluan rumah tangga. Sebab, plastik sendiri pada dasarnya berasal dari minyak. Agra menyebut hasil penelitian ini "mengembalikan plastik ke asalnya". "Yang dilakukan Agra itu merupakan kemungkinan baru pemecahan masalah limbah plastik," komentar Prof. Ir. Herman Johannes, bekas rektor UGM. Di bidang ini, Agra memang terkenal getol. Bersama istrinya, Ir. Sri Wanijati, kepala Lembaga Penelitian UGM itu pernah meneliti prospek penggunaan sampah barang hasil industri polimer sebagai sumber energi di Indonesia. Empat tahun lalu, Agra juga ditugasi Departemen Pertambangan dan Energi meneliti kemungkinan limbah kota menjadi alternatif sumber energi. Selama ini, Agra sudah melakukan puluhan penelitian. Tetapi baru sekitar 70 yang dipublikasikan. Ayah seorang anak ini dikenal tekun meneliti limbah, terutama berkenaan dengan perubahan kimia, sehingga limbah bisa dimanfaatkan. Penelitian minyak dari plastik bekas ini, menurut Agra, bila dikembangkan, bisa pula membuka lapangan kerja baru. Tetapi ia sendiri belum menghitung segi komersialnya. "Penelitian saya tidak sampai menjangkau segi ekonomi," katanya. "Siapa yang berminat, merekalah yang mengembangkan. Yang jelas, peralatannya murah dan sederhana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo